Kini Audrey tengah mengompres lebam yang ada di pipi Marcell. Ia miris melihat abangnya yang babak belur seperti ini, ini pun salah nya.
Mengapa ia harus bertemu dengan laki laki itu?
Laki laki yang membuat nya patah berkali kali.
Dan bodohnya, ia memberi pintu masuk lagi kepada laki laki itu untuk memperbaiki nya.
Namun, itu hanyalah omong kosongnya saja.
Nyatanya ia malah makin memperumit segalanya.
"Drey," ucap seorang laki laki dengan perempuan yang menyusul nya dari belakang.
Ia tahu, ia sangat kenal suara itu.
Ia menoleh kebelakang dan mendapati laki laki yang saat ini ia benci.
Benci, cinta, sayang, kecewa semua itu menjadi satu.
Ia tak tahu bagaimana perasaan nya saat ini.
Sangat hancur.
Seketika itu juga ia meneteskan air matanya lagi untuk seorang laki laki yang sudah menyakiti nya beberapa kali akhir akhir ini.
"Gue mau jelasin semua nya," pinta Ravael kepada Audrey.
Audrey memalingkan wajahnya kearah lain. Tak mau menatap wajah laki laki itu.
"Bukannya udah jelas? Semua itu udah jelas dimata gue Rav, lo khianatin gue dengan sahabat gue sendiri. Dan bodohnya sih, gue malah nerima lo kembali. Kira gue lo udah berubah, tapi salah. Nyatanya emang lo gak pernah berubah dari diri lo yang brengsek!" Sarkas Audrey dihadiri air mata yang terus mengucur dipelupuk matanya.
"Dan kenapa? Kenapa malah Chatrine yang jadi korbannya?," Tanya Audrey selanjutnya.
"Lo boleh ngatain kita apa aja, Drey," sambung suara cewek yang tak lain adalah Ferisha.
"Selama ini yang lo liat itu cuma salah paham. Gue bakalan bongkar semuanya," Ferisha yang penuh penekanan akan ucapannya dan memberikan tatapan menusuknya ke Marcell.
"Selama ini itu dalang dari semua ini adalah Abang lo sendiri. Marcell. Dia suka sama lo, dia mau dapetin lo, dia gak mau ada orang yang milikin lo selain dia. Lo tau kejadian di kantin beberapa hari yang lalu?itu bukan Ravael yang ngejalanin semua ini," jelas Ferisha yang masih didengar oleh Audrey.
"Trus siapa? Lo kira dia punya kembaran gitu?," tanya Audrey masih ragu.
"Lo bener, dia punya kembaran. Rivael. Rivael kembaran nya. Dan dia—dia adalah pacarnya Chatrine. Rivael sengaja ikuti semua rencana Abang lo ini, dia di ancam sama Abang lo," lanjut Ferisha lagi.
"Yang diomongi Ferisha itu bener Drey. Lo harus percaya," desak Samuel yang ikut nimbrung.
Padahal orang itu jauh lebih mengetahui semuanya.
"Kita punya buktinya," ucap Ravael dengan yakin.
"Bohong!! Lo jangan percaya, Dek!! Mana mungkin gue suka sama Adik kandung gue sendiri!" Bantah Marcell cepat.
"Ngadi ngadi lo pada. Siapa coba yang buat konspirasi kayak gitu," lanjut Marcell dengan terkekeh kecil.
Bugh bugh bugh
Ravael meninju wajah Marcell beberapa kali juga perutnya. Tak tinggal diam, Marcell pun membalas perbuatan Ravael kepada dirinya.
Dua duanya sama sama tersungkur.
Ravael bangkit, ia berada diatas badan Marcell yang masih terkapar di tanah.
Ia menarik kerah jas Marcell dan meninju nya lagi tanpa ampun.
"Brengsek!! Lepasin Abang gue!!" Cegah Audrey frustasi.
Dirinya tak menyangka, kedekatannya dengan Ravael dapat membawa petaka seperti ini.
Ravael melepaskan Marcell dan membiarkannya terkapar diaspal dengan tak berdaya. Ia memandang remeh orang tersebut.
Audrey menatap benci orang itu.
Plak plak
Tamparan keras itu mendarat di pipi mulus seorang Ravael. Nyeri. Itu yang ia rasakan sekarang. Terlebih orang itu Audrey, orang yang sangat ia sayangi dan juga cintai.
