Wonder Woman: Warbringer

Mizan Publishing
Chapter #1

Bab 1

Kau tidak ikut bertanding untuk kalah.

Diana melonjak-lonjak pelan bertumpukan jari kaki di garis start, betisnya setegang tali busur, ucapan sang ibu terngiang di telinga. Penonton yang riuh sudah berkumpul untuk menyaksikan pertandingan gulat dan lempar lembing yang akan menandai dimulainya ajang Nemeseian Games, tapi acara puncaknya adalah perlombaan lari, dan saat ini tribun berdengung oleh kabar bahwa putri Ratu berpartisipasi dalam kompetisi.

Sewaktu Hippolyta melihat Diana berada di antara pelari yang berkerumun di arena pasir, dia tak tampak heran. Sesuai tradisi, dia turun dari tribun penonton untuk mendoakan keberuntungan para atlet dalam lomba, berbagi lelucon di sini, mengucapkan kata-kata penyemangat di sana. Hippolyta mengangguk sekilas ke arah Diana, tak menunjukkan dukungan khusus, tapi dia berbisik, sangat lirih sehingga hanya putrinya yang bisa mendengar, “Kau tidak ikut bertanding untuk kalah.” Para Amazon berjajar di jalur yang mengarah ke luar arena, sudah mengentak-entakkan kaki dan berseru-seru agar lomba segera dimulai.

Di sebelah kanan Diana, Rani melontarkan senyum berseriseri. “Semoga beruntung hari ini.” Dia memang selalu baik hati, selalu ramah, dan tentu saja, selalu meraih kemenangan.

Di sebelah kiri Diana, Thyra mendengus sambil menggeleng. “Dia memang membutuhkan itu.”

Diana tak menggubris Thyra. Sudah berminggu-minggu dia menantikan pertandingan ini—berlari melintasi pulau untuk mengambil salah satu bendera merah yang menjuntai di bawah kubah besar di Bana-Mighdall. Dalam lomba lari jarak pendek, dia tak punya kesempatan menang. Dia masih belum mencapai kekuatan penuh Amazonnya. Kau akan menda­patkan itu pada waktunya, janji sang ibu. Tetapi, ibunya menjanjikan banyak hal.

Perlombaan yang ini berbeda. Dibutuhkan strategi, dan Diana sudah siap. Dia telah berlatih diam-diam, berlari jarak pendek bersama Maeve, dan merencanakan rute yang melintasi medan lebih berat, tapi jalurnya lebih lurus menuju ujung barat pulau. Dia bahkan—yah, dia bukan benar-benar memata­matai.... Dia mengumpulkan informasi mengenai para Amazon lain yang mengikuti lomba. Dia masih yang terkecil, dan tentu saja yang termuda, tapi dia mendadak meninggi tahun lalu, dan sekarang dia hampir setinggi Thyra.

Aku tidak butuh keberuntungan, katanya dalam hati. Aku punya rencana. Diana menatap deretan para Amazon yang berkumpul di garis start bagai pasukan yang siap tempur dan meralat, Tapi sedikit keberuntungan juga tidak ada ruginya. Dia menginginkan mahkota laurel itu. Mahkota laurel lebih hebat daripada mahkota atau tiara kerajaan mana pun—kehormatan yang tak bisa diberikan, yang harus diraih.

Diana menemukan rambut merah dan wajah bintik-bintik Maeve di keramaian dan tersenyum lebar, berusaha menguarkan kepercayaan diri. Maeve membalas senyum itu dan mengisyaratkan dengan kedua tangan seolah-olah sedang menekan udara. Dia menggumamkan kata-kata tanpa suara, “Tetap tenang.”

Diana memutar bola mata tapi mengangguk dan berusaha memelankan napasnya. Dia memiliki kebiasaan buruk melaju terlalu dini dan menyia-nyiakan kecepatan terlalu awal.

Sekarang dia menjernihkan kepala dan memaksakan diri agar berkonsentrasi pada lomba sementara Tekmessa menyusuri garis start, mengamati para pelari, permata berkilauan di ling= karan gelang perak mengilap yang meliuk-liuk di lengan kecokelatannya. Tekmessa penasihat terdekat Hippolyta, orang kedua setelah Ratu, dan pembawaannya seakan-akan gaun indigo bersabuknya merupakan baju zirah perang.

