Words in Deep Blue

Noura Publishing
Chapter #1

Rachel

AKU MEMBUKA MATAKU PADA TENGAH karena suara lautan dan napas adikku. Sudah sepuluh bulan berlalu sejak Cal tenggelam, tapi mimpi-mimpi itu masih saja bisa meloloskan diri.

Aku percaya diri di dalam mimpi-mimpi itu, mencair bersama lautan. Aku bernapas di bawah air, dengan mata terbuka dan tidak tersengat garam. Aku melihat ikan, sekelompok ikan berperut perak bagaikan bulan mengetuk-ngetuk di bawahku. Cal muncul, siap untuk mengidentifikasi, tapi ikan-ikan itu bukan jenis yang kami kenali. “Ikan kembung,” ujarnya, kata-katanya keluar dalam gelembung-gelembung yang bisa kudengar. Namun, ikan itu bukan ikan kembung. Bukan ikan air tawar, bukan jenis apa pun yang namanya bisa kami sebutkan. Mereka berwarna perak murni. “Spesies yang tidak teridentifikasi,” kami berkata sambil memandangi mereka berenang berkelok-kelok mengelilingi kami. Airnya memiliki tekstur kesedihan: garam, tekanan, dan memori.

Cal berada di dalam kamar ketika aku terbangun. Kulitnya tampak seputih susu dalam kegelapan, menetes-neteskan air laut. Mustahil, tapi begitu nyata sehingga aku bisa menghirup bau garam dan permen apel. Begitu nyata sehingga aku bisa melihat bekas luka di kaki kanannya—luka karena tersayat kaca di laut yang sudah lama sembuh. Dia sedang membicarakan tentang ikan di dalam mimpi: perak murni, tidak teridentifikasi, lalu dia menghilang.

Kamarku gelap jika bukan karena cahaya bulan. Aku meraba-raba melalui udara untuk meraih mimpi tersebut, tapi aku malah menyentuh telinga labrador milik Cal, Woof. Anjing itu mengikutiku ke mana-mana sejak pemakaman Cal, garis hitam panjang yang tidak bisa kuguncangkan.

Biasanya, anjing itu tidur di ujung ranjang atau di dekat pintu kamarku, tapi selama dua malam terakhir, dia tidur di depan koper-koperku yang sudah dikemas. Aku tidak bisa membawanya bersamaku. “Kau anjing lautan.” Aku mengusapkan jariku di sepanjang hidungnya. “Kau bisa gila di kota.”

Aku tidak bisa tidur lagi setelah memimpikan Cal, jadi aku berpakaian dan memanjat turun dari jendela. Bulannya tiga perempat kosong. Udaranya sepanas siang hari. Aku memangkas rumput larut malam kemarin, jadi aku mengumpulkan batang-batang rumput hangat di telapak kakiku sambil berjalan.

Woof dan aku dengan cepat sampai di pantai. Hampir tidak ada apa-apa di antara rumah kami dan laut. Ada jalanan, sebidang kecil semak belukar, kemudian bukit pasir. Malam di sini begitu kusut dan bau. Garam dan pohon; asap dari api yang jauh dari pantai. Semua itu juga memori. Berenang pada musim panas dan berjalan pada malam hari, berburu kulit ara, ikan blenny, dan bintang laut.

Lebih jauh, mengarah ke mercusuar, ada lokasi di mana ikan paus berparuh terdampar: seekor ikan paus raksasa sepanjang enam meter, bagian kanan wajahnya terbenam dalam pasir, sebelah matanya—yang dapat terlihat—terbuka. Ada kerumunan orang mengelilinginya tak lama setelah itu—para ilmuwan dan orang-orang lokal memandangi sambil mempelajarinya. Namun, yang pertama kali sampai di sana adalah Mum, Cal, dan aku, pada pagi hari yang dingin. Aku masih berusia sembilan tahun, dan dengan paruh panjangnya, ikan paus itu melihat ke arahku seakan hewan itu setengah makhluk laut, setengah burung. Aku ingin mempelajari laut dalam, tempat ikan paus itu berasal, mempelajari hal-hal yang mungkin pernah ia lihat. Cal dan aku menghabiskan hari itu memeriksa buku-buku Mum dan mencarinya di Internet. Ikan paus berparuh dianggap sebagai salah satu makhluk laut yang paling tidak dipahami, aku menyalinnya ke buku jurnalku. Mereka tinggal di kedalaman yang begitu dalam sehingga tekanannya bisa membunuhmu.

Lihat selengkapnya