Hari senin. Hari yang paling tidak disukai oleh SMA Hingh School 2. Karena selain mereka harus panas panasan ditengah lapangan mereka juga harus mendengarkan pidato pak Rahmat kepala sekolah mereka yang membuat kuping nya ingin terbakar akibat panjang lebarnya pidato yang disampaikan.
Audrey dan Ferisha tengah bercanda gurau dikelasnya kini.
"Gimana sama bukti bukti yang kemarin?," Tanya Ferisha seraya minum pop ice rasa taro miliknya.
Audrey menggeleng sebagai jawaban.
"Gue gak tau. bingung, mau milih siapa."
Samuel yang sebangku dengan Ferisha lalu Mendengarnya hanya memandang sepupunya itu malas.
"Masih ragu sama bukti bukti yang kemarin?," Timbrung Samuel seraya melanjutkan main game diponselnya.
Ferisha beralih menatap kearah Samuel. "Gak gitu juga lah. Kita nggak boleh memaksa kan kehendak orang lain!," nasehat Ferisha yang didengar oleh Samuel.
Samuel menyudahi bermain game diponselnya itu dan meletakan nya diatas meja.
"Nih, ya. Dengerin. Gue tau kok, Drey. Gue cuma mau nasehatin lo biar gak kelamaan mikirnya. Ditinggal pergi sama Ravael baru tau rasa trus penyesalan seumur hidup gara gara baru nyadar waktu dia pergi," cerocos Samuel.
"Pergi? Emang nya dia mau pergi?," tanya Audrey sedikit aneh.
"Maksud gue—dalam artian dia udah nyerah gara gara perjuangan nya gak dihargai. Pas dia pergi trus lo baru nyadar. NYESEL LO SEUMUR HIDUP," teriak Samuel heboh yang dibungkam mulutnya secepat kilat oleh Ferisha.
"Asin tangan lo anjir!"
Audrey, Ferisha, dan Samuel yang tadinya sedang bercengkrama kini mereka hanya diam membisu. Sebab, tepat diambang pintu terlihat Chatrine disana, yang memandang mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ferisha dan Samuel yang mengerti keadaan memasang kode kode lewat tatapan mata ke Audrey.
Audrey? Jangan tanyakan raut wajahnya saat ini. Ia bingung. Disatu sisi, ia mau persahabatan nya utuh kembali tanpa kekurangan orang. Namun, disatu sisi ia merasa sesak jika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Itu sungguh membuat hatinya merasa tercubit. Sepandai pandainya orang menyembunyikan masalahnya akan ada waktu yang menjawab. Yang dimana orang itu akan benar benar lelah dalam keadaan dan butuh seseorang berada disisinya untuk dijadikan sandaran. Audrey berada di posisi itu saat kini. Ia tak tahu apa yang ia rasakan. Apakah ia sudah jatuh hati terlalu dalam kepada Ravael? Hingga berkali kali menangisinya? Atau hanya masalah harga diri yang merasa direndahkan bagi seorang perempuan? Sudah cukup masalah penyakit yang bertahun tahun ia hadapi. Namun, ia sadar bahwa seiringnya usia makin banyak masalah yang masuk dihidupnya kini. Dan ia harus menyelesaikan masalah itu satu persatu tanpa mengenal kata menyerah. Karena, masalah yang muncul dihidupnya pun salahnya sendiri.
Chatrine mulai melangkah kedalam kelas. Audrey sama sekali tak beralih kemana pun bola matanya selain melihat seorang Chatrine begitu juga dengan Samuel dan Ferisha.
Chatrine yang ditatap seperti itu hanya bisa tersenyum tipis. Tipis sekali, bahkan tak ada orang yang menyadari bahwa ia sedang tersenyum kala itu, selain dirinya dan Tuhan.
Chatrine yang biasanya duduk sebangku dengan Audrey kini ia malah duduk dibarisan pojok paling belakang lalu menelungkup kan kepalanya diatas meja dengan kedua tangan menjadi tumpuannya.
"Chatrine kenapa?," Ujar Ferisha pelan takut Chatrine dengar.
Audrey menggeleng lemah. "Lo udah bilang ke Chatrine amanah gue yang kemarin?," Tanya Audrey kepada Ferisha dan Samuel. Keduanya menggeleng yang membuat Audrey geram.
"Kebiasaan lo pada! Disuruh sampein amanat bukannya disampaikan malah enggak! Dosa tau," cecar Audrey sebal.
Samuel memutar bola matanya malas.
Tanpa aba aba Audrey mendekati Chatrine yang sedang tertidur. Larat, bukan tidur hanya merem. Audrey tau itu.
Sesampainya di sana Audrey sedikit menyentuh bahu sahabat nya itu. Sahabat? Chatrine masih sahabat nya. Kata kata yang ia lontarkan tempo lalu ia tarik kembali. Karna, ini murni bukan salah nya.
Chatrine yang merasa ada yang memegang bahunya segera bangun dan kaget. Chatrine melihat Audrey didepan matanya kini. Ia tak bisa berkutik apa apa selain tersenyum simpul.
"Berasa lagi nonton sinetron gue. Tatap tatapan begitu, mending cewek sama cowok itu mah masih normal kan ya. Lah ini cewek sama cewek, gimana gak geli," jengah Samuel yang kini sudah berada di samping Audrey diikuti oleh Ferisha disampingnya.
Chatrine menduduk malu. Bahkan ia tak berani melontarkan sepatah kata. Bukan, bukan malu karena perkataan Samuel barusan. Tapi ia malu, merasa sudah mengkhianati sahabat nya sendiri didepan matanya meskipun itu murni bukan kesalahan nya.
"Lo kenapa pindah?," Tanya Audrey santai seolah olah mereka sedang tidak dilanda masalah.
Chatrine mendongak, menatap Audrey dan pasangannya kini lurus menatap kosong didepan nya.
Chatrine tersenyum miris.
"Drey! Plis, jangan ngomong seolah olah kita gak ada masalah disini!" Jawab Chatrine. Butiran air mata kini sudah membanjiri pipi mulusnya itu. Audrey, Ferisha dan Samuel yang melihat itu tak tega. Bahkan, yang biasanya Chatrine membawa wajah ceria nya ke sekolah kini hanya wajah pucat dan kantong mata yang menghiasi wajah nya itu. ia tampak lelah, orang orang pun tau sekali melihatnya bahwa ia sedang dilanda masalah. Terlihat dari raut wajah nya, apalagi matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Selain merasakan mengkhianati sahabat nya sendiri, ia merasa wanita rendahan.
"lo masih gue anggap sahabat. Lo disini gak salah ini murni kecelakaan," jelas Audrey yang membuat Chatrine kaget.
"Lo bisa bisa nya maafin gue secepat ini. Apa lo gak curiga kalo gue ini bener bener khianati lo?," Tanya Chatrine memastikan masih tak percaya seraya mengusap air matanya.
Audrey tersenyum tulus kepada Chatrine. "Gue percaya. Lo bukan orang yang kayak gitu," sahut Audrey. Chatrine yang mendengar itu langsung menghambur kepelukan sahabat nya. Ia menangis tersedu sedu.
Sedangkan Audrey? Ia tersenyum pedih melihat sahabatnya itu.
"Nangis aja. Gue tau lo capek sama semua ini," prihatin Audrey menenangkan seraya menghusap pundak sahabat nya itu.
"Makasih banyak."
Ferisha ikut memeluk sahabatnya itu.