Menjelang pukul dua dinihari, aku merayap naik kembali ke atas balkon kamarku. Baru saja membuka pintu, aku melihat seseorang tengah tiduran di atas tempat tidur. Rambutnya yang pirang keperakan terurai tampak serasi dengan kulit pucat dan gaun tidur putih yang dikenakannya.
“Selina! Apa yang kau lakukan di dalam kamarku?”
“Entahlah.” Ujarnya seraya bangkit dari tempat tidur. “Seperti orang bodoh, aku pecaya padamu dan yakin kau memang akan tidur seperti yang kau katakan padaku. Tapi saat aku melihat ke dalam kamarmu, aku tidak melihatmu. Baumu pun samar tercium. Kau pasti langsung keluar rumah saat mengucapkan selamat tidur. Kemana kau pergi, Fillan. Sekarang bukan purnama, jadi untuk apa kau keluar rumah?”
“Aku bosan, jadi aku pergi ke luar dan menjelajah.” Ujarku cuek sambil membuka jaket.
“Dengan wujud manusiamu?” Selina menatap ke arah sepatuku yang kotor oleh lumpur.
“Ya. Kenapa?” Tanyaku santai.
“Apa asyiknya?” Selina bangkit dari tempat tidur.
“Jauh lebih asyik dari yang kau duga.” Aku tertawa.
“Lagi-lagi tanpa mengajakku?” Saudariku berjalan mendekat ke arahku. Sangat perlahan.
“Maafkan aku. Aku sedang ingin sendirian malam ini.” Aku mengemukakan alasan seraya kembali membelakanginya.
“Tapi kau tidak sendirian.” Selina menarikku hingga aku kembali menghadap ke arahnya. Dengan suara keras, ia menendus-endus aroma yang ada pada tubuhku. “Aku mencium aroma seseorang yang ku… hei, apakah dia gadis yang akan kau mangsa waktu itu?”
Sial!
“Jadi kau masih mengingat aroma tubuhnya?” Ujarku seraya membuka lemari pakaian dan mengambil piyama. “Tumben sekali kau mau mengingat sesuatu yang tidak penting.”
“Aku tidak mungkin melupakannya.” Selina kembali mengendus. “Lagi pula dia adalah incaranmu. Kalau dia penting bagimu, dia juga akan menjadi penting bagiku. Jadi bagaimana? Apa kau sudah memangsanya?”
“Apa kau mencium bau darah dari tubuhku?” Aku melebarkan kedua tanganku.
Setelah mendengar ucapanku, saudariku kembali mengendus tubuhku dengan suara yang keras. Begitu dekat, hingga hidung dan hembusan napasnya terasa menggelitik.
Haruskah dia sedekat ini?
“Sama sekali tidak.” Komentarnya setelah puas mengendus tubuhku. “Kenapa kau belum memangsanya?”
"Jawabannya jelas, ‘kan.” Ujarku sambil membuka sepatu dan kaus kaki. “Malam ini bulan tidak purnama.”
“Apa kau akan memangsanya saat purnama berikutnya?”
“Mungkin ya, tapi mungkin juga tidak.”
“Kenapa jawabanmu seperti itu?”
Aku mendesah. Terkadang sikap Selina yang keras kepala bisa membuatku sangat jengkel.
“Kalau aku sangat lapar dan berselera saat melihatnya...” Aku merasa berat untuk melanjutkan ucapanku. “Mungkin aku akan memakannya.”
“Jadi kau tidak yakin. Kalau begitu.” Selina maju beberapa langkah dan menyisir rambutku dengan jemari tangannya. “Apa boleh aku yang menggantikanmu memangsanya?”
“Aku yang pertama kali melihat dan mengincarnya, Selina. Dengan kata lain dia sudah menjadi milikku.” Aku berkata sambil tersenyum. “Kau tahu aturannya. Kau tidak boleh mengambil milik pemangsa lain.”
“Kenapa? Kalau kau tidak mau memangsanya, tidak masalah, ‘kan.” Sesaat sebelum melanjutkan ucapannya, mata saudariku itu menyipit. “Katakan Fillan, kau memandang gadis itu sebagai makanan, iyakan.”
“Apa maksudmu?” Aku berusaha bersikap biasa, walaupun saat itu jantungku terasa berhenti berdetak. “Apa ada alasan lain kita mendekatkan diri dengan seseorang? Kenapa kau terdengar tidak yakin?”
“Bagaimana, ya ...?” Saudariku mendesah seraya berjalan menuju jendela. Sambil menatap bulan yang tertutup awan tebal, dia kembali berkata. “Kau pergi menemuinya saat malam hari. Dari aroma tubuhnya yang kuat, aku bisa memperkirakan kalau posisi kalian sangat dekat satu sama lain. Aku takut kalau kalian…”