Ara memandang foto yang terpampang di ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa senang melihat mereka yang ada di foto itu tampak begitu bahagia dan menikmati liburannya. Ada rasa sedih sekaligus iri karena bukan dirinya yang ada di foto itu. Ada pula rasa takut memikirkan resiko yang harus ditempuh demi mendapatkan foto seperti itu. Hanya saja, mereka tampak begitu bahagia.
“Dev, kalau kita ke Bali, gimana?” ajak Ara pada sang suami yang juga tengah asyik bermain ponsel tidak jauh dari dirinya. “Ternyata banyak temen-temenku yang liburan atau malah pindah sementara ke Bali.”
“Hm, lalu kamu mau ikut-ikutan?” Dev balik bertanya dengan nada kurang suka. “Liburan ke Bali itu berarti kita harus naik pesawat. Kamu tahu sendiri kalau pesawat adalah salah satu tempat rawan penyebaran COVID-19.”
Pandemi COVID-19 telah mengubah segalanya. Hal-hal yang dulu dianggap sepele dan bisa dinikmati kapan saja, misalnya pergi ke restoran atau belanja ke pasar, menjadi hal yang harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Begitu juga dengan berpergian ke luar kota, apalagi jika menggunakan pesawat terbang. Maklum saja, berpergian dengan pesawat terbang berarti berada minimal satu jam di sebuah ruang tertutup penuh pendingin udara dan kursi saling berdempetan, sehingga memiliki resiko yang sangat tinggi untuk penyebaran virus COVID-19.
Ara menahan dirinya untuk tidak terbawa emosi mendengar jawaban Dev. Baru juga sekedar bertanya, sudah langsung ditolak. Masih belum mau menyerah, Ara kembali berkata, “buktinya, banyak dari mereka yang baik-baik saja pas pergi ke Bali sampai pulang lagi.”
Dev melirik ke arah Ara dan bertanya dengan nada datar. “Kamu tahu apa itu bias kognitif?”
Bola mata Ara berputar ke atas sesaat. Malam-malam begini kenapa malah ada kuis dadakan? Dev ini senang sekali menjawab sesuatu dengan pertanyaan. Dengan nada sinis, Ara menjawab, “enggak, aku gak sepintar dan serajin kamu baca berita.”
Merasa Ara memberikan perhatian penuh padanya, Dev menggeser tubuhnya sehingga lebih menghadap Ara. Hal yang sebenarnya agak sulit dilakukan, mengingat ada Kay, anak mereka berdua, yang tertidur pulas di antara mereka berdua. “Bias kognitif itu adalah bias atau kesalahan sistematis berpikir yang akhirnya bisa menyesatkan dan membuat kita mengambil keputusan yang salah.”
Ara menggigit bibir bawahnya. Malas sebenarnya untuk mendengarkan hal seberat ini menjelang waktu tidur. Padahal pertanyaan Ara sangatlah sederhana, menanyakan pendapat Dev tentang Bali. Kenapa jadi sepanjang dan seberliku ini jawabannya? Mengetahui sifat Dev, pastilah masih banyak penjelasan mengenai bias apalah itu tadi yang hendak diceritakannya.
“Nah, banyak orang percaya bahwa suatu kegiatan atau tindakan tertentu dapat menyelesaikan masalah. Sialnya, kadang hal itu didukung pula oleh media. Misalnya gini, kamu selalu dengar kalau di musim pandemi gini, imun kuat adalah hal yang penting?”
Kepala Ara mengangguk pelan. Imunitas adalah tameng untuk tetap bertahan di musim seperti ini. Banyak cara untuk membantu mendapatkan imun yang kuat, entah dari meminum vitamin dan suplemen, minum herbal, berjemur matahari pagi, dan lain sebagainya.
“Salah satu cara untuk imun kita kuat adalah kita harus selalu bahagia, betul? Kalau kita bahagia, maka hormon bahagia di tubuh kita pun meningkat.” Dev mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jarinya. “Dopamin, Serotonin, Oksitosin, dan dan Endorpin.”