"Apa mau lo?!! Apa mau kalian semua? Kenapa semua pada nyalahin Abang gue?!!gue gak percaya begitu aja, karena gue yakin, Abang gue nggak mungkin melakukan hal sekeji ini! Lo Rav, apa yang lo mau dari gue?!! Semua yang lo inginin dari diri gue udah lo dapetin semua!! Cinta? udah lo dapetin. Kasih sayang? Udah lo dapetin. Begitu pun juga gue. Lo buat gue kecewa Rav, gue kira lo udah berubah. Tapi ternyata lo malah makin menjadi jadi. Dasar brengsek," maki Audrey.
Ravael tak bisa berkata apa apa. Sakit rasanya ketika seseorang meragukan dirinya yang mencintai orang tersebut.
Ia memeluk Audrey meskipun Audrey memberontak minta dilepaskan.
"Lepasin gue! Gue nggak sudi dipeluk sama lo!"
"Lo boleh benci sama gue, setelah apa yang gue udah perbuat ke lo! Semua udah jelas kan kata lo? Meskipun gue jelasin mungkin lo nggak bakal percaya. Lebih tepatnya, lo pasti makin benci kan sama gue kalo gue jelasin lebih detail lagi. Gue sayang, cinta sama lo! Itu nggak ada dusta! Semua yang lo lihat ini cuma kesalah pahaman. Gue gak tau kapan drama ini berkahir, yang pastinya gue cuma mau lo percaya sama gue. Itu udah lebih dari cukup buat memperbaiki hubungan kita. Putus? Gue nggak bakal lepas lo gitu aja meskipun waktu gue sama lo gak lama lagi, gue bakalan tetep merjuangin lo dari kejauhan," ucap Ravael begitu tegas.
Ia menguraikan pelukannya, lalu mencium kening Audrey dengan perasaan tulusnya.
Ia tersenyum hangat kepadanya.
"Gue harap ini bukan terakhir kalinya gue bisa meluk lo."
"Gue pergi," lanjutnya.
Ia harus segera menemui kembaran nya tersebut. Takut takut jika kembarannya melakukan hal hal yang tak terduga kepada dirinya sendiri. seperti waktu itu.
Audrey diam tak berkutik, berusaha mencerna kata demi kata yang baru saja terlontar dari mulut pria itu. Ada yang aneh dengan ucapannya, ucapannya seperti ingin pergi jauh. Entahlah, atau mungkin hanya perasaan nya saja?
Ia buru buru membantu abangnya itu yang masih terkapar, ia mulai memapah abangnya itu menuju kursi yang tak jauh dari kejadian ini.
"Drey," panggil Ferisha.
Audrey seketika dibuat terkejut ketika Ferisha menangis parau di pelukannya saat ini.
"Gue mohon, percaya sama kita. Lo gak boleh jatuh ke lubang yang sama lagi," lirih Ferisha untuk menyakinkan Audrey apa yang mereka katakan tadi itu benar bukan dusta.
"Kita semua punya bukti. Tapi bukan sekarang kita tunjukkinnya. Nanti. Disaat lo udah mau nerima semua kenyataan ini. Lebih tepatnya, di waktu yang tepat. Yang dimana semua ini akan kebongkar dalam jangka waktu dekat," ucap Davit yang akhirnya ikut nimbrung.
"Terserah lo mau percaya kita atau enggak. Yang pasti, lo bakalan nyesel kalo gak percaya," lirih Ferisha seraya melepaskan pelukannya itu.
Percuma, pelukannya tidak dibalas dengan Audrey.
"Nyesel? Buat apa gue nyesel?," Tanya Audrey.
"Karena, waktu lo sama Ravael enggak lama lagi," jawab Samuel cepat. Setelah itu Ferisha, Samuel, dan juga Davit pergi dari hadapan Audrey dan juga Marcell.
Jauh di lubuk hati Samuel, ia ingin sekali menonjoki sepupunya itu. Namun ia tahu situasi saat ini, yang ia harus perbuat hanyalah bantu menjelaskan semua ini. Agar semuanya bisa kelar dengan cepat, meskipun itu tidak yakin.
Ku ingin marah...
Melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri disini...
Inginku tunjukan,
Pada siapa saja yang ada...
Bahwa hatiku,
Kecewa...
Suara merdu Audrey mengalun begitu saja di balkon kamarnya, disertai senar gitar yang ia mainkan.
Ia menyanyikan lagu, lagu yang sangat pantas untuk mendeskripsikan yang terjadi pada dirinya saat ini.
Ia menaruh gitar itu disampingnya dan menyeruput teh hangat yang ia bikin sebelumnya.
Ia memandangi langit malam yang dihiasi oleh bulan dan juga dikelilingi oleh beberapa bintang di pinggirnya.