Jam tujuh kurang sepuluh menit. Chika menerobos ramainya kerumunan di trotoar. Dipaksanya kedua kaki bergerak melampaui batas, mendekati SMA Laksmana yang berada beberapa meter di depan.
Sesaat setelah Chika melihat gerbang sekolahnya, cewek itu langsung berhenti lari. Kemudian bersembunyi di balik pohon jambu karena melihat Pak Kusman, guru olahraga yang menurut Dora paling killer di sekolah, sedang menjaga gerbang yang sudah setengah tertutup.
Chika menghela napas. "Duh! Gara-gara balik lagi ke rumah buat ngambil tugas Bu Ina nih, " gumamnya kesal.
Cewek itu lalu mengubah tujuan. Ia berlari ke samping sekolah yang diyakini tidak dijaga siapa pun, selain tembok setinggi dua setengah meter yang memisahkan pekarangan sekolah dengan jalan raya. Dengan menggunakan tong sampah sebagai pijakan, Chika berusaha memanjat tembok itu.
Sesaat setelah ia berhasil mengangkat tubuhnya ke puncak tembok, tawa seseorang tertangkap pendengaran Chika. "Siapa di sana?" tanya Chika panik. Bisa gawat kalau anggota osis yang sedang patroli.
"Liar juga lo ternyata jadi cewek."
"Elo?" Kedua mata cewek itu membulat. Ternyata cowok yang waktu itu ia temui di gedung timur!
"Lo telat ya?" tanya cowok itu. Ia bersandar santai di pilar koridor sambil menonton atraksi Chika.
"Kagak. Gue nggak telat. Sengaja emang gue dateng pas-pasan sampe manjat tembok gini. Memacu adrenalin! Kalo lewat gerbang mah,"--Chika mengibaskan tangan--"udah klise. Basi," jawab cewek itu asal. Sontak cowok itu terbahak keras. Sampai megangin perut!
Chika mendengus. Lagian sudah jelas. Kenapa juga dia masih nanya. "Ketawanya tunda dulu, dong! Bantuin gue turun, pliss."
"Lo nyangkut? Nggak bisa turun?" ucapnya masih dengan sisa-sisa tawa. "Lo nekat manjat tembok, tapi nggak mikir cara buat turunnya?"
"Siapa bilang? Udah tersusun rapi kok, rencana gue. Gue niat langsung loncat gitu sampe puncak tembok. Tapi…." Chika menggigit bibir bawah sambil melirik tanah.
"Tapi ternyata, jauh lebih tinggi dari bayangan lo," sambung cowok itu.
"Yup! Betul sekali. Makanya bantu gue, pliss," ucap Chika memelas. Namun cowok itu tidak bergerak. Malah menatapnya sambil melipat tangan di depan dada hingga Chika berdecak kesal. "Kenapa, sih? Rugi emang kalo nolongin orang? Jangan lama-lama mikirnya kalo emang niat bantuin. Keburu pada dateng gurunya, nih. Kalo ketahuan, gue bisa dipasung!"
Lagi-lagi omong kosong Chika berhasil membuat cowok itu terbahak keras. "Sumpah, gue rasa bakalan gila kalo ngomong sama lo terlalu lama."
Cowok itu mendekati Chika. Ketika sudah berada tepat di bawah cewek itu, ia mengulurkan kedua tangan.
"Apa?" tanya Chika bingung.
"Lompat!"
"Hah?" Chika terlonjak kaget. "Gue nggak minta lo nangkep gue. Gue cukup tahu diri sama berat badan gue. Lo cuman butuh ambilin tangga bambu yang nyander di tembok itu," tunjuk Chika.
Cowok itu berdecak. "Lama banget! Lo mau lompat, nggak?"
"Nggaklah! Lo kira adegan komik?"
"Oh. Ya, udah." Cowok itu berbalik hendak meninggalkan Chika.
"Eh, eh, eh, tunggu!" Melihat satu-satunya harapan pergi, cewek itu kalang kabut.
"Hmm...? Kenapa?"
Chika menggigit bibir bawah. Ragu, tapi tidak ada pilihan.
"Jangan jauh-jauh, dong! Gue nggak bisa lompat sejauh itu," ucapnya dengan nada kalah.
Sekelibas, cepat, dan tidak disadari oleh Chika ketika ujung bibir cowok di hadapannya terangkat. Kemudian, cowok itu kembali berjalan mendekati Chika. Ia mengulurkan kedua tangan, menunggu cewek mungil keras kepala itu terjatuh ke pelukannya.