"Hshh," desis Audrey ketika ia terbangun dari tidur nya.
Dari arah pintu, terlihat Yoga yang sedang memegang nampan berisikan bubur lengkap dengan lainnya.
"Gue kenapa?," Tanyanya masih setengah pusing.
"Tadi pingsan. Apa sakit banget?," Sahut Yoga cemas seraya menaruh nampan itu diatas nakas.
Audrey menggelengkan kepalanya pelan.
"Gak kok. Kan udah biasa."
Audrey merenung sesaat. "Bukannya tadi kata Samuel lo udah pulang?," Tanya Audrey.
Yoga mengambil sesendok bubur itu lalu ia menyuapkan Audrey. "Tadi cuma ada urusan sebentar. Gue balik karna tadi Samuel nelpon. Katanya lo pingsan. Jadi nya gue balik lagi. Gue juga memutuskan buat nginap aja, besok libur ini," jelas Yoga yang hanya didengarkan oleh Audrey.
Tak terasa suap demi suap dimakan oleh Audrey dan kini habis tak tersisa.
Yoga mengambil air putih di atas nakas, tak lupa beberapa obat obatan. Lalu ia sodorkan itu semua ke Audrey seraya berucap.
"Di minum. Biar cepet sembuh," bujuk Yoga lembut.
Audrey melakukan sesuai keinginan Yoga. Bagaimanapun juga ini untuk kesembuhan dirinya sendiri. Seenggaknya sebelum ia menjalani pengobatan dan transplantasi ginjal nantinya, ia masih bisa meminum penawar rasa sakit untuk sementara.
"Nurut sama Mama Papa lo. Bagaimanapun juga yang dia saranin, itu yang terbaik," ujar Yoga tegas.
Audrey menggigit bibir bawah nya. Air mata cewek itu luruh seketika.
Ia menunjukkan sisi lemahnya ke arah kekasihnya itu.
Yoga memeluk Audrey dengan erat, seraya mengelus puncak kepala kekasihnya itu dengan rasa sayang.
"Hiks—gue—gue belom siap, Ga. Gue takut. Lebih baik, untuk saat ini gue jalanin kemoterapi dulu aja," Isak Audrey.
Yoga menatap rambut Audrey yang rontok itu. Cowok itu tersenyum.
Senyum itu lagi.
"Walaupun fisik lo gak sama seperti sekarang nantinya, gue bakalan tetep di sisi lo. Sampe kapanpun." Ada jeda. "Meskipun gue tau lo belum lupain Ravael." Lanjut Yoga.
Audrey semakin menumpahkan isakannya di dekapan kekasih nya itu. Kurang apa dirinya di dalam hidup Audrey? Yoga terlalu baik untuk dirinya. Sedangkan dirinya? Audrey sama sekali tidak bisa untuk mencintai Yoga. Sudah di paksa, sudah di jalankan, sudah berusaha. Tapi tetap saja hatinya hanya untuk masalalu nya itu.
Yoga menguraikan pelukannya. Memegang bahu Audrey dengan tatapan menyemangati.
Yoga tersenyum lebar. "Semangat! Lo pasti bisa. Seengaknya di dunia ini banyak banget yang sayang sama lo. Gak ada yang lebih berarti di dunia ini dari pada kehidupan dan gak ada yang lebih berharga dari diri kita sendiri. Tetep percaya diri," ujar Yoga memberi semangat ke arah kekasihnya.
Audrey tersenyum.
"Makasih."
•••••••••
"Syutt! Syut! Oy," bisik Chatrine ke arah Ferisha yang tepat duduk di belakang nya.
Ya,kini mereka semua tengah melaksanakan ujian kenaikan kelas. Sebentar lagi Audrey dkk ingin menginjakkan kakinya ke kelas 12 dan di ruangan ini lah mereka semua berusaha berlomba lomba untuk mendapatkan nilai yang terbaik.
Chatrine sedari tadi ketar ketir membaca soal soal matematika di hadapan nya.
Ingin rasanya ia membakar kertas tersebut. Dirinya jengkel. Pelajaran yang malam ia pelajari sama sekali tidak keluar. Lebih tepatnya tidak ingat rumusnya.
Ketika kita belajar matematika, banyak sekali rumus rumus yang harus kita hafal. Beda jenis soal, beda pula rumusnya. Apalagi terkadang di buku paket tidak dituliskan rumusnya. Jenis soalnya berbeda, tapi rumus belum dijelaskan.
Pas mau nanya ke guru. Guru cuma bilang "tinggal diubah aja atau di balik rumusnya. Rumusnya sama aja."
Pernah kayak gini juga? Atau cuma author doang?
Betapa nyelekitnya bukan? Pasti kalian juga pernah bukan mengalami hal semacam ini?
