Apa sebaiknya kuikat dia? Diana bertanya-tanya selagi memanjat tebing, matahari siang menghangatkan bahunya setelah udara dingin di gua. Tidak. Dia tak punya tali, dan mengikat seorang gadis yang hampir mati sepertinya bukan tindakan tepat. Namun, dia harus punya jawaban ketika kembali. Alia terguncang oleh kecelakaan itu, tapi dia sudah mulai sadar, dan dia jelas bukan orang bodoh. Dia tak akan mau tinggal lama-lama di gua itu.
Diana memperpanjang langkah. Tidak ada gunanya pergi ke Bana-Mighdall untuk mengambil bendera. Dia akan kembali ke arena dan memberikan semacam dalih, tapi dia tak bisa memikirkan tindakan selanjutnya. Semakin jauh dari tebing, ke putusannya terasa semakin konyol. Kengerian dingin dan menusuk melingkar-lingkar tepat di bawah rusuknya. Pulau memiliki peraturan sendiri, pantangan sendiri, dan semua itu ada alasannya. Tak ada senjata yang boleh dibawa kecuali untuk latihan dan eksibisi. Segelintir misi keluar pulau dilakukan atas izin dari Dewan Amazon dan Orakel—dan hanya demi melestarikan keterpencilan Themyscira.
Dia harus mengembalikan Alia ke dunia mortal secepatnya. Hari-hari bisa saja berlalu di tengah manusia selagi Alia menunggu di gua. Kapal-kapal penyelamat bisa saja dikirim mencari kapalnya yang hilang. Jika Diana bertindak cukup cepat, siapa tahu dia bisa membawa Alia ke luar sana ke kapal lain supaya gadis itu bisa bertemu dengan mereka. Bahkan seandainya gadis itu mencoba melapor ke pihak berwenang tentang Themyscira dan kebetulan mereka percaya, Alia tak akan pernah bisa menemukan jalan kembali ke pulau.
Raungan nyaring trompet terdengar dari Epheseum, dan jantung Diana berdebar menyakitkan. Lomba telah usai. Seseorang sudah mengklaim mahkota laurel yang dia sangat yakin akan dikenakannya hari ini. Aku menyelamatkan satu nyawa, dia mengingatkan diri, tapi pikiran itu hampir tak menenangkan. Jika ada yang tahu tentang Alia, Diana akan diusir dari rumah selamanya. Dari semua peraturan pulau, larangan terhadap orang luar merupakan yang paling sakral. Hanya Amazon yang memenangkan hak untuk hidup di Themyscira yang boleh tinggal di sini. Mereka tewas dengan mulia dalam pertempuran, membuktikan keberanian dan hati mereka, dan jika, dalam detik-detik terakhirnya, mereka berseru memanggil seorang dewi, mereka mungkin ditawari kehidupan baru, kehidupan damai dan mulia di antara para saudari. Athena, Chandraghanta, Pele, Banba. Dewi-dewi dari seluruh penjuru dunia, kesatria dari setiap bangsa. Setiap Amazon layak mendapatkan tempat di pulau. Semuanya kecuali Diana, tentu saja.
Lilitan kengerian yang menusuk mengencang dalam perutnya. Barangkali menyelamatkan Alia bukan tindakan keliru, tapi sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir Diana. Jika dia memang tak benar-benar pantas tinggal di pulau, mungkin pengasingan tak terelakkan.
Diana mempercepat langkah begitu menara-menara Epheseum muncul dalam pendangan, tapi kakinya terasa dibebani ketakutan. Bagaimana persisnya dia menghadapi ibunya setelah ini?
Terlalu cepat, jalan tanah menjadi lempengan tebal batu Istria, putih dan dimakan cuaca di bawah kaki telanjang Diana. Selagi memasuki kota, dia merasa seolah-olah bisa meli hat orang-orang menunduk menatapnya dari balkon dan taman terbuka mereka, sorot penasaran mereka mengikuti langkahnya ke arena. Itu salah satu bangunan terindah di kota, mahkota batu putih berkilauan yang bertengger di puncak gerbang-gerbang lengkung, masing-masing dihiasi nama juara yang berbeda.
