Gedung warna gading, gedung megah yang entah kenapa memancarkan aura menyeramkan di mata Chika. Ditatapnya lekat papan nama yang ada di atas pintu cokelat gedung itu, kemudian Chika menelan ludah.
GEDUNG TIMUR
Chika mengembuskan napas panjang. Selama Tante Bunga--wanita yang sudah merawat Chika sejak kematian ibunya enam tahun lalu--sedang mengurus administrasi yang diperlukan sebagai murid baru, Chika memang diperbolehkan berkeliling sekolah barunya.
Saat berkenalan dengan Pak Budi--kepala sekolah--tadi, beliau dengan suka cita menyambut Chika, lalu memberi buku peraturan untuk dipelajari karena mulai besok, ia sudah resmi jadi murid baru SMA Laksmana.
Pelan-pelan, diliriknya buku peraturan kelas X yang ia genggam di tangan kanan. Isinya tentang aturan pakaian, larangan membawa senjata tajam, larangan membawa obat terlarang. Aturan-aturan wajar yang dimiliki oleh banyak sekolah.
Namun ada satu aturan yang menarik perhatian Chika hingga memunculkan tanda tanya di kepala, serta jadi alasan ia berdiri gugup di depan gedung warna gading sekolah ini.
Peraturan nomor sepuluh, DILARANG PERGI KE GEDUNG TIMUR!
Tubuh Chika lagi-lagi bergidik ngeri. Ternyata memang betul istilah forbidden fruit. Sudah jadi kodrat manusia untuk punya rasa penasaran tinggi pada sesuatu yang dilarang. Atas dasar 'belum resmi jadi murid baru. So, peraturan itu nggak berlaku buat gue', cewek mungil itu menggerakkan kakinya perlahan, mendorong pintu cokelat itu hati-hati, dan menginjak lantai lobby gedung timur yang luas. "Permisi," ucap Chika pelan dan sopan.
Ia menoleh ke kiri dan kanan. Aneh, tidak ada siapa-siapa di sini. Padahal ia pikir begitu pintu dibuka, akan ada petugas keamanan dan guru piket yang menyambut, seperti saat tadi ia melakukan tur ke gedung barat dan gedung selatan SMA Laksmana.
Keanehan semakin dirasakan Chika saat mading luas yang ada di sepanjang tembok terkesan kosong. Sangat kontras dengan dua gedung lain yang madingnya dipenuhi banyak foto, serta karya-karya siswa yang menghiasi.
Lobby luas ini juga terkesan gersang. Padahal, di gedung barat dan selatan berjejer puluhan pot tanaman hingga terlihat asri dan nyaman.
Kegugupan di hati Chika perlahan-lahan tergeser oleh rasa takut. Di saat detak jantung meningkat, sifat dasar cewek itu mulai menampakkan diri. Imajinasinya yang terlalu banyak diberi fernifan, alias terlalu berkembang, mulai mendominasi kepala Chika.
Gedung ini adalah menara kegelapan yang menyegel ribuan monster. Di bawah lantai keramik yang ia pijak terdapat dungeon mengerikan yang mengurung banyak sandera dari desa-desa. Kemudian…
Chika sontak menggeleng cepat. "Bego! Ngapain malah mengkhayal sekarang," gerutunya sambil memukul kepala sendiri. Cepat-cepat ia berbalik, hendak meninggalkan gedung timur.
Namun suara keras yang terdengar dari dalam, menghentikan langkah cewek itu. Kedua alisnya menyatu. Seperti suara kayu yang dibanting, diselingi teriakan cowok dari kejauhan hingga tidak begitu jelas tertangkap pendengaran Chika.
Lagi-lagi rasa penasaran mengalahkan akal sehat. Cewek itu kembali memasuki gedung, mendekati asal suara. Disusurinya koridor panjang yang sisi kiri berupa jendela yang mengarah ke halaman kosong, sedangkan sisi kanannya berupa tembok yang kokoh.
Seperti ada yang menariknya, cewek itu tidak dapat berhenti melangkah. Sampai akhirnya, seseorang menepuk pundak Chika dari belakang.
Cewek itu tersentak. Ia berputar dan refleks hendak mencakar orang yang barusan menepuk pundaknya. Namun siapa pun dia, dengan cekatan menangkap tangan Chika lalu memutarnya ke belakang punggung cewek itu. "Aduh, duh, duh, sakit! Ampun!"
Orang itu melepas Chika dengan kasar. Sambil mengusap dan meniup tangannya yang sakit, cewek itu menoleh. Pada saat itulah kedua mata mereka bertemu.
Sosok di hadapannya berdiri kokoh. Sorot tajam dari kedua mata elang itu seakan memerangkap, mengintimidasi siapa saja yang memandangnya. Garis wajahnya sangat tegas. Ketampanan absolut! Kewibawaan yang ia miliki mutlak tidak terbantahkan oleh siapa pun.