“Santai saja, Pyxis,” gumam Tek pada Diana selagi melintas. “Tidak mau melihatmu sampai retak.” Diana mendengar Thyra mendengus lagi, tapi menolak untuk berjengit akibat julukan itu. Kau tidak bakal menyeringai saat aku berdiri di podium juara, janji Diana.

Tek mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar semua tenang, lalu membungkuk pada Hippolyta, yang duduk di antara dua anggota lain Dewan Amazon di boks kerajaan— tribun tinggi yang dinaungi oleh kanopi sutra yang dicelup dalam warna merah dan biru terang, warna sang Ratu. Diana tahu di sanalah ibunya menginginkan dia berada saat ini, duduk di sisi Ratu, menunggu dimulainya lomba bukannya ikut bertanding. Tak satu pun dari itu yang penting ketika dia menang.

Hippolyta mengangguk sedikit, anggun dalam tunik putih dan celana berkudanya, mahkota cincin sederhana melingkari dahi. Dia tampak rileks, tenang, seakan-akan dia bisa saja memutuskan meloncat turun dan ikut berlomba sewaktu-waktu, tapi masih sangat tampak layaknya seorang ratu.

Tek berpidato di depan para atlet yang berkumpul di arena pasir. “Kalian bertanding demi kehormatan siapa?”

“Demi kejayaan Amazon,” mereka menjawab serempak. “Demi kejayaan Ratu kita.” Diana merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Dia belum pernah mengucapkan katakata itu, tidak sebagai peserta lomba.

“Kepada siapa kita memberikan pujaan setiap hari?” Tek berseru.

“Hera,” jawab mereka serempak. “Athena, Demeter, Hestia, Aphrodite, Artemis.” Para dewi yang menciptakan Themyscira dan menghadiahkannya kepada Hippolyta sebagai suaka.

Tek diam sejenak, dan saat itu, Diana mendengar namanama lain dibisikkan: Oya, Durga, Freyja, Mary, Yael. Namanama yang pernah diteriakkan dalam kematian, doa terakhir dari kesatria perempuan yang gugur dalam pertempuran, katakata yang membawa mereka ke pulau ini dan memberi mereka kehidupan baru sebagai para Amazon. Di samping Diana, Rani menggumamkan nama-nama Matri, tujuh ibu, pelawan iblis, lalu menempelkan amulet persegi yang selalu dipakainya ke bibir.

Tek mengangkat bendera merah darah yang identik dengan bendera yang menunggu para pelari di Bana-Mighdall.

“Semoga pulau membimbing kalian menuju kemenangan yang adil!” serunya.

Dia menurunkan sutra merah itu. Penonton meraung. Para pelari menghambur menuju gerbang lengkung timur. Begitu saja, perlombaan pun dimulai.

Diana dan Maeve sudah mengantisipasi penyumbatan, tapi Diana masih merasakan sengatan frustrasi selagi para pelari menjejali leher batu terowongan, kerumunan tunik putih dan tungkai berotot, derap kaki menggema di batu, semuanya berjuang meninggalkan arena sekaligus. Kemudian mereka tiba di jalanan, berlari melintasi pulau, setiap pelari memilih rute masing-masing.

Kau tidak ikut bertanding untuk kalah.

Diana menyesuaikan kecepatan dengan ritme kata-kata itu, kaki telanjang menampar tanah padat jalan yang akan membawanya menembus lebatnya Hutan Cybelian menuju pesisir utara pulau.

Biasanya, jalur sepanjang hampir dua kilometer menembus hutan ini ditempuh dalam waktu lama, terhalang oleh pepohonan tumbang dan jalinan sulur tanaman sangat tebal sehingga harus ditebas dengan pisau yang kau relakan menjadi tumpul. Namun, Diana telah merencanakan rute dengan baik. Satu jam setelah memasuki hutan, dia menghambur ke luar dari pepohonan ke jalan pesisir yang lengang. Angin meniup rambutnya, dan semburan garam melecuti wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam, memeriksa posisi matahari. Dia akan menang—bukan cuma peringkat atas melainkan menang.

