Gerah …, panas …. Itulah yang aku rasakan saat terbangun dari tidur. Saat membuka mata, aku tidak mengenali tempat di mana aku berada. bau tempat ini terasa asing. Pandanganku sedikit kabur. Tidak ada yang jelas. Semua bagaikan terselimut kabut. Selain itu, otot-ototku terasa kaku.
Kukejapkan mataku beberapa kali hingga pandanganku menjadi tajam. Kemudian, aku melihat ke sekelilingku. Aku berada di dalam sebuah kamar mungil. Tidak ada apa-apa di dalamnya selain sebuah tempat tidur, meja, kursi dan lemari di sudut. Dengan iseng aku membuka laci meja yang ada di samping tempat tidurku.
Kosong ….
Di atas kursi, aku bisa melihat beberapa lembar pakaian. Namun itu bukan pakaianku. Aku mengambil secarik kertas dari atas pakaian. Rupanya pesan dari Kia. Berdasarkan isi pesan, saat ini aku tengah berada di rumahnya dan pakaian itu adalah pakaian bekas ayahnya. Jika aku sudah siap, dia memintaku turun ke bawah untuk makan.
“Jadi ini rumah gadis berwajah tawar itu?” Aku bangun dari tempat tidur. “Sama seperti orangnya, kamar ini terlihat hambar.”
Saat menegakkan tubuhku, aku merasakan sakit. Beberapa bagian tubuhku di perban. Sambil menggelengkan kepala, aku membuka seluruh perban di tubuhku. Kia merawatku dengan telaten. Aku bisa merasakan dari perhatian yang ia curahkan dari kerapiannya membungkus lukaku, dia adalah gadis yang baik. Sayangnya itu tidak perlu, karena aku bukan manusia.
Luka-lukaku dapat sembuh dalam semalam dan hanya meninggalkan berkas samar yang akan hilang dalam waktu beberapa hari.
Kemudian aku melihat ke arah lengan kiriku. Semalam Greg Hudson mencabiknya, hingga tulang dan otot-ototku terlihat. Kini kulit dan dagingku telah pulih sepenuhnya. Aneh rasanya saat melihat tahi lalat yang seharusnya ada di punggung lenganku, kini hilang sama sekali. Seakan-akan lengan ini bukan milikku.
“Aku merasa jauh lebih kuat.” Gumamku sebelum teringat pada pepatah yang diucapkan oleh ahli filsafat Jeman, Friedrich Nietzsche.
Sesuatu yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih kuat.
*****
Setelah berpakaian aku turun ke lantai dasar. Rumah itu sudah tua dan penuh dengan barang-barang tua pula. Walau sang pemilik rumah merawatnya sekalipun, jelas sekali rumah ini layak direnovasi.
Sementara itu, aku bisa mencium bau harum kopi yang baru diseduh. Di baliknya, tercium pula aroma sosis dan telur dadar yang digoreng tanpa di balik.
Sepertinya enak.
“Selamat pagi.” Sapaku pada Kia yang tengah menaruh piring-piring berisi makanan di atas meja. “Apa ada yang bisa aku bantu?”
“Fillan!” Dengan raut wajah cemas, gadis berambut pirang itu menghampiriku. Memeriksa semua bekas luka ditubuhku. “Sudah sembuh? Bagaimana mungkin?”
“Aku bukan manusia, kau ingat?” Aku menangkap tangan Kia yang ingin melepas kancing kemejaku. “Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu berlebihan seperti ini.”
“Tapi kau terluka karena melindungiku. Aku ….”
“Kau salah.” Ralatku seraya menempelkan telunjukku di atas bibir mungilnya yang lembab dan lembut. “Aku hanya tidak ingin pemanga lain mengambil mangsaku. Selain itu, yang menjadi sasaran mereka adalah aku. Justru aku yang telah melibatkanmu dalam bahaya. Tidak seharusnya kau masuk dan mengenal dunia kami. Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa.” Tersenyum hambar, Kia menggelengkan kepalanya.
Sementara itu, mata birunya yang berkilau terlihat menusuk sanubariku kian dalam. Seakan dia bisa membaca apa yang kusimpan di dalam diriku.
“Omong-omong, apa ada yang bisa aku bantu?” Sambil berdehem aku berlalu darinya. Menghindari tatapan matanya. “Kenapa kau tidak membangunkanku lebih awal. Lebih baik membuat sarapan berdua dari pada sendiri, iyakan.”
“Mana aku tega.” Kia kembali menekuni pekerjaannya. “Kau tidur nyenyak sekali. Lagipula…” Kia menengok ke arahku sebelum meneruskan ucapannya. “yang aku buat ini bukan sarapan. Melainkan brunch?”
“Brunch?” Aku mengerutkan kening. “M-maksudmu …?”