Mood Rey hancur berkeping-keping sekarang, alasannya simple. Ia cemburu. Pria itu tau ia tidak pantas cemburu, tapi sungguh ia tidak bisa menyangkal perasaan yang ada.
Kini tidak ada percakapan mereka berdua di atas motor. Rey sangat penasaran, tapi ia tidak berani bertanya pada Fita ataupun Arfan. Ia sadar batasan hubungan yang ada antara dirinya dan Fita. Sedangkan Arfan, Rey tidak ingin bertanya karena takut akan jawaban yang akan di berikan.
Motor besar Rey telah berhenti tepat di depan rumah Fita. Gadis itu turun dan berdiri di samping Rey yang tengah melamun.
"Dengar, jangan jemput aku lagi."
Lamunan Rey membuyar.
"Kenapa?"
"Cukup lakuin."
Fita dengan langkah cepat meninggalkan Rey, namun saat itu juga Rey turun dari motor dan berlari kecil untuk menahan Fita. Langkah Fita terhenti ketika sebuah tangan menahan langkahnya.
"Kesempatan," Ujar Rey.
Fita menghadap sepenuhnya ke arah Rey.
"Aku mohon, kasih aku kesempatan untuk buktiin perasaan aku," Lirih pria itu.
Fita hanya diam saja, gadis itu menghela nafas. