"Udah, Mas, saya turun di sini aja."
"Non Chika nggak mau saya anter sampe depan sekolah? Masih beberapa meter nih, Non."
"Nggak usah. Kalo saya turun di gerbang, Pak Dudi, si satpam depan sekolah pasti langsung buru-buru bantu saya turun. Dia pikir saya masih bocah? Saya bisa kok, turun sendiri."
"Yoweslah, kalo Non Chika mau turun di sini."
Setelah membayar ojeknya, Chika berjalan ke arah sekolah. Ia melirik Pak Dudi. Satpam bertubuh cungkring itu sedang asik menikmati kopi paginya.
Dalam kesempatan itu, Chika berlari, secepat kilat! Bukan apa-apa, ia tidak suka dengan perlakuan yang didapat dari si satpam. Apalagi semua perlakuan itu ia dapat karena kesalahpahaman. Chika... bukan permaisuri....
"Eh, pagi, Dek Chika."
Chika memutar bola mata kesal. Si Pak Dudi nuntut ilmu di gunung mana, sih? Sakti banget ya, nih orang. Kayak pertapa kura-kuranya Sun Goku aja! "Pagi, Pak," balas cewek itu singkat.
"Kok, jalan kaki, Dek?"
"Lagi pengen aja."
"Bawaannya banyak amat. Mau bapak bantuin bawa ke kelas?" tanya Pak Dudi sambil menunjuk tumpukan kertas di tangan Chika. Sebagai sekretaris sementara selama Fani—sekretaris asli—tidak masuk, Chika ditugaskan mem-fotocopy catatan biologi dari Bu Ina untuk sekelas. Jumlah siswa di kelas Chika 30, ditambah lagi catatannya 20 halaman. Alhasil, kondisi Chika sekarang memang sedikit patut dikasihani.
"Nggak usah, Pak. Nggak usah repot-repot."
"Ah, Nggaaak... sama sekali nggak repot, kok. Saya tulus. Soalnya, bakal berabe kalo Dek Chika sampe kenapa-napa gara-gara bapak nggak mau bantu."
"Kenapa emang, Pak?"
Si Pak Dudi nyengir kuda. "Dek Chika kan, hati manisnya Den Rio."
"Hati manis?" Chika mengerutkan kening.
"Iya, yang kaya di barat-barat gitu, Dek. Cuit hert. Bahasa Indonesianya hati manis, kan?"
Chika menganga, menatap tidak percaya si satpam cungkring yang kini sedang senyam-senyum. Ajaib betul si Pak Dudi ini. Sudah spelling-nya salah, di-translate ke Bahasa Indonesia segala lagi.
"Sweetheart kali, Pak!"
"Iya, itu maksud bapak," sahut Pak Dudi sambil cengar-cengir. "Jelek-jelek gini, bapak lumayan deket sama Den Rio loh. Sering ditraktir, kadang dikasih uang buat ngopi. Anaknya santai, enak diajak ngobrol. Tapi, kalo lagi marah, hadeuh... amit-amit saya ngeliat lagi!"
Chika langsung tertarik. "Emang kenapa kalo Kak Rio marah?"
Pak Dudi tersentak kaget. "Dek Chika... emang nggak pernah liat?" tanyanya pelan.