Wonder Woman: Warbringer

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 3

Diana bergegas ke kamar untuk berganti pakaian dan mengemasi tas bepergian dengan selimut, tali, lentera dan batu api, serta gulungan pembalut yang dipakainya di kedua tangan saat berlatih tanding—benda itu bisa menjadi perban dalam keadaan darurat. Empat jam telah berlalu sejak Diana meninggalkan Alia di gua. Gadis itu pasti ketakutan. Mahkota Hera, bagaimana kalau dia mencoba memanjat turun? Diana berjengit oleh pikiran tersebut. Alia memiliki substansi sekantong ranting. Jika dia mencoba keluar dari gua, dia hanya akan mencelakakan diri sendiri. Namun, tak ada waktu untuk kembali ke tebing. Bila Diana mau memperbaiki ini, dia perlu bicara pada Orakel sebelum Dewan melakukannya.

Dia membuka kotak enamel hijau yang disimpannya di samping tempat tidur, lalu merasa ragu. Dia tak pernah bertemu Orakel, tapi dia tahu Orakel itu berbahaya. Orakel bisa melongok ke lubuk hati seorang Amazon dan jauh ke masa depan. Dalam asap api ritualnya, dia melacak ribuan kehidupan dalam rentang ribuan tahun, memperhatikan cara arus bergerak dan apa yang bisa dilakukan untuk mengubah jalurnya. Akses ke ramalannya selalu disertai biaya sangat mahal. Yang paling penting adalah mendekati dengan persembahan yang membuatnya senang, sesuatu yang pribadi, sangat penting bagi pemohon.

Kotak enamel hijau itu menyimpan barang-barang yang paling disayangi Diana. Dia memasukkan semuanya ke tas, lalu berlari menuruni tangga. Selama pesta, dia mengantongi makanan, tapi dia tetap mampir di dapur untuk mengambil kantong kulit penuh anggur rempah panas. Kendati dapur selalu berupa kombinasi keriuhan dan kekacauan, hari ini para staf bekerja dengan tekad muram dan aroma ganjil menguar dalam kepulan uap dari panci-panci.

“Kulit dedalu,” kata salah satu koki saat Diana mengintip ke balik tutup panci. “Kami mengekstrak asam salisilat untuk membantu menurunkan demam.” Dia mengulurkan kulit kambing itu. “Sampaikan pada Maeve kami berharap dia segera membaik.”

Yang Diana katakan hanya “Terima kasih.” Dia tak ingin menambah daftar kebohongannya hari ini.

Jalan-jalan kota ramai dan hiruk pikuk dengan orang-orang berlarian hilir mudik mengangkut makanan, obat-obatan, dan perlengkapan untuk menyangga bangunan yang rusak akibat gempa. Diana menaikkan tudung. Dia sadar seharusnya berada di tengah semua ini, membantu, tapi jika kecurigaannya tentang Alia benar, artinya satu-satunya solusi adalah mengeluarkan gadis itu dari pulau secepat mungkin.

Sekilas pandang ke dermaga memberi tahu Diana bahwa mencuri kapal hampir mustahil. Angin sudah meningkat menjadi topan sepenuhnya, dan langit berubah menjadi sewarna batu sabak. Dok dipenuhi para Amazon yang berusaha menyelamatkan kapal sebelum badai melanda dengan kekuatan penuh.

Diana mengambil jalan timur ke luar kota, rute paling lurus menuju kuil Orakel. Jalur itu dijajari hutan zaitun, dan begitu dia memasuki naungan pepohonan, dia langsung berlari, melaju secepat yang berani dilakukannya.

Segera saja dia meninggalkan hutan zaitun, melintasi kebun anggur dan barisan rapi pohon persik yang disarati buah, lalu melewati perbukitan rendah yang membatasi rawa-rawa di pusat pulau.

Semakin dekat dengan rawa, semakin bertambah kecemasan Diana. Rawa-rawa terletak di naungan Gunung Pto lema dan merupakan satu-satunya wilayah di pulau yang nyaris selalu berada dalam bayang-bayang. Diana belum pernah menjelajahinya. Ada kisah-kisah tentang Amazon yang memasukinya untuk mengunjungi Orakel dan keluar sam bil menangis atau benar-benar gila. Sewaktu Clarissa ingin menemui Orakel di kuil, dia kembali ke kota dengan meracau dan gemetaran, pembuluh darah di kedua matanya pecah, kukunya habis digigiti sampai bergerigi. Dia tak pernah menceritakan apa yang disaksikannya, tapi sampai hari ini, Clarissa—prajurit tangguh yang gemar berkuda dan terjun ke medan pertempuran tanpa senjata apa pun selain kapak dan ke beranian—masih tidur dengan lentera dinyalakan di samping ranjang.