Diana melintas di bawah gerbang lengkung yang dipersembahkan untuk Penthesilea. Dia bisa mendengar sorak-sorai dan entakan kaki, dan ketika dia memasuki arena yang di terangi matahari, pemandangan yang menyambutnya lebih buruk daripada perkiraannya. Dia bukan sekadar kalah. Dia yang terakhir kembali. Para pemenang sudah di podium, dan penyerahan laurel telah dimulai. Tentu saja, Rani berada di posisi pertama. Dia merupakan pelari jarak jauh semasa hidupnya sebagai mortal dan sebagai Amazon. Bagian terburuknya adaLah betapa besar Diana menyukainya. Rani sangat rendah hati dan ramah, bahkan menawarkan untuk membantu Diana berlatih. Diana bertanya-tanya apakah bersikap baik setiap saat itu melelahkan. Barangkali pahlawan memang seperti itu.
Selagi melangkah menuju panggung, Diana memaksakan diri tersenyum. Meskipun matahari membantu mengeringkan tubuhnya, dia sangat menyadari keawut-awutan tuniknya, kekusutan akibat air laut di rambutnya. Barangkali jika dia berlagak seolah-olah lomba itu tak penting, lomba itu jadi tak penting. Namun, dia baru bergerak beberapa langkah saat Tek muncul dari kerumunan dan merangkulkan sebelah lengan di lehernya.
Diana menegang lalu membenci diri sendiri karenanya, sebab dia tahu Tek bisa merasakannya.
“Aw, Pyxis kecil,” dekut Tek, “kau terhalang lumpur?”
Desis pelan terdengar dari orang-orang yang berdiri di dekat sana. Mereka semua memahami hinaan itu. Pyxis kecil, terbuat dari tanah lempung.
Diana tersenyum lebar. “Rindu padaku, Tek? Pasti ada orang lain di sekitar sini yang bisa kau hakimi.”
Segelintir kekehan muncul dari keramaian. Tetap melangkah, Diana berkata pada diri sendiri. Tetap angkat kepala tinggitinggi. Masalahnya, Tek adalah jenderal alami. Dia bisa merasakan kelemahan dan tahu persis di mana harus mencari keretakan. Kau harus perlakukan dia sama dengan caranya memperlakukanmu, Maeve memperingatkan Diana, atau Tek tidak akan mundur. Dia berhatihati di dekat Hippolyta, tapi pada akhirnya kaulah yang bakal menduduki singgasana itu.
Tidak kalau Tek mendapatkan keinginannya, pikir Diana.
“Jangan kecewa begitu, Pyxis,” kata Tek. “Selalu ada lain waktu. Dan waktu lain setelahnya.”
Sementara Diana berjalan menerobos penonton, dia mendengar sekutu Tek ikut menimpali.
“Siapa tahu mereka memindahkan garis finis untuk lomba berikutnya,” ujar Otrera.
“Kenapa tidak?” sahut Thyra. “Ada aturan berbeda kalau kau bangsawan.”
Itu sindiran langsung kepada ibunya, tapi Diana tersenyum lebar seakan-akan tak ada yang bisa mengusiknya di dunia ini. “Hebat sekali ada orang yang tak pernah bosan dengan lagu yang sama, ya?” komentarnya sambil melenggang menuju undakan yang mengarah ke boks kerajaan. “Kau hanya mempelajari satu tarian, kurasa kau harus terus melakukannya.”
Sebagian penonton mengangguk setuju. Mereka mengingin kan seorang putri yang tak ciut oleh sindiran biasa, yang tak menyerah, yang bisa berdebat dengan kata-kata bukan dengan tinju. Lagi pula, apa kerugian nyata yang diakibatkan Tek? Terkadang, Diana berharap Tek menantangnya terangterangan saja. Dia sudah pasti kalah, tapi dia lebih senang dipukuli dari pada harus terus berlagak seakan-akan ejekan dan sindiran itu tak mengganggunya. Melelahkan baginya mengetahui bahwa setiap kali dia goyah, selalu ada seseorang di sana yang akan mendeteksi itu.
