Ravael memarkirkan mobilnya itu di halaman rumahnya. Entah mengapa, kini ia merasa mood nya lebih baik dari hari yang kemarin karna ia yakin, masalah bersama Audrey akan secepatnya berakhir lalu mereka kembali bersama seperti waktu dulu.
Ia meraih knop pintu rumahnya dan membukanya. Diruang tamu, sudah jelas ada Bundanya yang sedang—
Gila!
Apa yang dilakukan Rivael, kembaran nya itu kepada bundanya? Rivael sedang tiduran dengan paha bundanya sebagai bantalnya. Pemuda itu tiduran di paha bundanya, dengan bundanya mengelus dengan sayang puncak kepalanya. Mendadak Ravael geli sendiri melihat nya. Umur sudah tua masih saja manja dengan orang tua.
"Bun! Rava pulang!!" Serunya dan mendaratkan bokongnya disofa panjang—disamping bundanya. Dengan sengaja ia menghempaskan bokongnya dan menindih kaki Rivael yang kebetulan sedang selonjoran disitu.
Rivael yang merasa kakinya ada yang menghantam ia memekik sakit. Buru buru ia ambil posisi duduk, namun, tetap saja kaki itu masih berada tepat di bawah bokong seorang Ravael.
Tiba tiba ide jahil terlintas dibenaknya. Dengan cekatan, Rivael mengangkat kakinya yang hal hasil Ravael yang menindihkan kakinya itu terjengkang kedepan. Dengan posisi bokong yang mendarat dilantai. sungguh mengenaskan.
Eva—bundanya hanya bisa tertawa kecil melihat anak bungsu itu terjungkal kelantai akibat keisengan kembarannya.
"Kampret lo, Riv!" Maki Ravael seraya bangun dari posisi yang mengenaskan itu. Rivael hanya tertawa jahat tanpa dosa.
Ponsel Rivael berdering dengan nada salah satu lagu milik black pink yang berjudul "let's kill this love." Ravael yang mendengar itu saling bertatap dengan bundanya lalu tertawa kencang disusul oleh bundanya. Meledek sekali, pikir Rivael.
Rivael sedikit menjauh dari bunda dan juga kembaran nya itu yang notebene nya sebagai adiknya.
Ia melihat dengan pandangan sinis setelah mengetahui siapa yang menelponnya. Niatnya ia memilih untuk tidak mengangkatnya, namun dipikir pikir tak salahnya juga ia mendengar kan apa yang ingin sang empu katakan.
Ia memencet tombol warna hijau dan mendekatkan ponsel berdigit Apple itu kedaun telinganya.
"Kenapa? Kalo lo minta bantuan gue lagi dengan tujuan yang sama seperti kemarin, sori, gue gak bisa. Gue rasa juga udah cukup untuk mewakili balas budi lo dimasa lalu. Jadi, gue pikir pikir kita impas," ucap Rivael dengan emosi yang tertahan. Ia cukup muak dengan Marcell yang sudah ia anggap sebagai sahabat nya sendiri meskipun umurnya terpaut 2 tahun lebih tua darinya.
"Oke! Kali ini gue gak maksa lo untuk bantu gue dalam masalah ini. Tapi, jangan harap orang yang kembaran lo sayang dan cintai itu bakalan hidup bahagia dan tenang seperti sebelum sebelum nya. Gue bakalan urus ini sendiri," ancam Marcell dari sebrang sana. Setelahnya, telepon itu dimatikan langsung oleh sang empu.
Rivael yang diperlakukan seperti itu agak kesal sedikit. Disatu sisi ia ingin membantu sahabatnya itu namun disisi lain ia tak mau lebih banyak orang yang tersakiti akibat ulahnya. Cukup sudah ia kehilangan kekasihnya itu.
"Lo gak perlu khawatir," ujar Ravael dari belakang. Ravael berjalan kearah kembarannya itu dan memberikan satu kaleng soda yang langsung diterima dan diminum oleh sang empu.
"Gimana gak khawatir coba?!! Efeknya berdampak besar bagi kita semua!" Jujur Rivael pusing.
Ravael menghela nafas. "Cukup pengorbanan lo untuk gue. Sekarang giliran gue yang berjuang," balas Ravael mantap.
