Jika kau hidup di antara serigala kau harus bersikap seperti serigala.
(Nikita Krushchev)
“Malam ini purnama bersinar terang sekali.” Ujarku seraya membuka pintu balkon kamarku yang terletak di lantai dua.
Dengan langkah perlahan, aku melangkah keluar dan melebarkan kedua tanganku lebar-lebar. Aku merasakannya. Bulan telah memberi pengaruh pada tubuhku. Aku menengadahkan kepala dan mengarahkan pandanganku pada purnama yang seakan menusuk mata dan sanubariku semakin dalam.
Aku merasakan otot-otoku menegang dan tumbuh membesar hingga terasa sangat menyakitkan. Begitu sakitnya, hingga seperti meregang nyawa. Sesaat kemudian, aku merasa seperti dilahirkan kembali dengan tubuh dan kekuatan lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku merapatkan gerahamku saat…
“Fillan, hentikan itu.” Tukas Selina saudariku. Rambutnya yang pirang pucat basah dan tubuhnya yang ramping terbalut handuk berwarna putih. “Saat ini masih terlalu dini bagi kita untuk berubah.”
“Oh, jadi belum boleh, ya.”
Aku membalikkan tubuhku dan menatap Selina sambil mengerlingkan senyuman miring. Sebenarnya aku bingung, kenapa saudariku itu selalu masuk ke dalam kamarku setiap kali selesai mandi.
“Bulan purnama belum mencapai posisi tertingginya.” Selina berjalan melewatiku sambil mengeringkan rambut pirangnya yang pucat dengan handuk kecil. “Kita harus berubah saat kekuatan kita mencapai puncaknya. Apa kau lupa janji kita pada ayah dan ibu?”
“Aku masih ingat.” Dengan cepat aku mengalihkan pandanganku saat Selena membuka handuk yang melilit tubuhnya begitu saja di hadapanku. “Untuk apa kau mandi setiap kali kita akan pergi berburu? Sama sekali tidak berguna!”
“Apa kau menyalahkanku karena suka kebersihan?” Selina meletakkan tangannya di depan dada. “Hei, kenapa kau mengalihkan pandanganmu?”
“Maaf, tapi aku sama sekali tidak tertarik melihat tubuhmu.” Aku berkata dengan hambar.
“Benarkah begitu.” Selina membalasku dengan suara menggoda. “Apakah kau yakin, Fillan? Apakah kau pernah menemukan gadis yang lebih cantik dan menarik dariku?”
Kemudian dia tertawa dengan mulut dikulum. Tawanya itu manis bagaikan dawai yang dipetik oleh tangan lentik yang cekatan. Wajahnya pun cantik bagai boneka pualam bermata biru dan berkulit terang bagai sinar rembulan.
Sementara itu tangannya membelai pipiku dengan lembut. Secara perlahan, Selina mendekatkan dirinya dan merangkul pundakku. Kemudian wajahnya mendekat untuk menciumku.
“Kau adalah saudariku.” Aku mendorong Selina. “Aku sama sekali tidak tertarik denganmu.”
“Kita hanya saudara angkat.” Selina kembali berjalan mendekatiku yang berada di luar balkon. “Kita bahkan tidak memiliki hubungan darah. Kalau kau memang memilik perasaan terhadapku, tidak apa-apa, iyakan?”
“Ah, bukankah yang kau maksud itu yang kau rasakan?" Aku tertawa seraya berjalan ke ujung kamar. "Iyakan, Selina.”
“Sejujurnya…” Selina mengalihkan pandangannya dan melanjutkan ucapannya dengan lirih. “Itu memang benar. Kau sudah tahu dari dulu kalau aku mencintaimu.”
"Tidak boleh!" Tukasku. “Kita dibesarkan sebagai saudara.”
“Yang tidak memiliki ikatan darah.” Selina meralat ucapanku. “Kita berdua adalah alfa. Sudah seharusnya bersama kita memimpin kawanan.”
“Seperti katamu aku hanya anak angkat.” Aku kembali menepis Selina yang memelukku dari belakang. “Aku tidak memiliki darah keluarga Greyling dan aku bukanlah alfa.”
“Kau akan menjadi alfa, Fillan.” Selina menarik tanganku agar aku kembali kembali menatap ke arahnya. Kedua matanya yang biasanya dingin tanpa emosi terlihat berbeda. “Aku menginginkanmu. Aku selalu menginginkanmu.”
“Carilah pasanganmu sendiri, Selina.” Aku berkata sambil membelai pipi saudariku yang sehalus pualam. “Aku adalah laki-laki. Sudah sepantasnya kalau aku mencari jalanku sendiri.”
“Untuk apa kau melakukannya? Apa kebersamaan kita selama tidak memuaskanmu?”
Mendengar ucapan Selina yang tulus, aku kembali tertawa dan mengalihkan pandanganku.
“Maaf, aku tidak bisa berpikir selama kau berdiri di hadapanku tanpa berpakaian.”
“Untuk apa aku mengenakannya kalau beberapa menit lagi aku akan merusaknya.”
“Itu masih beberapa menit lagi.”
“Kenapa?” Selina meleletkan lidahnya. “Apa kau malu?”