Namun, itu bukan yang terburuk. Setidaknya Tek jujur mengenai apa yang dipikirkannya. Hal terberat adalah mengetahui bahwa, walaupun banyak orang yang sekarang tersenyum padanya mungkin baik padanya, mungkin bahkan menunjukkan kesetiaan padanya lantaran dia putri ibunya dan mereka mencintai ratu mereka, mereka tidak akan pernah yakin Diana pantas—tidak untuk berada di antara mereka, jelas tidak untuk memakai mahkota. Dan mereka benar. Diana adalah satu-satunya Amazon yang dilahirkan sebagai Amazon.
Jika Tek sampai tahu mengenai Alia, jika dia mendapati apa yang dilakukan Diana, dia akan memperoleh semua yang diinginkannya: Diana diusir dari pulau, gadis tanah lempung hilang ke Dunia Manusia—dan Tek tidak akan perlu menantang Hippolyta terang-terangan.
Yah, dia tidak akan tahu, Diana berjanji pada diri sendiri. Pasti ada jalan untuk mengeluarkan Alia dari pulau. Diana hanya perlu mendapatkan kapal, menaikkan Alia ke sana, dan menemukan manusia untuknya menyerahkan Alia di sisi lain perbatasan.
Atau dia bisa mengatakan yang sebenarnya. Menghadapi hinaan, pengadilan bila dia beruntung, pengasingan seketika jika tidak beruntung. Titah para dewi yang menciptakan Themyscira tak bisa dianggap sepele, dan tidak ada persembahan kepada Hera atau doa kepada Athena yang mampu mengubah tindakannya. Apa ibu Diana akan membelanya? Mengajukan alasan untuk kesalahan putrinya? Atau langsung menjalankan vonis berdasarkan peraturan? Diana tak yakin mana yang lebih buruk.
Lupakan saja. Dia akan mendapatkan kapal entah bagaimana.
Diana menaiki undakan menuju boks Ratu, sangat menyadari seluruh perhatian telah beralih dari podium pemenang ke arahnya. Cahaya tertapis oleh kanopi sutra, mewarnai panggung yang teduh dengan nuansa merah dan biru, melati menjuntai dari pinggirannya dalam awan beraroma manis. Tidak ada musim di Themyscira, tapi Hippolyta memerintahkan tanaman rambat dan tumbuhan diganti bersamaan dengan ekuinoks dan titik balik matahari. Kita harus menandai waktu, katanya pada Diana. Kita harus berusaha mempertahankan keterkaitan kita dengan dunia mortal. Kita bukan dewa. Kita harus selalu ingat kita dilahirkan sebagai mortal.
Tidak semuanya, pikir Diana, tapi tak mengutarakannya waktu itu. Terkadang, sepertinya Hippolyta melupakan asal usul Diana. Atau barangkali dia hanya ingin melupakan. Ada aturan berbeda kalau kau bangsawan.
Diana tak ragu sang ibu sudah melihatnya begitu dia memasuki arena, tapi kini Hippolyta menoleh seakan-akan baru mengetahui kedatangannya untuk pertama kali dan tersenyum menyambut.
Hippolyta merentangkan lengan dan memeluk Diana sejenak. Itu tindakan yang tepat. Diana kalah. Jika ibunya menunjukkan sikap terlalu hangat, itu akan dianggap konyol atau tidak pantas. Jika ibunya memperlakukan Diana terlalu dingin, itu mungkin dipandang sebagai penolakan dan bisa menyebabkan konsekuensi besar. Pelukan itu seperti seharusnya dan tidak lebih, keseimbangan di mata pedang politik. Lalu, kenapa hal itu masih menusuk hati Diana?
