WISH

Marlina Catur
Chapter #5

Kembali

Sehari setelah kejadian itu, Lani memutuskan untuk pergi sementara dari Jakarta. Tapi, bukan berarti dia pulang ke Jogja. Lani pergi ke salah satu kota yang tidak jauh dari Jakarta, kota tempat orang dari masa lalunya tinggal.

“Kayanya aku udah gila deh, ngapain juga aku ke sini? Kalo aku ketemu dia gimana? Tapi nggak papalah, kota inikan luas. Satu banding seribu kemungkinannya aku bisa ketemu dia. Di Jogja aja nggak pernah ketemu apalagi di sini.” Dia terus mengoceh saat di jalan.

Sebenarnya, Lani juga bingung kenapa dia memilih kota itu. Dia hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Lani merasakan kejanggalan saat dia berjalan, dia melihat orang-orang berlalu-lalang dengan pakain serba hitam. Dan kebetulan lagi, dia juga mengenakan pakaian senada.

“Mbak habis melayat juga ya di tempatnya Pak Budi?” tanya seorang wanita berumur tiga puluh tahunan yang sedang berdiri di pinggir jalan. Lani tidak menjawab, hanya memperhatikan wanita itu.

“Nggak nyangka ya Mbak beliau meninggal secepat itu. Padahal baru satu tahun jadi walikota.”

“Nggak ada yang tau Bu kapan kematian datang menjemput.”

“Hmmm .... Bener banget mbak.” Wanita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Lani mengeluarkan handphonenya, mencari di google siapa walikota di sana. Maklum, dia memang lemah dibidang sejarah. Laman pertama dipenuhi dengan berita tentang meninggalnya walikota itu. Budi Bahari, begitu nama yang tertera di sana. Lani berfikir, “Budi Bahari? Kok nama sama wajahnya familiar ya. Pernah liat di mana ya?”

Jari Lani terus bergerak dan mata dia berhenti pada salah satu foto yang muncul dipencarian. Foto keluarga. Di sana, berdiri seseorang yang sangat Lani kenal. Fian, laki-laki dari masa lalunya, laki-laki yang sudah menjatuhkan dirinya ke lubang gelap yang dalam, laki-laki yang selalu jadi tokoh utama dalam ceritanya. Ya, Bapak Budi Bahari adalah orang tua Fian. Lani ingat pernah meliha foto itu di atas meja belajar Alfi. Bahkan Alfi juga sempat cerita saat dulu Papanya mendaftarkan diri jadi calon walikota.

Hati Lani ikut hancur saat tahu berita itu. Hatinya menuntun dia untuk mendatangi rumah duka. Tidak perlu lama untuk menemukannya karena hampir semua orang datang ke sana. Tapi, tidak ada keberanian di diri Lani untuk menemui laki-laki itu. Dia hanya berdiri di kejauhan, menatap nanar.

“Kakak bukannya penulis itu ya? Lani Aralia?”

Lani terkejut, seorang gadis seusia anak SMP menegurnya, dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Gadis itu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, menandakan bahwa dia lebih terkejut daripada Lani.

“Kok Kakak ada di sini?”

Lani mengangkat bahu, “Emang harus ada alasan spesifik buat mendoakan orang yang udah nggak ada?”

“Ehh .... yaa enggak si Kak ....” jawab gadis itu sedikit kikuk, “Aku ngefans loh sama Kakak.”

“Oh yaa?”

“Iya, aku udah baca semua buku yang Kakak tulis. Boleh nggak aku foto bareng Kakak?”

“Boleh. Namamu siapa?”

“Cila Kak.” Dia mengeluarkan handphone dari sakunya lalu mengajak Lani untuk foto selfi.

“Kak masih lama nggak di sini?”

“Kenapa?”

“Aku mau pulang Kak ambil buku, mau minta tanda tangannya Kakak. Tunggu ya Kak, pliiisss ....” Mata gadis itu mengerjap-ngerjap. Rasanya susah sekali menolak permintaannya, toh Lani juga masih ingin di sini. Dia masih ingin melihat wajah laki-laki yang selalu ada di hatinya.

Lihat selengkapnya