Dia sudah memetakan rute seminggu sebelumnya bersama Maeve, dan mereka berlari melewatinya dua kali secara diamdiam, pada jam-jam yang diterangi cahaya kelabu dini hari, sewaktu saudari-saudari mereka baru bangkit dari tempat tidur, sewaktu api dapur baru dinyalakan, dan satu-satunya mata yang harus mereka cemaskan adalah milik siapa saja yang bangun awal untuk berburu atau memasang jala untuk menangkap ikan. Namun, para pemburu berada di hutan dan padang rumput lebih jauh di selatan, dan tidak ada yang mencari ikan di area pantai yang ini; tidak ada tempat strategis untuk meluncurkan perahu, hanya tebing curam sewarna baja yang menukik langsung ke laut, dan teluk kecil tak ramah yang hanya bisa dicapai lewat jalan setapak sangat sempit sehingga orang harus menuruninya dengan berjalan menyamping, punggung menempel di dinding batu.

Pantai utara kelabu, muram, dan tak ramah, dan Diana mengenal setiap jengkal lanskap rahasianya, karang curam dan guanya, kolam air pasang yang dipenuhi siput dan anemon. Itu tempat yang baik untuk menyendiri. Pulau berusaha keras untuk memuaskan, ibunya pernah memberi tahu Diana. Karena itulah Themyscira ditumbuhi kayu merah di beberapa tempat dan pohon karet di tempat lain; karena itulah kau bisa melewatkan sore hari berkeliaran di padang rumput dengan kuda poni berleher rendah dan malam hari di punggung unta, mendaki punggung naga gumuk pasir yang diterangi bulan. Semua itu merupakan serpih-serpih kehidupan yang dijalani para Amazon sebelum datang ke pulau ini, lanskap kecil kesayangan mereka.

Terkadang, Diana penasaran apa Themyscira mewujudkan pesisir utara hanya untuknya supaya dia bisa menantang diri sendiri dengan memanjat tebing-tebing curamnya, supaya dia bisa memiliki tempat untuk diri sendiri manakala beban menjadi putri Hippolyta terasa begitu berat.

Kau tidak ikut bertanding untuk kalah.

Ibunya bukan memberi peringatan biasa. Kekalahan Diana berarti sesuatu yang berbeda, dan mereka berdua mengetahuinya—dan itu bukan hanya lantaran dia seorang putri.

Diana hampir bisa merasakan tatapan penuh arti Tek padanya, mendengar ejekan dalam suara Tek. Santai saja, Pyxis. Itu julukan Tek untuknya. Pyxis. Wadah tanah liat kecil yang dibuat sebagai tempat menyimpan permata atau cairan merah untuk mewarnai bibir. Nama itu tak menghina, diucapkan untuk menggoda, selalu diucapkan dengan sayang—atau begitulah klaim Tek. Namun, terasa menyakitkan setiap kali mendengarnya: suatu pengingat bahwa Diana bukan seperti para Amazon lain, dan tak akan pernah. Saudari-saudarinya merupakan kesatria yang telah teruji dalam pertempuran, baja yang ditempa dari penderitaan dan diasah hingga mencapai keagungan selagi mereka berlalu dari kehidupan menuju keabadian. Mereka semua layak mendapatkan tempat masingmasing di Themyscira. Seluruhnya, kecuali Diana, yang dilahirkan dari tanah pulau ini dan dari kerinduan Hippolyta untuk memiliki anak, dibentuk dari tanah lempung oleh tangan sang ibu—kopong dan mudah pecah. Santai saja, Pyxis. Tidak mau melihatmu sampai retak.

Diana menstabilkan napas, menjaga langkah tetap teratur. Jangan hari ini, Tek. Hari ini mahkota laurel itu milikku.