Diana menyadari perannya. Dia tetap di sisi sang ibu selagi mereka memasang mahkota laurel ke kepala pemenang, tersenyum dan menyelamati kontestan pagi. Namun, lilitan dingin kecemasan di perutnya sepertinya telah menumbuhkan tentakel, dan seiring berlalunya waktu, belitannya makin kencang. Dia memerintahkan diri agar tak gelisah, berhenti memeriksa posisi matahari di langit. Dia yakin ibunya bisa merasakan ada yang tidak beres. Diana hanya bisa berharap Hippolyta menganggap kelakuannya itu akibat malu karena kalah dalam perlombaan.
Pertandingan-pertandingan akan terus dilangsungkan sepanjang sore, diikuti oleh pertunjukan baru di amfiteater pada malam harinya. Diana berharap sudah kembali ke gua lama sebelum itu, tapi dia tak mungkin absen dari pesta pertama. Meja-meja panjang telah ditata di taman di samping arena, disarati roti hangat, gundukan sotong rebus, irisan daging rusa panggang, serta kendi anggur dan susu kuda betina.
Diana memaksakan diri untuk melahap sedikit nasi dan ikan, lalu mendorong-dorong sepotong sarang lebah segar memutari piring. Biasanya itu kegemarannya, tapi perutnya terlalu penuh oleh kecemasan. Dia menangkap tatapan bertanya Maeve dari ujung meja, tapi dia harus tetap di sisi sang ibu. Lagi pula, apa persisnya yang akan dikatakannya pada Maeve? Aku sudah pasti akan menang, tapi aku sibuk melanggar peraturan sakral.
“Di Pontus, kami pasti menyantap domba guling panggang,” kata Tek, mendorong daging rusa di piring. “Daging yang layak, bukan hasil buruan begini.”
Tidak ada binatang yang diternakkan untuk dijagal di pulau. Jika menginginkan daging, berarti itu harus diburu. Itu bukan aturan yang ditetapkan para dewa atau kondisi yang dituntut pulau, melainkan peraturan Hippolyta. Dia menghargai seluruh nyawa. Tek menghargai perutnya.
Hippolyta hanya tertawa. “Kalau kau tak bisa menemukan daging yang pantas dimakan, minum anggur lebih banyak lagi.”
Tek mengangkat gelas dan mereka bersulang, lalu menundukkan kepala bersama, sambil terkikik-kikik mirip anak gadis. Diana tak pernah melihat seorang pun membuat Hippolyta tertawa seperti Tek. Mereka bertarung berdampingan di dunia mortal, memerintah bersama, berdebat bersama, dan mereka bersama-sama memilih untuk berpaling dari Dunia Manusia.
Mereka adalah prota adelfis, Amazon pertama di Themyscira, saudari dalam segala hal kecuali darah. Tek tidak membenci Hippolyta—Diana cukup yakin Tek tidak bisa membencinya— hanya tindakan Hippolyta ketika menciptakan Diana. Hippolyta menciptakan kehidupan dari kehampaan. Dia mendatangkan seorang anak perempuan untuk mendiami Themyscira. Dia menciptakan sesosok Amazon padahal hanya para dewa yang mampu melakukan hal semacam itu.
Sekali, waktu Diana masih kecil, dia terbangun di kamarnya di istana dan mendengar mereka bertengkar. Dia menyelinap turun dari tempat tidur, pualam terasa dingin di bawah kakinya, lalu berderap menyusuri koridor Puri Iolanth.
Di sinilah jantung rumah mereka, teras luas dilengkapi pilar- pilar indah yang menghadap taman di bawah dan kota di luar. Istana dipenuhi barang yang menunjukkan dunia yang dikenal ibunya sebelum pulau—piala emas, kylix hitam dangkal yang dilukis gambar perempuan menari, pelana dari kulit berbulu— kepingan teka-teki yang tak pernah bisa dicocokkan Diana ke keseluruhan cerita. Namun, Puri Iolanth tak menyimpan misteri. Bangunan itu terbentang sepanjang sisi barat istana, terbuka di tiga sisi sehingga selalu dibanjiri cahaya matahari dan gemercik air mancur taman di bawah. Kemboja manis dan mengilap membelit pilar-pilarnya, dan pagarnya ditandai dengan pohon jeruk yang menarik dengung cerewet lebah dan burung kolibri.