"Gue bakalan tetep pantau lo," final Rivael yang seperti nya sedikit menyetujui ucapan kembarannya itu. Bagaimanapun nantinya ia akan siap menjadi tameg adiknya itu untuk berlindung di dirinya.
Namun ada hal lain yang dipikirkan oleh Rivael saat ini. Ada yang janggal dengan ucapan Marcell ditelepon barusan. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak memikirkan yang tidak tidak.
••••••
Pukul 19.56 WIB
"Gimana sekolah kamu. Baik, kan?," tanya papa Audrey. Audrey yang lagi memakan salad buah berhenti mengunyah alu mengangguk patuh.
"Abang kamu kemana? Tumben biasanya dempet sama kamu buat ngeledekin," timbrung mamanya tiba tiba.
Audrey diam sejenak, lalu menaruh salad buahnya diatas meja TV.
Audrey menyengir kearah kedua orangtuanya. Orangtuanya yang tahu apa aksi yang akan dilakukan oleh anaknya itu hanya geleng geleng kepala. Namun setelah itu mereka kompak mengacungkan dua jempolnya kearah anaknya itu dengan senyum Pepsodent yang menghiasi wajah suami istri tersebut.
Audrey menaiki tangga menuju kearah kamar Marcell yang dipintu bertuliskan 'kamar Cell ganteng orang jelek dilarang masuk—A'
Audrey menatap malas tulisan tersebut. Tulisan tersebut sudah berdiri sejak ia umur 10 tahun. Disaat ia sedang mewarnai lalu dengan iseng ia menuliskan krayon dipintu kamarnya. Bertuliskan 'Abang Cell jelek, jadi gak boleh masuk.' Marcell yang melihat tersebut membalas tingkah adiknya dengan menuliskan kembali kalimat yang hampir sama dengan adiknya tersebut. Tau lambang A? Iya! Itu Audrey!
Audrey langsung membuka pintu kamar abangnya itu. Ralat dengan didobrak. Audrey mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar abangnya itu. Terlihat cukup berantakan, pikirnya. Ada apa dengan abangnya itu? Jarang jarang kamarnya berantakan seperti ini. Justru jika dihari hari biasanya kamar Audrey jelas sangat astaghfirullah jika dibandingkan dengan kamar Marcell yang subhanallah.
Ia melihat ranjang abangnya itu. Kini ia paham, abangnya ketiduran. Pantas saja. Ia berjalan kearah abangnya,lalu menyibakkan selimut dari tubuh Marcell.
"Bangun lo! Ngebo mulu kerjaannya!" Sungut Audrey tak tahu diri. Namun bukannya dapat balasan dari Marcell justru ia ditarik oleh Marcell. Hal hasil kini ia terbaring di samping Marcell.
Audrey merasa akan ada sesuatu yang terjadi. Ia menjadi was was dengan tingkah abangnya barusan. Baru kali ini ia diperlakukan dengan sifat agresif abangnya itu.
"Ab—" belum saja Audrey melanjutkan pembicaraan nya namun kecupan dikeningnya itu cukup tak bisa membuat ia sama sekali berkutik.
Marcell kini sudah berada diatas tubuh Audrey yang kini Audrey berada di bawah tubuh abangnya itu.
Audrey menatap wajah abangnya yang sama juga sedang menatap dirinya. Tak bisa diartikan bagaimana tatapan Marcell saat ini. Hanya 3 hal yang dapat Audrey tangkap. Yaitu kasih sayang, kekhawatiran, dan juga tatapan sendu nan lelah yang abangnya berikan untuk nya.
Marcell mengelus surai Audrey seraya berkata.
"Gue sayang lo," tiga kata itu sungguh membuat Audrey diam membeku.
Jangan bilang—abang nya itu benar benar dalang dari semua ini? Dan alasannya adalah karna ia menyukai dirinya?
Oke, itu terlalu halu!
Audrey tersenyum kearah abangnya. Ia menepis pikiran pikiran buruk itu, ia yakin abangnya tidak seperti itu.
"Gue juga sayang lo, bang. Kita kan debang," balas Audrey jujur. Memang benarkan? Sebagai adik dan kaka kita harus saling menyayangi.
