Kelopak mawar bertebaran, meninggalkan jejak. Pertanda bahwa mereka telah datang. Hidup cewek itu tidak lagi sama sejak sepucuk surat dan setangkai mawar tergeletak di dalam lokernya. Ah, tidak! Ia yang paling tahu. Jauh sebelum itu, hidupnya tidak lagi sama. Sejak ia datang ke sekolah ini, sejak ia menginjakkan kaki di gedung timur, sejak ia bertemu dengan sepasang mata tajam milik cowok misterius itu.
***
Chika mengembuskan napas panjang. Entah sudah kali ke berapa ia melakukan itu. Sambil bertopang dagu, ia duduk di pinggir lapangan sepak bola, memerhatikan cowok-cowok sekelasnya bermain.
Selang beberapa saat, Dora menghampiri cewek itu. Dengan seplastik liang teh dingin di tangan kanan dan kue bantal di tangan kiri, ia duduk bersila di sebelah Chika. "Yang Mulia Permaisuri, apa yang anda lakukan sendirian di sini? Ijinkanlah dayang setiamu ini meringankan sedikit beban pundak anda."
Chika memelototi Dora yang malah cengar-cengir.
"Kenapa lo? Kesambet?" ledek Chika sambil merebut liang teh dingin dari tangan Dora.
"Enak aja! Elo yang nanti kesambet! Melamun di siang bolong. Di bawah pohon jambu lagi!"
"Lagi nggak ada ide ngegambar, nih. No inspiration, you know? Siapa tahu dengan duduk di sini, bakal ada ide yang jatuh nimpah kepala gue dari langit," ucap Chika sambil mengangkat kedua tangan ke langit, menggapai awan.
Dora tertawa geli. "Yang ada bukan ide yang jatoh dari langit. Tapi, tuh jambu semerah pantat monyet yang jatoh dari pohon terus nimpah kepala lo."
"Sialan lo!" Chika memukul lengan Dora pelan.
Sebenarnya Chika merasa lega. Kehadiran Dora membuatnya tenang. Meski untuk sesaat. Sekejap yang cepat berlalu. Melupakan teror yang menghantui Chika terhitung sejak sepucuk surat mawar itu ditinggalkan di loker.
Teror pertama terjadi satu hari setelah surat itu datang. Tempat duduk Chika di kelas dipenuhi kelopak mawar merah. Meski malas, Chika membersihkannya dengan tangan sekepal demi sekepal karena secara ajaib, seluruh sapu dan peralatan pembersih yang ada di sekolah raib ditelan bumi.
Namun Chika tahu itu bukan keisengan belaka, ketika telapak tangannya tergores duri setangkai mawar, yang sengaja disembunyikan di dalam timbunan kelopak itu.
Teror kedua terjadi di luar sekolah, rumahnya sendiri. Sebuah paket yang ditujukan untuknya tiba. Tanpa rasa curiga, Chika membawa paket itu ke kamar. Betapa baik-nya si pengirim yang nyaris membuat Chika mati berdiri karena kejutan yang ada di dalam kotak.
BANG-KAI-TI-KUS!
Teror-teror itu membuatnya frustasi. Rasanya ia ingin memanjat Gunung Himalaya, bungee jumping dari puncak, kemudian berteriak sekeras-kerasnya.
"Lo mikirin teror-teror itu lagi, ya?"
Chika terdiam. Ia membalas pertanyaan Dora dengan helaan napas.
"Lo tahu kan, siapa di balik teror itu?"
Chika tertawa garing. "Jangankan gue. Si Deni, cowok kutu buku di kelas sebelah juga pasti tahu."
Dora kontan nyengir.
Tebakan Chika jitu. Baik korban maupun para saksi, sudah tahu siapa tersangkanya. Namun, mereka tidak mau peduli. Lebih tepatnya, takut untuk peduli.
Apalagi setelah mereka mulai merasakan keanehan akan status Chika sebagai permaisuri. Bagai bayang-bayang disangka tubuh, sesuatu yang belum pasti. Antara ragu dan percaya bahwa Chika mempunyai hubungan dengan Rio karena sang kaisar, tidak pernah sekali pun mengunjungi kediaman permaisuri.
Sejak kejadian di gedung timur, tidak ada lagi yang melihat kebersamaan mereka. Tidak ada yang pernah melihat mereka bertemu, mengobrol, apalagi memadu kasih!
Yang paling penting, Rio tidak mengambil tindakan apa pun terhadap teror-teror yang diterima Chika dari geng Rose hingga seluruh siswa SMA Laksmana berpikir, karena kaisar tidak peduli dengan keadaan permaisuri, para ajudan pun angkat kaki!
"Chik, Chika! Ada keramaian apa tuh di lapangan basket?" tunjuk Dora tiba-tiba ke arah lapangan.
Chika menoleh. Dahinya berkerut karena lapangan basket itu sudah dikelilingi ratusan penonton.
"Chik, ke sana, yuk!" ajak Dora sambil menarik tangan cewek itu.