Diana dan ibunya lebih sering menyantap makanan di sini, di meja panjang yang selalu berantakan oleh buku sekolah Diana, gelas air atau anggur setengah penuh, pinggan buah ara, atau hamburan bunga yang baru dipetik. Di sanalah Hippolyta menyambut Amazon baru ke Themyscira setelah mereka dimurnikan, suaranya pelan dan anggun selagi menjelaskan peraturan pulau.
Namun, di depan Tek, Hippolyta tak menunjukkan sikap ratu yang bermartabat dan baik hati. Dia juga bukan ibu yang dikenal Diana; dia orang lain, orang yang agak liar dan ceroboh, orang yang duduk memerosot di kursi dan mendengus saat tertawa.
Hippolyta tak tertawa malam itu. Dia mondar-mandir di teras, jubah sutra sewarna safronnya mengombak di belakangnya mirip panji-panji perang.
“Dia anak-anak, Tek. Tidak ada yang mengancam pada dirinya.”
“Dia ancaman terhadap cara hidup kita,” balas Tek. Dia duduk di bangku meja panjang dalam pakaian berkuda, siku di topangkan di meja, kaki diselonjorkan di depan. “Kau tahu atur annya. Tidak boleh ada orang luar.”
“Dia bukan orang luar. Dia gadis kecil. Dia tercipta dari tanah pulau ini, dibentuk oleh tanganku sendiri. Dia bahkan tak pernah di luar. ”
“Ada peraturannya, Hippolyta. Kita abadi. Kita tidak di takdirkan untuk memiliki anak, dan pulau ditujukan bagi kita yang telah memahami bahayanya Dunia Manusia, yang mengetahui seperti apa rasanya bertarung melawan gelombang kekejaman mortal yang tak berakhir, yang memilih untuk berpaling dari itu. Kau tak berhak mengambil keputusan itu untuk Diana.”
“Dia akan dibesarkan di dunia tanpa konflik. Dia akan menapaki negeri yang tak pernah ada darah tertumpah.”
“Kalau begitu, bagaimana dia bisa tahu bagaimana menghargainya? Para dewa tak meniatkan ini. Mereka menetapkan peraturan dengan suatu alasan, dan kau melanggarnya.”
"Para dewa memberkatinya! Mereka memberkahinya dengan napas kehidupan, mengalirkan darahku di nadinya, menganugerahkan karunia mereka kepadanya.” Hippolyta duduk di samping Tek. “Berpikirlah yang rasional. Apa menurutmu kekuatanku yang memberinya kehidupan? Kau tahu tak satu pun dari kita memiliki sihir semacam itu.”
Tek meraih kedua tangan Hippolyta. Duduk seperti itu, tangan saling bertaut, mereka seperti tengah membuat pakta, seperti tengah berkomplot menyusun rencana hebat.
“Hippolyta,” ucap Tek lembut, “kapan para dewa memberikan anugerah semacam itu tanpa menuntut balasan? Selalu ada bahaya, selalu ada imbalan, bahkan seandainya kita belum melihatnya.”
“Dan kau ingin aku berbuat apa?”
“Entahlah.” Tek bangkit dan meletakkan tangan di pagar, memandang bentangan gelap kota dan lautan. Diana ingat merasa terkejut oleh banyaknya lentera yang masih menyala di rumah-rumah di bawah, seolah ini jam yang ditetapkan bagi orang-orang dewasa untuk bertengkar. “Kau menempatkan kami di posisi sulit. Pasti ada pembalasan untuk ini, Hippolyta, dan semuanya demi sesuatu untuk kau sebut milikmu.”