Marcell menghempaskan tubuhnya disamping Audrey. Audrey tengkurap menghadap kearah Marcell.
"Janji sama gue," ucap Marcell menggantung.
"Janji apa?," Tanya Audrey penasaran dengan perasaannya yang was was.
"Janji sama gue setelah semua terbongkar, jangan percaya dengan semua yang terjadi didepan mata lo nanti. Masih ada yang gue sembunyikan dari ini semua," sambung Marcell sedikit ambigu. Audrey mengerti. Audrey memandang abangnya dengan mata yang sudah berkaca kaca dan siap untuk menumpahkan air matanya itu.
"Jadi bener, bang? Yang dibilang sama mereka semua? KALO DALANG DARI SEMUA MASALAH INI ITU, ELO?!! IYA?!!" Teriak Audrey dengan meninggikan nada suaranya lalu duduk seraya mengeluarkan seluruh isak tangisnya. Untung saja kamar Marcell kedap suara. Jadi ia tak perlu khawatir dengan orang tuanya karna pasti mereka sudah jelas tidak dapat mendengar apa apa.
"Drey, dengerin gue! Ini semua gak bener! Lo harus dengerin penjelasan gue dulu!" desak Marcell tak terima. Ini bukan salah dirinya!
Audrey beranjak dari ranjang Marcell. Namun buru buru Marcell menghadang jalan Audrey.
Audrey yang melihat abangnya berani beraninya melakukan semua itu. Tak menyia nyiakan kesempatan, ia menampar keras pipi mulus Marcell itu hingga Marcell kini terlihat menahan sakit. Audrey melampiaskan semua amarah nya kepadanya. Katakan saja dia jahat, namun ini sudah menjadi resiko Marcell. Siapa suruh membangunkan singa yang sedang tidur.
Audrey geleng geleng kepala seraya menatap tangan kanan yang sudah berani beraninya menampar abangnya itu. Namun ia menggeleng frustasi, dirinya tak salah. Marcell pantas mendapatkan itu.
Audrey menatap tajam kearah Marcell yang kini memasang wajah bersalahnya. Cih!sepersen pun Audrey tidak bisa mengasihani orang tersebut. Ia sudah banyak merusak kebahagiaan orang lain termasuk dirinya.
Tak tahu kah ia? Jika bukan diri Audrey saja yang tersakiti namun Chatrine—sahabatnya pun ikut tersakiti, orang yang ia cintai pun tersakiti, dan kembaran orang yang ia cintai pun tersakiti. Yang jelas pun tertekan dengan ini semua.
"Gue gak nyangka ya sama lo! Bang? em—kayaknya lo udah gak pantes gue panggil abang setelah hal apa aja yang udah lo perbuat selama ini," lirih Audrey dengan menahan isak tangisnya namun tak henti hentinya air mata itu tumpah dari kedua bola matanya.
Marcell yang melihat itu ingin sekali menghapus air mata tersebut. Ia paling tidak bisa melihat adiknya itu menangis. Ia tak peduli jika Audrey membenci dirinya. Dirinya sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin semua orang tahu bahwa ini bukan salahnya. Bukan salahnya!
"Drey, plisss!! Gue mau lo kasih gue waktu 10 menit aja untuk dengerin penjelasan gue!" Harap Marcell dengan tatapan terluka. Entah apa yang sedang abangnya rencanakan lagi yang pasti Audrey tak akan bisa membiarkannya.
Ia memandang sinis Marcell. "Satu detik waktu gue itu berharga, dan gue gak akan membuang waktu gue hanya untuk mendengar penjelasan dari mulut busuk lo itu! Yang pasti sudah dimanipulasi oleh lo sebelumnya," sarkas Audrey. Marcell tertohok dengan tuturan kalimat yang dilontarkan Audrey untuknya.
Jadi, ia tak punya kesempatan lagi untuk membuat Audrey percaya kepadanya untuk terakhir kalinya?
Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimana pun Marcell harus bisa menarik perhatian adiknya itu untuk mendengarkan penjelasan dari mulutnya itu. Ya, penjelasan yang sebenarnya. Bagaimanapun caranya Marcell harus melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk hal ini.
