Pukul tiga pagi Audrey sudah terbangun dari tidurnya. Ia sengaja bangun pagi pagi buta seperti ini, rencana nya ia ingin membuat sesuatu untuk Ravael. Sebuah kotak bekal untuknya nanti. Semoga Ravael menerimanya.
Audrey beranjak dari kasurnya dan pergi menuju toilet terlebih dahulu untuk sekedar membasuh wajahnya saja, berharap kantuk yang masih menyerangnya itu cepat pergi.
Kini, Audrey sudah berkutat dengan alat alat dapur. Ia rencananya akan membuat
Sandwich yang paling simpel versi Audrey. Cukup simpel memang, tapi berkesan.
Sekitar setengah jam kurang lebih ia berkutat dengan alat dapur. Akhirnya selesai juga. Ia cukup bangga atas karya nya sendiri. Ini adalah pertama kalinya seorang Audrey membuat sesuatu. Sebab, selama ini jika makan ia hanya meminta dan meminta. Bukan ia tak pintar masak atau apalah, lebih tepatnya mencari yang mudah. Itulah motto hidup nya sedari dulu.
So, disini siapa yang kayak Audrey?
Setelah cukup beres, ia kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri. Mama dan Papanya belum bangun, semua belum bangun. Hanya dirinya seorang.
Langkahnya terhenti ketika ia bertepatan dengan pintu kamar yang bersebalahan dengannya. Pintu itu, pintu itu adalah pintu kamar Abangnya. Ia langsung teringat kembali momen momen manisnya bersama Abangnya itu. Abangnya yang jahil namun diam diam perhatian, Abangnya yang bodo amatan namun diam diam peduli, Abangnya yang suka membuatnya kesal setengah mati namun kedua nya saling sayang. Dan orang itu kini sudah berbeda dunia dengannya. Audrey tersenyum kecut, air matanya ikutan menetes. Titik kelemahan didalam diri Audrey adalah ditinggal dengan orang yang sangat ia sayangi. Ia perlahan membuka kenop pintu kamar Abangnya itu, masih terlihat rapi seperti waktu terkahir ia melihat ruangan ini. Merasa tidak mau terus menerus mengingat dan membuatnya down lagi, ia menutup kembali pintu kamar Abangnya itu dan melanjutkan langkahnya ke kamarnya.
•••••
Sekarang menunjukkan pukul jam setelah enam pagi. Audrey sudah siap dengan segalanya. Ia menenteng paper bag yang isinya kotak makan yang sempat ia buat tadi untuk Ravael. Audrey menuruni tangga, disana sudah ada Putra, Bintang, dan juga sahabat sahabat nya.
"Langsung berangkat? Gak makan dulu?," tawar Bintang.
"Gak usah, Ma. Soalnya macet," sahut Audrey cepat yang diangguki oleh Bintang.
"Yoga, hati hati ya bawa mobilnya. Jaga mereka semua," pesan Putra yang diangguki oleh semuanya.
Didalam perjalanan.
"Sandwich buat siapa, Drey?," Basa basi Yoga untuk mencairkan suasana didalam mobil. Didalam mobil Yoga, terisi oleh Samuel yang duduk di sebelah nya dan dibelakang terdapat Audrey bersama para sahabatnya. Sedangkan Delwyn dan Davit mereka memilih berangkat bersama Ravael.
Audrey tersenyum kecil seraya menunduk. "buat Ravael. Sengaja gue kasih ini, biar pertemuan perpisahan sementara ini berkesan. Yang lebih penting, dia bisa inget gue selalu kalo ngeliat tempat makan ini," jelas Audrey tulus. Mereka yang mendengar nya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tak berniat menjawab. Mereka terlalu skak mat dengan jiwa tangguh yang Audrey punya. Jelas jelas Ravael menyakitinya berkali kali, namun gadis ini sama sekali tak menyerah untuk memperjuangkan nya sepersen pun.
Mengapa tadi ia menyebutnya dengan perpisahan sementara? Karena ia yakin, di masa yang akan datang nanti, ia akan kembali bersama dengan orang itu. Bahkan menjadi momen yang manis nantinya.
Berharap? Biarkan saja. Bukankah kita harus berharap dulu dalam sesuatu hal yang ingin kita dapatkan bukan? Begitu pula dengan Audrey. Tapi jangan harap impian kamu itu akan terwujud jika tak diiringi dengan usaha.
Yang tadinya hening tiba tiba suara polos terlontar begitu saja dari sang empu yang duduk di sebelah kiri Audrey.
"Kalo misalnya Ravael gak mau nerima gimana?," Monolog Ferisha.
Samuel, Yoga, dan Chatrine yang mendengar nya ingin saat itu pula mengeluarkan Ferisha dari mobil kejalan raya. Biarkan gadis itu menjadi rakyat jelata nantinya tak tau arah jalan pulang.
Ingin rasanya Samuel mengumpati kata kata kasar untuk kekasihnya itu, begitu pula dengan Chatrine yang yang sudah ingin menguliti kulit Ferisha hidup hidup. Sedangkan Yoga? Ia hanya mengumpati seribu serapah kalimat yang ia pendam didalam batinnya itu.
"Bisa gak sih, lo gak usah bikin Audrey down?," Sembur Chatrine kesal akhirnya. Ferisha yang merasa dipojokkan begitu menghela nafas seperti ada beban hidup. Mereka yang mendengar itu lantas bergedik jijik.
"Gue kan cuma nanya. Seenggaknya gitu kan—" ucapnya dengan nada tak bersalah. Namun Ferisha sedikit risih. Atmosfer disekitarnya kian menipis ketika tatapan nya beralih kepada nya semua. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Bukankah ia bagus mempertanyakan kalimat tersebut untuk sahabat nya? Bertujuan untuk agar Audrey memikirkan dua kali untuk melakukan hal tersebut.