Tentang mereka masih tinggal satu atap bersama dengan orangtua tunggal dari pihak ayah (kakek) sebab sudah beberapa tahun pra nikah, Vano masih belum berhasil mendirikan sebuah rumah.
Sementara Sang kakek sendiri sangat sayang terhadap kedua cucunya itu yakni Arjay dan Arsya, dia tidak pernah membeda-bedakan mereka samasekali meskipun baik Arjay maupun Arsya sering melakukan kesalahan. Karena apapun itu mereka hanyalah anak-anak kecil yang wajar saja jika nakal. Pikir sang kakek.
Namun sang kakek ini bagaikan malaikat bagi Arjay, sebab kepada beliau lah tempat Arjay mengadu kala tengah di marahi oleh kedua orangtuanya.
Namun, secepat kilat semuanya berlalu kala Arjay menginjak tepat usia 7 tahun, sang kakek meninggal dunia lantaran sudah tidak bisa menahan rasa sakit akibat penyakit yang sudah lama ia derita. Kedua orangtuanya tidak sanggup membiayai pengobatan sang kakek lantaran minimnya biaya.
Kini tiada lagi tempat Arjay mengadu semenjak sang kakek tiada. Arjay sering menangis seorang diri kala teringat beliau, namun semua itu justru membuat tubuhnya kacau balau.
Bagaimana tidak? Sebab Saat Vano mendapati Arjay menangis pastilah ia memarahinya, dan tak ketinggalan jua kekerasan fisik ia lakukan kala Arjay masih saja meneteskan air mata.
Ya, saat Vano mencubit maupun memukulinya, ia mengancam, jika Arjay sampai meneteskan air mata lantas cubitan maupun pukulan yang ia berikan maka akan ia tambah lagi jauh lebih menyakitkan.
Yang mana semua itu membuat hidup Arjay menjadi tertekan bahkan sudah over tertekan nyaris membuatnya hilang pikiran.