"Oke! Kalo lo gak mau dengerin penjelasan gue. Gue tau gue brengsek. Gue tau gue pengecut. Gue tau gue gak pantes hidup. DAN GUE TAU PENGORBANAN GUE SELAMA INI UNTUK LO ITU GAK SAMA SEKALI LO HARGAI! Gue terima itu, asal lo bahagia. Maaf, kalo emang selama ini kebahagiaan lo terbuang dan direnggut oleh gue dengan sia sia. Tanpa bisa dikembalikan lagi. Tapi, yang pasti gue akan liat lo merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya dari semua yang gue lakuin untuk lo ini, selama ini. Meskipun nantinya udah gak ada gue, mungkin. Sekarang terserah lo! Gue hargai setiap keputusan lo untuk diri gue," jelas Marcell dengan nada terluka dan juga kecewa. Ia meluapkan segala emosi yang sudah ia pendam sejak tadi. Biarkan kali ini adiknya ia kasih ruang untuk bebas. Namun besok jangan harap adiknya tersebut akan kabur karena tak mau mendengarkan penjelasan terlebih dahulu darinya. Tak akan ia biarkan. Waktunya sekarang adalah, memikirkan cara apa yang harus ia lakukan esok hari untuk Audrey.
Audrey melihat abangnya sebentar. Kecewa? Sangat. Ia berjalan terburu-buru keluar kamar Marcell dan dengan kencang Audrey mendobrak pintu tersebut hingga temboknya bergetar.
Marcell teriak frustasi. Ia menghusap wajahnya, berfikir sejenak. Setelah cukup ia menghubungi seseorang di ponsel nya. Dirasa sudah beres ia mengambil dua lembar kertas lalu menulis kan kalimat yang sama didalam kertas tersebut.
Audrey menumpahkan segala kekecewaan nya didalam kamar nya. Lihatlah sekarang, penampilan nya kini sudah kusut. Kamarnya pun sudah seperti kapal pecah. Alat make up berserakan, bantal, guling, selimut sudah berada dilantai dengan posisi mengenaskan lalu tisu yang berserakan dilantai sesekali ada noda darah. Tak peduli dirinya kini mimisan tak peduli pusing yang menyerang kepalanya, dan tak peduli ginjalnya agak sakit.
Ia meringkuk diranjang sesekali meracau tak jelas. Air matanya sudah bertumpahan dimana mana. Ia terlanjur kecewa, sakit, lelah, bercampur jadi satu. Ia berfikir belum puas kah Tuhan menguji ia dengan penyakit nya? Lalu, ditambah lagi dengan masalah yang satu ini. Kadang, ia berfikir, apakah ia tak pantas bahagia seperti yang lainnya? Apakah ia tak pantas mendapatkan apa yang ia inginkan? Dan apakah tak ada secuil harapan untuk mendapatkan kebahagiaan? Apa salahnya?ia tak pernah menyakiti siapapun, jika orang tersebut tidak mulai dengan dirinya!itu pun jika ada, ia akan membalasnya saja!tidak berlebihan. Atau, dosa dimasalalu kah? Tapi—orang itu mati bukan salahnya.
"GAK!! INI BUKAN SALAH GUE!! BUKAN SALAH GUE, BUKAN SALAH GUE!!!" Teriaknya frustasi. Bisikan bisikan orang orang dahulu kala yang memandang dirinya seperti itu terus berputar dimemori otaknya, bisikan bisikan tersebut kini mulai menghantui nya lagi. Ia menjambak rambutnya dengan kedua tangan sesekali berteriak dengan kalimat yang sama.
Marcell, kedua orangtuanya, Samuel yang masih tinggal di sana, dan juga Yoga yang kini memutuskan untuk menjaga Audrey seperti dahulu kala, mendengar kembali teriakan kalimat tersebut. Buru buru mereka menuju kamar Audrey.
Bintang (mamahnya Audrey) dan juga Putra (papahnya Audrey) yang sudah berdiri diambang pintu membekap mulutnya tak percaya atas pemandangan yang dilihat begitupun yang lainnya. Mereka semua diam membeku tak berkutik suasana seperti ini nyata nya belum berakhir.