“Kamu yakin mau ke sana?” Dev bertanya. Matanya sibuk melihat kanan dan kiri, mencoba mencari tempat parkir kosong yang tersedia.
Ara memandang nanar pemandangan di luar mobil. Saat ini mereka di kawasan wisata Pasir Putih Pantai Indah Kapuk 2. Setelah berulang kali membujuk Dev untuk bisa jalan-jalan ke luar rumah, akhirnya Dev setuju untuk berkunjung ke salah satu tempat wisata terbaru di Jakarta ini.
“Kita gak turun?” Kay mulai bergerak gelisah di bangku belakang. Sedari tadi, Kay memang sangat senang akhirnya diajak jalan-jalan. Apalagi, Ara menjanjikan mereka akan bermain pasir di pantai. “Pantainya mana?”
“Rame loh,” timpal ibu yang juga duduk di bangku belakang. “Tuh, lihat, ada minibus segala. Kayaknya semua orang Jakarta main ke sini. Mungkin sudah pada haus liburan.”
Pandangan mata mereka pun tertuju pada minibus dan serombongan pengunjung yang baru saja mereka lewati. Dev tertawa kecil dan menunjuk pada Ara. “Sama, nih. Ada yang bosen di rumah lalu pengen jalan-jalan.”
“Ternyata seramai ini, ya?” Ara benar-benar tidak menyangka akan sebegini ramainya. “Kirain bakalan lebih sepi karena sudah bukan musim liburan.”
“Gak ada tempat parkir gini, kok tetep boleh masuk, sih. Mana tadi mau masuk juga antri lama.” Dev berdecak kesal. Mobil mereka memang masih juga berputar-putar mencari tempat parkir. Padahal, lapangan parkir itu sangatlah luas. Sudah berulang kali mereka mengeliling lapangan parkir tanpa hasil.
“Udahlah, pulang aja. Parkiran aja serame ini, gimana di dalam.” Tanpa menunggu persetujuan dari siapa pun, Dev mulai mengarahkan mobilnya menuju ke pintu keluar.
“Yah, gak jadi lihat pantai?” tanya Kay kecewa. “Lalu, sekarang ke mana?”
“Nanti aja ke pantainya, ya? Tadi udah liat dari jauh, kan?” bujuk Ara sembari menoleh ke belakang. Memang, tadi mereka melewati jembatan di mana mereka bisa melihat laut dari kejauhan. Ara sendiri sudah tak sabar ingin segera menjejakkan kaki ke pantai putih dan lembut yang sedang ramai dibicarakan di berbagai media sosial. Ara sudah membayangkan mereka bisa bermain pasir bersama, membangun kastil dari pasir, sembari menikmati semilir angina laut. Ternyata semua hanya angan-angan belaka.
“Kay mau main!” rengek Kay mulai kesal. Kalau boleh, Ara juga ingin merengek kesal seperti Kay. Sayangnya, itu tidak mungkin terjadi. “Gak mau pulang! Mau pantai!”
“Kay mau sakit?” tanya Dev mulai menegur Kay. “Kay ingat dengan virus Corona?”
“Memangnya, di pantai ada Corona?” Kay malah balik bertanya. Sedikit banyak, Kay memang sudah mulai mengerti mengenai Corona. Ara dan Dev juga sudah mengajarkan protokol kesehatan seperti rajin cuci tangan dan juga memakai masker pada Kay.
“Kalau pantainya rame seperti tadi, bisa jadi ada orang yang sakit Corona di sana, tapi kita gak tahu.” Dev menjelaskan dengan sabar. “Lalu, nanti kita bisa ketularan dari orang itu, terus ikutan sakit. Kay mau Mama, Papa, Nenek, sama Kay ikutan sakit?”
Kay langsung menggelengkan kepala. “Gak mau. Sakit itu gak enak.”
Mobil yang mereka tumpangi sudah kembali ke jalan besar. Ara mendesah pelan dan tidak lagi mempedulikan percakapan antara Dev dan Kay tentang Corona. Sudah benar-benar pupus harapannya untuk bisa piknik hari itu. Akhirnya, seperti Kay, Ara hanya bisa diam dan menerima nasib bahwa hari ini hanyalah perjalanan mengelilingi Jakarta lagi tanpa mampir ke mana pun.
“Kay mau ikut Nenek aja ke Bandung? Ke rumah Tante Riana?” celetuk Ibu setelah pembicaraan mengenai Corona usai.
“Nenek ke Bandung ngapain?”
Ara langsung menoleh ke bangku belakang. Sepertinya, Ibu tidak pernah menyinggung-nyinggung ingin pulang ke Bandung. “Ibu memangnya ada rencana ke Bandung? Kapan?”
“Loh, kamu lupa kalau HPL Riana sudah dekat?”
Ara menepuk keningnya. Hari perkiraan lahir Riana, adik Ara, memang sudah dekat. Melahirkan di musim pandemi seperti ini tentu saja tidak mudah. Ibu pasti khawatir akan anak bungsunya itu. “Ya ampun, aku beneran lupa. Kapan rencananya?”
“Sekitar tiga minggu lagi. Ibu mau ke sana besok atau lusa.”
Pikiran Ara langsung berputar cepat. Jika ibu di Bandung entah sampai kapan, berarti hanya ada mereka bertiga di rumah. Semenjak Kay lahir, ibu memang tinggal di rumah Ara dan Dev. Selama ini, mereka tidak pernah punya asisten rumah tangga karena ada ibu. Sekarang, siapa yang akan menjaga Kay saat Ara dan Dev bekerja?
****
Ara menarik napas sebal dan membalikkan tubuhnya ke arah lain. Insomnia sepertinya sudah menjadi teman baiknya selama ini. Kay tentu saja sudah tidur sedari tadi karena Ara memang membiasakan Kay untuk tidur jam sembilan malam. Ara menatap ponsel yang tergeletak di nakas. Godaan untuk meraih ponsel dan meneruskan menonton drakor atau berselancar di dunia maya begitu besar. Haruskah dia menonton saja? Toh, sedari tadi ternyata kantuk tak kunjung datang.
“Kamu ngapain, sih? Dari tadi gak tidur-tidur? Bolak-balik mulu.” Dev yang masih bangun dan sedang menonton di ponselnya bertanya heran.