"Angel pindah ke Indo," kasih tahu Monica tiba tiba yang membuat Ravael, Alex dan juga Gian melotot kan matanya tak percaya.
"Mantan sahabat lo itu?!" Tanya Gian tak selow.
Alex yang berada tepat di samping Gian itu memukul Gian. "Gak usah teriak di kuping gue juga kampret! Kuping gue ternodai gegara umpatan lo itu!" Sentak Alex. Pemuda ini—Gian cuma nanya, apa salahnya? Ini Alex kayaknya mulutnya harus dikasih cabe biar gak nyibirin orang trus kerjaannya.
"Gue gak tahu Audrey bakalan tetep nerima gue atau enggak nantinya. Pasti Angel udah bongkar semua masa lalu gue ke Audrey. Secara dia benci banget sama gue," tutur Ravael seraya menghembuskan nafas berat.
Gian bergedik jijik. "Nafas lo berasa kayak punya beban hidup lebih, tai!" Semprot Gian.
Suasana macam apa ini?!! Mellow sekali.
"Jangan nethink dulu lah. Gue yakin Angel orang baik," lanjut Gian yang tanpa mereka sadari Gian tengah memuji gadis itu.
Terlebih lagi kini ada kekasih Gian yang memang ikut peran juga dalam persahabatan mereka.
Charly menatap Gian tajam. "Oh, jadi sekarang kamu udah mulai berani ya, muji muji cewek lain didepan aku?!!" Tuntut Charly berapi api.
Gian sontak saja gelagapan. "Bu—bukan gitu maksud aku—aku cuma mengutarakan apa yang aku pikir," balas Gian sempat terbata bata.
"Mampus! Kena semprot kan lo" ledek Alex dengan kepuasan yang membara jiwanya.
Sahabat macam apa itu?!! Bahagia diatas penderitaan sahabat nya sendiri. Pikir Gian.
Alex mungkin mempunyai jiwa cenayang didirinya itu. Seolah olah ia tahu apa yang dipikirkan Gian.
Dengan enteng dan wajah tumpengnya itu Alex berbicara.
"Kalo lo mikir gue bahagia di atas penderitaan sahabat gue sendiri—jawabannya salah besar!" Ucap Alex. Tidak! Gian salah paham terhadap Alex.
Baru saja Gian ingin memeluk Alex tapi pemuda tersebut angkat bicara.
"Karna pada dasarnya lo bukan sahabat gue!" Lanjut Alex sarkas.
Wah, ngeselin parah.
Gian mengumpat beribu ribu serapah ia suarakan di batinnya itu.
Pemuda ini dengan satu waktu membuatnya terbang tinggi lalu di jatuhkan lagi di jurang yang paling dalam.
Namun ucapan Alex selanjutnya langsung membuat dirinya terbang dari yang sebelumnya.
"Tapi udah gue anggap sebagai keluarga," lanjut nya lagi.
Sontak saja Gian langsung tertawa. Sahabatnya yang satu ini—sungguh, muka datar, kadang dingin dan sarkasnya itu tapi mampu mencairkan keadaan kadang kadang dan suka membuat orang jatuh dan terbang secara bersamaan.
Ingin rasanya ia mengumpat pelan untuknya.
"Kampret! Bilang aja kek, kayak gitu dari tadi! Gak usah setengah setengah," ujar Gian berapi api disusul oleh tawa.
Kesel juga gak sih kalo diposisi Gian? Paling ksl emg klo ada org ngomong tuh stgh2-_-
Alex mendelik tak suka. "Lo nya aja yang gampang baper."
Nah kan, apa yang tadi Gian bilang.
Baru aja dirinya terbang kini sudah jatuh lagi.
Monica, Ravael dan Charly yang jengah atas perdebatan itu pun angkat bicara untuk kembali ke topik pertama.
"Gue percaya kok Angel bakalan jaga rahasia ini. Lo gak salah gimana pun, Rav. Gue bisa liat dari mata Angel kalo dia itu gak mudah buat lupain gue sebagai seorang sahabat nya. Cuma dianya aja yang pinter akting, tapi di depan gue enggak. Sejauh dan sekeren apa pun dia akting or bersandiwara, tetep aja. Jiwa gue sebagai sahabat sejati nya itu bisa membedakan mana yang pura pura mana yang sungguh sungguh," jujur Monica penuh arti yang mampu sedikit menenangkan jiwa Ravael yang panik.
"Semoga."
"Tapi kalo misalnya dia bongkar gimana?," Tanya Gian ceplas ceplos.
Gian kampret!
ingin rasanya Charly menggelamkan ke samudra yang paling dalam di muka bumi ini.
