Ini kali kedua Lani mengunjungi kota lain sendiri setelah Jakarta jadi tempat pertamanya karena pekerjaan. Sejak tadi dia hanya memandangi ponsel, ada puluhan pesan masuk yang belum di baca, siapa lagi jika bukan Faldo pelakunya. Berkali-kali dia mengirimkan permintaan maaf, menanyakan Lani ada di mana dan banyak hal lainnya.
Lan kamu di mana? Plisss jangan menghilang gitu aja. Iya aku tau kamu masih marah sama aku, makanya kamu pergikan dari Jakarta. Aku janji Lan, aku nggak bakalan ngulangin hal itu lagi. Tapi kamu cepetan balik ya Lan. Aku tunggu di depan kosmu.
Lani tertawa membaca pesan itu. Siapa juga yang pergi dari Jakarta gara-gara marah sama dia? Geer kok dipelihara, heran deh, kata Lani dalam hati.
Langit kota ini lebih bersih dari Jakarta, jadi bintang-bintang tidak kesulitan menampakkan dirinya. Aroma kopi memenuhi langit-langit kamar, Lani masih sibuk dengan handphonenya, hanya saja sekarang dia sedang mencari rekomendasi tempat untuk bersantai besok siang. Dia terhenti saat telpon kamar hotelnya berbunyi.
“Haloo ....”
“Halo selamat malam Kak Lani, maaf mengganggu waktunya. Ada tamu yang ingin menemui Kak Lani dan sudah menunggu di lobi.”
“Oh ya, saya turun sekarang.” Lani menutup teleponnya, bergegas untuk turun walau sebenarnya dia tidak tahu siapa yang mau bertemu dengannya selarut ini.
Seorang laki-laki langsung berdiri saat melihat Lani keluar dari lift. Tidak perlu waktu lama untuk mengenali siapa laki-laki itu, bahkan di detik pertama melihatnya pun Lani sudah tahu.
“Kamu nggak perlu repot-repot dateng ke sini kalo cuma mau bilang makasih.”
“Kamu emang nggak pernah bisa ya diajak ngomong baik-baik.”
“Aku udah pernah baik sama orang tapi ternyata malah dimanfaatin.”
“Kamu dateng ke pemakaman Papaku ....” Fian tidak menimpali kata-kata Lani, dia justru mengalihkan ke pembicaraan lain.
“Yap. Dan bunga di atas pusara papamu belum kering, bisa-bisanya kamu keluyuran.”
“Nggak masalah, papaku pemaaf.”
“Sama dong kaya aku. Pemaaf.”
Fian tertawa, “Kamu ngaku pemaaf di depan orang yang nggak pernah kamu maafin?”
“Entahlah .... Menurutku, minta maaf pake tapi tu nggak bisa disebut permintaan maaf.”
“Kamus hidupmu emang unik ya. Jadi minta maaf versimu itu yang gimana? Harus sambil berlutut?”
“Ide bagus. Silahkan dicoba.”
“Lan ....”
Tentu saja Lani hanya bercanda. Dia tidak bisa menahan tawanya melihat ekspresi kaget Fian saat Lani menyetujui idenya.
“Kamu ganti nomer, Lan?”
“Nggak, nomermu aja yang aku hapus.”
“Kenapa nggak sekalian ganti aja biar aku nggak bisa lagi hubungin kamu?”
“Justru itu, karna ini nomer terakhirku yang kamu tau, jadi nggak bakalan aku ganti. Barangkali suatu saat nanti kamu butuh aku. Dah selesaikan? Aku mau balik trus bobok cantik deh.” Sebenarnya Lani masih ingin di sana memandangi seseorang yang selalu datang di mimpinya.
“Lan, besok malem dateng ke acara pengajian Papaku ya.”
Lani hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, dia sudah separuh jalan menuju lift. Ini adalah momen yang tidak pernah dia duga.
“Pasti Cila seneng liat kamu dateng.” Sambung Fian setengah berteriak.
Sayangnya, tidak ada besok malam di kota itu. Pagi-pagi buta, Lani sudah berlarian mencari taksi. Semalam, setelah dia kembali ke kamar, Faldo meneleponnya. Pertama kalinya Lani mengangkat telpon Faldo sejak tiba di kota ini. Raut bahagia Lani langsung meluap saat Faldo bilang Pak Sutradara mencarinya untuk membahas trailer film yang sudah memasuki tahap editing itu.
***
Di kereta, Lani terus menguap, padahal di tangan kanannya ada sebotol kopi yang sudah tinggal separuh isinya.
“Gara-gara Faldo aku jadi lembur semaleman.” gerutu Lani berbarengan dengan pengumuman bahwa kereta akan segera berangkat. Seorang Nenek baru saja duduk di samping Lani. Usianya kurang lebih enam puluh tahunan. Nenek itu tersenyum saat melihat Lani menguap lagi.
“Maaf Nek.”