“Bagaimana bisa kita tidak sekelas?” Omel Selina. “Aku akan segera mengajukan protes pada kepala sekolah dan…”
“Itu wajar, ‘kan.” Dengan tenang aku berkata sambil tertawa. “Nilai-nilaimu jauh lebih baik dariku. Tentu saja kau akan dimasukkan ke kelas A.”
“Apa artinya sekolah bagi kita yang…”
“Sekolah itu penting, karena sembilan puluh lima persen hidup dari hidup kita adalah menjadi manusia.” Aku mengingatkan sambil menyeret saudariku itu agar terus berjalan. “Kau adalah alfa yang berarti kau harus mengurus keluarga besar kita kelak. Tolong jangan lupakan peran dan kewajibanmu itu.”
“Bagaimana denganmu?” Selina bertanya penuh harap. “Kau akan selalu menemaniku, iyakan?”
“Apa kau gila?” Aku tertawa. “Sejak dulu aku tidak suka gaya hidup kelas atas. Aku ingin kebebasan. Setelah lulus sekolah aku akan pindah ke Alaska dan menjadi penjaga hutan. Apa kau tahu, pemerintah akan membayar kita tiga ribu dollar setiap bulan apabila mau tinggal di Alaska? Aku akan hidup senang dan...”
“Aku akan memberimu separuh milikku asalkan kau tetap berada di sisiku.”
Mendengar itu, aku menatap Selina dalam-dalam. Kenangan masa lalu seketika itu juga terbayang di pelupuk mataku. Kami selalu bersama dan dekat satu sama lain. Apabila kami berpisah, aku pasti…
Aku menggelengkan kepalaku.
“Maaf, keputusanku sudah bulat. Aku adalah laki-laki dan aku akan membuat kawananku sendiri.” Walau Selina jelas-jelas enggan, aku melepaskan tanganku darinya. “Ini kelasmu, ‘kan. Sampai nanti sore.”
“Sore? Aku pikir kita akan makan siang bersama.”
“Gunakanlah waktu itu untuk bergaul dengan teman-temanmu.”
“Aku tidak mau bergaul dengan calon mangsaku.”
“Jangan bodoh! Kau tidak boleh memakan penduduk kota di mana kita tinggal. Itu salah satu dari empat peraturan kita, kau ingat.”
“Tentu saja aku mengingatnya.”
“Apa saja itu?”
“Satu, hanya berubah kala bulan purnama berada di titik tertingginya. Dua, tidak memangsa penduduk kota di mana kita tinggal. Tiga, bergaul dengan baik dan ramah sesuai kadarnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Empat, segeralah pindah ke tempat lain apabila ketiga peraturan sebelumnya tidak dijalankan dengan baik.”
“Bagus kalau kau mengingatnya.” Aku tersenyum sebelum meneruskan langkah ke kelasku yang terletak di ujung koridor. “Sampai nanti.”
Aku terus melangkah, walau pun aku tahu, bahwa hingga saat ini pun, Selina masih memandangku. Dia harus membiasakan dirinya terpisah dariku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau suatu saat nanti aku menempuh jalanku sendiri.
Akankah Selina mau menerimanya?
“Aku rasa aku lebih peduli padanya dari yang aku kira selama ini.” Gumamku pada diriku sendiri.
Aku berhenti di depan pintu kelas D yang tertutup. Menarik napas panjang dan membukanya setelah mengetuk pintu.
“Permisi.” Ujarku sopan saat masuk ke dalam kelas. “Aku Fillan Forester dan aku…”
Aku tertegun saat melihat seorang gadis berambut pirang yang duduk sendirian di baris belakang. Tidak salah lagi. Dia adalah gadis yang seharusnya menjadi mangsaku semalam. Aneh sekali kalau tenyata kami jadi teman sekelas. Aku…
“Aku tidak menolerir keterlambatan dalam kelasku, sekarang silahkan menghadap ke kantor wakil kepala sekolah.” Ujar seorang guru bertubuh pendek gemuk. “Hei, apa kau mendengar ucapkanku!”
“Maaf, aku memang dari sana sebelumnya.” Baru tersadar dari lamunan, aku menjelaskan. “Aku adalah siswa baru.”
“Oh, berarti kau…” Guru itu mencari buku absen. “Siapa namamu? Bannister?”