Dia memandang sejenak ke kaki langit, membiarkan angin laut yang sejuk mendinginkan peluh di dahi. Dari balik halimun, dia mendapati sekelebat siluet putih kapal yang melintas cukup dekat ke perbatasan sehingga Diana bisa melihat layarlayarnya. Kapal itu kecil—sekunar barangkali? Dia kesulitan menghafal detail yang berkaitan dengan nautikal. Tiang utama, tiang buritan, seribu nama untuk layar, dan simpul tali. Berada di kapal, belajar dari Teuta, yang pernah berlayar bersama perompak Illyria itu biasa, tapi lain lagi masalahnya dengan terjebak di perpustakaan di Epheseum, menatap nanar diagram kapal brigantine atau caravel.

Terkadang, Diana dan Maeve melakukan permainan mencoba menemukan kapal atau pesawat, dan suatu kali mereka bahkan pernah melihat titik besar kapal pesiar di cakrawala. Namun, kebanyakan mortal sudah tahu agar sebaiknya menghindari jauh-jauh dari pojok khusus milik mereka di laut Aegea, tempat kompas berputar-putar dan instrumen kapal mendadak menolak patuh.

Hari ini sepertinya badai mengamuk di balik halimun perbatasan, dan Diana menyesal tak bisa berhenti untuk menontonnya. Hujan yang turun di Themyscira sangat jinak dan bisa diprediksi, tak ada gemuruh guntur yang mengancam, pendaran sambaran kilat di kejauhan.

“Apa kau pernah merindukan badai?” tanya Diana pada suatu petang selagi dia dan Maeve bermalas-malasan di teras atap istana yang bersimbah matahari, mendengarkan gemuruh dan derak angin ribut di kejauhan. Maeve tewas di Crossbarry Ambush, kata-kata terakhir di bibirnya adalah doa untuk Santa Brigidia dari Kildare. Maeve penghuni baru pulau menurut standar Amazon, dan berasal dari Cork, tempat badai merupakan peristiwa lazim.

“Tidak,” jawab Maeve dengan suara riangnya. “Aku merindukan secangkir teh enak, berdansa, dan pemuda—jelas bukan hujan.”

“Kita, kan, berdansa,” protes Diana.

Maeve hanya tergelak. “Caramu berdansa berbeda, kalau kau sadar tidak akan hidup selamanya.” Kemudian dia meregangkan tubuh, bintik-bintik mirip awan tebal serbuk sari di kulit putihnya. “Kurasa aku kucing di kehidupan lain, sebab yang kuinginkan cuma berbaring tidur dalam cahaya matahari terbesar di dunia.”

Tetap tenang. Diana melawan desakan untuk melejit maju. Sulit untuk ingat agar menghemat tenaga dalam matahari awal pagi di bahunya dan angin di punggungnya. Dia merasa kuat. Namun, memang mudah untuk merasa kuat bila dia sendirian. Dentuman terdengar meningkahi ombak, dentam logam nyaring mirip pintu dibanting menutup. Langkah Diana goyah. Di cakrawala biru, pilar asap membubung, api menjilat di dasarnya. Sekunar tadi terbakar, haluannya hancur berkepingkeping dan salah satu tiang layarnya patah, layarnya terseret melewati bibir kapal.

Diana mendapati langkahnya melambat tapi memaksakan diri agar kembali ke kecepatan semula. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk sekunar itu. Pesawat jatuh. Kapal hancur menabrak bebatuan. Begitulah yang terjadi di dunia mortal. Suatu dunia tempat bencana bisa dan sering terjadi. Kehidupan manusia merupakan gelombang penderitaan, sesuatu yang tak pernah mencapai tepi pulau. Diana memfokuskan mata ke jalan setapak. Jauh, jauh di depan dia bisa melihat cahaya matahari berkilau keemasan di kubah besar Bana-Mighdall. Pertama bendera merah, kemudian mahkota laurel. Begitulah rencananya.

Dari suatu tempat di tengah angin, Diana mendengar jeritan. Seekor camar, katanya pada diri sendiri. Seorang gadis, suara lain dalam dirinya bersikeras. Mustahil. Jeritan manusia tak mungkin terbawa melintasi jarak sejauh itu, kan?

Tidak penting. Tidak ada yang bisa dilakukannya.

Namun, mata Diana kembali terarah ke kaki langit. Aku hanya ingin mendapat pemandangan lebih jelas, katanya pada diri sendiri. Aku punya banyak waktu. Aku sudah unggul.

Lihat selengkapnya