Rio mendorong Luna dengan kasar hingga menubruk dinding. Tangan kuatnya mencengkram pipi halus cewek itu. Cowok itu mengatupkan kedua rahang kuat-kuat. Amarah yang menguasai pikiran telah mempercepat frekuensi napasnya.
Dengan suara dalam dan berat, cowok itu berkata, "gue udah pernah peringatin lo berkali-kali... JANGAN. PERNAH. UCAPIN. KALIMAT. ITU. KE. GUE. Ternyata lo masih belom paham, ya!"
Tubuh Chika membeku. Ia menggeleng pelan, menatap tidak percaya pada kejadian di depan mata.
Siapa dia? Siapa cowok itu? Cowok itu... dia bukan Rio yang ia kenal! Bukan cowok yang sudah ia temui di gedung timur, membantunya ketika telat, dan menyelamatkannya dari anak-anak kelas XII.
Kedua mata tajam itu telah kehilangan sinarnya. Terlihat amat menyeramkan. Seakan membekukan seisi kantin karena ketakutan yang mereka rasakan.
Tidak ada satu pun yang berani bergerak, atau sekedar mengeluarkan suara. Mereka tahu, cowok itu bukan orang yang bisa ditangani. Terutama saat hilang kesadaran seperti ini.
"Kayaknya lo tipe orang yang mesti dikasih tahu pake fisik dulu, baru nyantol ke otak lo!" ucap Rio, kemudian tersenyum sinis. "Lo suka main cutter, kan?"
"A-apa?" Suara Luna terdengar bergetar. Pandangannya mulai kabur karena genangan air di pelupuk mata.
Rio menoleh ke kiri dan kanan, mencari benda kecil yang akan ia pertunjukkan. "Do, bawa tuh cutter di gerobak Mbak Nurul ke gue!" perintah Rio.
"Hah? Apa, Yo?"
"Lo nggak denger? Gue bilang, bawa tuh cutter ke gue... SEKARANG!"
Aldo menghela napas. Ia mengutuk kebetulan sial itu. Secara ini kantin, ada pisau atau gunting ya, oke-lah. Kenapa mesti ada cutter coba?
Aldo tetap diam di tempat karena ia tahu, Rio tidak dalam kondisi sadar sekarang. Bukannya ia peduli pada Luna, tapi yang cowok itu khawatirkan adalah Rio, pemimpin merangkap sohibnya. Jika ia melaksanakan titah itu, Aldo takut urusannya akan runyam nanti.
Keterdiaman Aldo meledakkan amarah. Seakan melempar sekarung dynamite ke kobaran api yang sedang menyala.
"KASIH TUH CUTTER KE GUE!" bentak Rio keras sekali. Seperti auman singa, raja hutan yang sedang marah hingga wajah seisi kantin memutih sepucat mayat.
INILAH KAISAR!
Orang yang begitu ditakuti seantero sekolah. Orang yang biasanya selalu tenang, tapi akan mengeluarkan taring ketika ada yang melewati garis pembatas yang ia buat.
Tidak ada yang bisa membantu Luna. Bahkan, anak kelas XII yang terkenal sangar hanya diam seribu bahasa.
Ini semua salah Luna karena ia berusaha membuka pintu tebal yang sudah lama dikunci rapat oleh Rio. Membuka dengan cara yang salah, tanpa kunci, hingga membangunkan macan tidur yang selalu menjaga pintu itu.
Aldo menarik napas panjang. Tidak ada pilihan lain, daripada Rio makin ngamuk nantinya. Ia menghampiri meja Mbak Nurul, mengambil cutter, lalu menyerahkannya ke tangan Rio. "Jangan kelewatan banget ya, Yo. Cewek soalnya, nih," ucap Aldo sebelum ia menjauh.
Luna menatap ngeri cutter di tangan Rio. Getaran di tubuhnya tidak terkendali. Harga dirinya yang tinggi, menguap tanpa sisa ketika air bening mengalir dari kedua mata.