Hawa liburan langsung terasa begitu pesawat mendarat di bandara Ngurah Rai. Itulah yang selalu dirasakan oleh Ara. Bahkan, saat dirinya harus ke Bali untuk urusan pekerjaan pun, semua terasa seperti liburan.
“Bapak dan Ibu yang terhormat, selamat datang di Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali. Waktu setempat menunjukkan pukul lima lewat 20 menit di sore hari. Waktu di Bali adalah satu jam lebih cepat daripada waktu di Jakarta.”
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dua puluh menit, pengumuman pramugari saat pesawat berhasil mendarat dengan sempurna di Bali membuat hati Ara berdebar. Lucu juga, padahal sebelum pandemi, entah sudah berapa kali Ara mengunjungi Bali. Tiba di Bali, setelah sekian lama hanya berpergian sekitar rumah dan supermarket, membuat Ara sedikit grogi. Apakah Bali tetap seperti dulu yang diingatnya? Apakah keputusan untuk berlibur ke Bali adalah keputusan yang tepat?
Kondisi pesawat yang mereka tumpangi tergolong cukup sepi dan tidak banyak kursi yang terisi, berarti tidak banyak yang berkunjung ke Bali. Tidak seperti dulu di mana setiap pesawat ke Bali selalu penuh di jam dan hari apapun. Antrian turun dari pesawat berlangsung cepat tanpa banyak hambatan. Ara mengerutkan mata silau menahan terpaan sinar matahari yang terik dan langsung menghantam wajahnya begitu turun dari pesawat. Samar, tercium bau asin laut. Wajar saja, mengingat lokasi bandara Ngurah Rai yang memang terletak di tepi laut.
“Masker cadangannya di mana? Ayo kita ganti masker dulu.” Dev menghentikan langkah Ara dan Kay begitu mereka melewati gerbang kedatangan yang berbentuk pura. Digiringnya Ara dan Kay ke bagian pinggir yang agak terlindung dari sinar matahari.
Ara membuka tas tangannya dan mengeluarkan tiga masker yang memang disimpannya sebagai cadangan. Setelah memasangkan masker baru untuk Kay, baru Ara dan Dev mengganti masker masing-masing. Ara baru ingat bahwa masker itu sudah mereka pakai lebih dari empat jam sehingga sudah waktunya untuk diganti. Untung Dev mengingatkan Ara untuk mengganti maskernya, kalau tidak, bisa-bisa Ara lupa.
“Kenapa banyak bunga di bawah?” celetuk Kay sembari menunjuk beberapa canang yang tertata rapi di dekat gapura.
“Bunga?” tanya Ara bingung, lalu melihat ke arah yang ditunjukkan Kay. “Oh, itu namanya canang, sesajen orang Bali.”
“Canang itu apa?” kejar Kay lagi. Maklum, Kay sangat senang bertanya hal-hal baru.
“Ehm, Mama juga gak terlalu ngerti. Tanya Papa saja.” Ara melempar pertanyaan pada Dev. Apa gunanya punya suami yang tahu segala macam kalau gak dimanfaatkan?
Dev yang merasa ditantang untuk unjuk pengetahuan, langsung berdeham sebelum menjawab, “Canang atau nama lengkapnya adalah canang sari adalah perlengkapan upacara keagamaan umat Hindu di Bali. Istilah "canang sari" ini dari kata sari yang berarti ini, dan canang yaitu wadah anyaman daun kelapa. Lihat, bunga-bunganya ditaruh di wadah kotak, kan? Itu namanya wadah canang.”