Diana bergidik begitu memasuki bayang-bayang pepohonan rawa, yang berselubung cadar lumut mirip tamu pema kaman, kumpulan akar berbonggol-bonggol yang terekspos menciptakan pantulan bentuk-bentuk menyeramkan di air keruh. Diana tak bisa mendengar badai yang mendekat, kicauan burung yang familier, bahkan bunyi angin. Rawa memiliki musik muram tersendiri: jilatan dan gemercik air ketika sesuatu dengan punggung bergerigi memecah permukaannya dan menghilang disertai kibasan ekor panjang, derap serangga, bisikan yang timbul dan hilang tanpa alasan. Diana mendengar namanya disebut, napas dingin di telinganya. Namun, saat dia menoleh, dengan jantung berdentam, tak ada siapa-siapa di sana. Dia melihat sekelebat sesuatu berkaki panjang berbulu berderap di dahan tak jauh dari sana dan dia pun mempercepat langkah.

Diana terus berjalan menuju apa yang diharapkannya merupakan arah timur, lebih jauh memasuki rawa sementara kesuraman bertambah. Dia kini yakin ada yang mengikutinya, mungkin ada beberapa. Dia bisa mendengar kersak kaki mereka yang merayap di atasnya. Di sebelah kiri, dia bisa melihat kilatan sesuatu yang mungkin mata hitam mengilap di sela-sela untaian lumut renda abu-abu yang berayun.

Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini, kata Diana pada diri sendiri, dan dia hampir bisa mendengar tawa pelan berdeguk rawa.

Sambil bergidik, Diana menyibak tirai tanaman rambat yang bertaut dengan gugusan seputih susu sarang laba-laba lalu berhenti. Dia membayangkan kuil Orakel seperti bangunan berkubah di buku-buku sejarahnya, tapi kini dia berhadapan dengan belukar lebat akar pohon, barikade yang terjalin dari dahan-dahan yang terentang setinggi dan selebar tembok benteng. Sulit untuk menentukan apakah itu sengaja dibuat atau memang tumbuh begitu saja dari rawa. Di tengahnya terdapat bukaan, mulut kegelapan menganga yang lebih dalam dan lebih gulita daripada langit tak berbintang mana pun. Dari sana memancar dengung pelan sumbang, gumaman lapar koloni, sarang tawon yang siap merekah terbuka.

Diana mengumpulkan keberanian, membenahi tas, lalu melangkah ke jalur batu hitam basah yang mengarah ke jalan masuk, melompat dari satu batu ke batu lain menyeberangi air kelabu suram mirip cermin kabur, sandalnya tergelincir-gelincir di permukaan mengilapnya.

Udara di dekat jalan masuk anehnya terasa pekat. Melingkup berat di kulitnya, lembap dan hangat tak nyaman, basah mirip lidah terjulur seekor binatang. Diana menyalakan lentera yang menggantung di tas, menarik napas pendek sekali, lalu melangkah masuk.

Dengan seketika, lampu padam. Diana mendengar bisikan di belakang dan menoleh, mendapati akar-akar terjalin menutupi mulut terowongan. Dia menukik ke jalan masuk itu, tapi sudah terlambat. Dia sendirian dalam kegelapan.

Jantung Diana berpacu sekencang terwelu dalam dada. Di atas dengung bergetar serangga, dia bisa mendengar tanaman rambat dan akar bergerak di sekelilingnya, dan dia mendadak yakin mereka akan merapat, menjebaknya dalam jalinan kusut dinding ini selamanya.

Dia memaksakan diri beringsut maju, kedua tangan dijulurkan di depan. Ibunya tidak akan takut pada segelintir dahan. Tek barangkali akan melontarkan pada akar-akar itu tatapan yang membuat ciut dan mereka secara harfiah akan menciut.

Dengungan itu makin nyaring dan manusiawi, desahan, suara ratapan yang timbul dan hilang mirip tangisan anak-anak. Aku tidak takut. Aku seorang Amazon dan tak ada perlu ditakutkan dari pulau ini. Namun, tempat ini terasa lebih tua dari pada pulau. Terasa lebih tua daripada segalanya.

Lambat laun, Diana menyadari terowongan itu menanjak dan dia samar-samar bisa melihat bentuk tangannya, tekstur jalinan akar dinding. Di suatu tempat di depan, ada cahaya.