"Lo anaknya emang gak bisa diajak kompromi buat nenangin si Rava, ya!" Jengah Alex.
"Kan gue cuma ngomong, apa salahnya," balas Gian tak kalah jengah.
"Bapak ama anak gak ada akur akurnya," tutur Charly seraya memijat pelipisnya yang merasa pusing atas perdebatan mereka. Namanya juga sahabat, sesering sering mereka berantem namun tetap saja tak akan memisahkan persahabatan mereka.
"Kalo seadanya Angel bener bongkar semua itu harapan gue cuma satu. Semoga Audrey masih bisa nerima Ravael. Tapi gue percaya kok, Audrey bukan orang yang dengan mudahnya percaya dengan omongan orang lain, dia pasti belajar dari masa lalunya yang menimpa nya itu. Itu harapan kita karna pada kenyataannya Ravael samsek gak bersalah!" Monic angkat bicara.
"Entah kapan orang orang percaya dengan kenyataan ini. Gue kadang aneh, isu di kata kenyataan, tapi kenyataannya dikata hoax. Dasar netijen!" sembur Monica final.
"Dan lo beruntung karna di cintai sama cewek kayak Audrey. Jangan nyia nyiaian kesempatan di masa depan nanti ketika Tuhan masih kasih lo kesempatan buat bersama Audrey. Jangan nyakitin dia lagi atau lo bakal nyesel selamanya," lanjut Monica yang entah mengapa tiba tiba kata kata itu terlontar dari bibir nya begitu saja.
Akankah di masa depan akan seperti itu?
Berdoa saja semoga tidak.
••••••••••
Lain hal nya dengan Audrey dkk. Hari ini adalah hari Minggu, kini mereka tengah bermain di rumah Angel. Sekedar pendekatan saja dengan keluarga Angel.
"Kalian temen barunya Angel?," Tanya Olif—Mommy Angel.
"Iya Tante," sahut Yoga sopan seraya bersalaman dengan wanita paruh baya itu disusul oleh yang lainnya.
"Gampang akrab ya kalian," basa basi Olif.
Davit yang merasa ada yang janggal pun ia angkat bicara. Tak mau rasa penasaran nya makin membelenggu direlung hatinya.
"Tan, saya mau tanya."
Disisi lain Delwyn berbisik bisik kepada Samuel.
"Gila sih! Si Davit gercep banget," bisik Delwyn tapi gak niat niat amat. Jadinya didenger oleh semuanya. Pada dasarnya itu bukan bisikkan, tetapi berbicara seperti biasa.
Davit mengumpat kepada Delwyn. Dasar bapak bapak rumpi!
Olif terkekeh sedangkan Angel jantungnya berdetak lebih cepat dari yang biasanya. Seperti ia melihat pemuda itu sejak pertama kali. Tentu saja Davit pun merasakan hal yang sama.
"Suami Tante kemana?," Tanya Davit sedikit sungkan.
Samuel, Angel dan Olif raut wajah nya berubah menjadi muram atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Davit.
Angel membuang muka, sekelabat ingatan masa lalunya itu membuat ia tak tahan menahan air matanya lalu dengan cepat Samuel merengkuh tubuh Angel.
Olif pun dengan sepenuh hati menjawab meskipun itu sakit. "Deddy nya Angel udah meninggal." jawab Olif sedikit membuat mereka tertegun.
"Maafin kembaran saya, Tan," timbrung Ferisha angkat bicara.
"Gak papa kok. Nak Davit gak salah, mungkin dia heran aja."
"Maaf Tan, saya gak tau."
Olif berjalan kearah Davit menepuk nepuk bahu pemuda itu—seraya berbisik.
"Lain kali jangan tanyakan soal itu didepan Angel, ya. Kamu bakalan tau nanti alasannya, tapi gak sekarang, Angel belom siap bagi bagi cerita masalalu nya itu yang pelik. Sampein ini ke temen temen kamu yang lainnya," bisik Olif seraya tersenyum tulus lalu berjalan kearah dapur.
Davit? Ia hanya mengangguk saja, tak tahu harus menjawab apa. Di benaknya ia bertanya-tanya, Apa yang terjadi dengan Daddy Angel itu? Hingga kini sudah tiada? Dan mengapa Angel sangat ketakutan jika mengingat nya, jelas sekali di pandangan Davit jika gadis itu sangat ketakutan dan seperti trauma dengan masa lalunya.
Davit menghampiri Angel yang kini tengah terisak di dekapan Samuel.
Ia memegang pundak Angel tapi tangannya langsung ditepis kasar oleh Samuel.