Aku juga pernah kok sama tmn tmn aku wkwk. Tpi untung diselamatkan sama mbah Gugel:)
Ferisha hanya melirik ke arah depan saja, takut takut guru yang super galak itu kembali memarahi anak muridnya yang nekat menyontek.
Chatrine yang hanya di lirik hanya menatap sahabatnya itu jengkel.
"Dasar pelit." Celetuk Chatrine tanpa sadar.
Bu Ani yang mendengar itu melepas kaca mata kebanggaan nya dan menatap Chatrine tajam.
Chatrine yang sadar pun mengumpat dalam hati. Ia bersumpah, jika ia mempunyai anak, mending anaknya home schooling saja, biar lebih aman. Itu sih pemikirannya.
"Chatrine! Ada apa?" Cyduk Bu Ani dengan mata yang menyala nyala bak film GGS;v
"Gak ada apa apa kok Bu. Tapi cuma memperagai iklan permen milkita aja," balas Chatrine ngasal. Mau tak mau murid yang seruangan dengan Chatrine hanya menahan tawanya saja yang kapan saja siap di ledakan. Tapi bukan sekarang. Itu sama aja membangunkan singa yang sedang tidur. Sekarang aja udah bangun tuh, nanti tambah marah bisa mati sekelas.
Mereka masih sayang nyawa.
"BERANI YA KAMU SAMA SAYA!!" Teriak Bu Ani sambil menghampiri ke arah Chatrine.
Chatrina otomatis menggaruk pelipisnya itu yang tak gatal sama sekali. Kenapa gue harus takut? Emang nya dia Tuhan?
Bingung Chatrine dalam batinnya.
Chatrine yang melihat itu langsung membuang pandangannya ke arah luar jendela.
Sial. Dirinya di perlihatkan oleh anak ruangan sebelah yang sudah selesai.
Masalahnya—
Di sana ada sahabat sahabat nya. Dirinya hanya seruangan dengan Ferisha. Dan parahnya Ferisha sama Chatrine itu 11 12. Meskipun mereka udah belajar, udah hafal rumusnya juga, tapi terkadang nyaris tidak bisa menjawab soal soal yang terlihat membingungkan nya. Karena, kebanyakan soalnya itu dibalik. Nah, jadi bingung rumusnya gimana.
Dasar nasib.
Dan tanpa beban, sahabat sahabat nya itu hanya memandang Chatrine dengan tatapan mengejek seraya tertawa.
Dasar setres, batin Chatrine geram.
Bu Ani yang geram akan sikap Chatrine pun menggebrak meja Chatrine dengan keras.
Seluruh anak murid hanya diam saja.
Kaget pasti nya.
Apalagi dengan Chatrine. Cewek itu refleks langsung bertatapan dengan mata elang Bu Ani.
Tatapan itu—
Tatapan yang membuat diri Chatrine jengekel setengah mati.
Dengan perasaan campur aduk Chatrine hanya diam saja. Bukan, bukan dirinya tak berani menjawab. Tapi dirinya mengumpulkan kekuatan dulu untuk melawan rasa was was kepada guru ini, pikir nya.
"Kenapa diem aja? Ayo jawab! Liat, yang lain udah pada selesai, kamu ibu perhatiin dari tadi kayak cacing kepanasan gak bisa diem. Nengok nengok kebelakang terus. Kamu mau minta contekan sama Ferisha?" Murka Bu Ani geram dengan anak murid yang satu ini.
Ferisha menegahi. "Udah Bu. Saya kan sahabat nya, jadi wajar aja, sih. Saling membantu itu Bu namanya bukan nyontek. Tapi kalo nyontek juga manusiawi kok Bu. Emangnya, ibu gak pernah nyontek waktu pas jaman sekolah?," Bela Ferisha yang sama sebelas dua belas nya dengan Chatrine. Sangat geram dengan guru satu ini.
Bu Ani termenung. Pikirannya berkelana kemana mana, bahkan dirinya dulu bersama teman temannya lebih parah dari ini.
Memang. Manusia gampang sekali menjudge dan menghakimi orang lain tapi tak pandai berkaca pada diri sendiri.
Tapi, disini kan tugas nya sebagai guru. Wajar wajar aja dong dirinya bersikap seperti ini.
"Mau saya hukum kamu?!!" Ancam Bu Ani.
Chatrine dan Ferisha hanya bertatapan dan mengedikkan bahu, lalu sama sama mengambil kertas ulangannya di meja dan mengumpulkan nya di meja guru.
Chatrine dan Ferisha berjalan beriringan keluar kelas untuk menghampiri para sahabat nya itu yang sudah menunggunya, seraya berucap bersamaan.
"Disini ibu cuma jadi guru, sedangkan kita punya hak lebih dari itu. Yang ada ibu yang di pecat," ujar mereka bersamaan dengan tampang angkuh.