Terowongan berubah menjadi ruangan bundar, langit-langitnya membuka ke angkasa. Diana tadi berangkat pada akhir petang, tapi langit yang dilihatnya sekarang hitam dan penuh bintang. Diana panik, bertanya-tanya apa entah bagaimana dia kehilangan waktu di terowongan, lalu menyadari bahwa konstelasi di atasnya semuanya keliru. Langit apa pun yang di lihatnya, itu bukan langitnya.

Dinding belukar dipasangi obor menyala dengan api perak yang tak menguarkan panas, dan kanal air jernih mengelilingi perimeter ruangan. Di tengahnya, di batu datar bulat sempurna, duduklah perempuan berjubah di samping anglo perunggu yang tergantung di penyangga berkaki tiga dengan rantai halus. Di dalamnya, api sungguhan berkobar jingga terang, mengirimkan kepulan asap ke langit yang bertabur bintang.

Perempuan itu bangkit dan tudungnya tersingkap ke belakang, menampakkan rambut kemerahan, kulit berbintik-bintik.

“Maeve!” pekik Diana.

Wajah sang Orakel berganti. Dia anak bermata lebar, kemudian perempuan renta keriput, kemudian Hippolyta dengan ametis di telinga. Dia monster bertaring hitam dan mata mirip opal, kemudian perempuan jelita bersinar, hidung lurus dan bibir penuhnya dibingkai oleh helm keemasan. Dia melangkah maju; bayangan berubah. Sekarang dia Tek, tapi Tek yang telah terjamah usia, kulit gelap berkerut, uban di pelipis. Tidak ada yang diinginkan Diana selain berbalik dan lari. Dia bergeming di tempatnya.

“Anak Bumi,” kata Orakel. “Berikan persembahanmu.” Diana melarang diri sendiri berjengit. Anak Bumi. Lahir dari tanah lempung. Apakah Orakel memaksudkan ucapan itu sebagai hinaan? Tidak penting. Diana ke sini dengan satu tujuan.

Diana meletakkan tas dan merogoh ke dalam untuk mengambil kotak enamel hijau. Tangannya menggenggam sisir giok hadiah Maeve untuk ulang tahun terakhirnya; macan tutul dari batu akik, jimat mungil yang bertahun-tahun dibawanya dalam saku, bagian punggungnya berlekuk di titik tempat Diana selalu menggosokkan ibu jari demi keberuntungan; dan tapestri planet yang terlihat pada jam kelahirannya. Bentuknya tak rata dan penuh kesalahan. Dia dan ibunya membuat itu bersama, dan lantaran tamak akan waktu Hippolyta, Diana mencabut lajur-lajur benang setiap hari dengan harapan mereka bisa terus mengerjakan proyek itu selamanya. Dia meraba sepanjang pelapis kotak, jari-jari menangkup barang yang dicarinya.

Diana memperhatikan kanal. Tak ada jalur yang jelas untuk menyeberang, tapi Diana tidak akan meminta petunjuk. Dia sudah mendengar cukup banyak orang berbicara tentang Orakel untuk mengetahui itu—bila persembahannya diterima—dia akan diizinkan mengajukan tiga pertanyaan, tidak lebih.

Dia melangkah ke dalam air. Dia bisa melihat kakinya menembus air, melihat kulitnya, lebih pucat di bawah permukaan, tapi dia tak merasakan apa-apa. Jangan-jangan sungai ini sekadar ilusi. Dia menyeberang ke pulau batu. Begitu memijakkan kaki ke batu halus, dengung suara-suara memelan seolah-olah dia telah memasuki mata badai.

Diana mengulurkan tangan, berjuang memantapkan diri— dia tak ingin gemetar di hadapan Orakel—lalu membuka kepalan tangan, menampakkan mata panah besi. Ukurannya cukup panjang untuk menutupi sebagian besar telapak tangan Diana, diasah hingga meruncing, ujung dan retakannya bernoda merah sangat gelap sehingga kelihatan hitam dalam cahaya dingin obor.

Tawa sang Orakel sekering retihan api. “Kau memberiku ha diah yang kau benci?”

Diana menciut terperanjat, menangkup mata panah dengan protektif dan menariknya mendekat ke jantung. “Itu tidak benar .”

“Aku hanya mengatakan kebenaran. Barangkali kau belum siap mendengarnya.” Diana melirik kembali ke tas, bertanya-tanya apa dia sebaiknya mencoba menawarkan persembahan lain. Namun, Orakel berkata, “Tidak, Anak Bumi. Aku tidak menghendaki permata dan pernak-pernik kekanak-kanakanmu. Aku akan menerima anak panah yang membunuh ibu mu. Walaupun kau membenci satu barang, kau masih bisa menghargainya, dan darah seorang ratu bukan hadiah kecil.”

Lihat selengkapnya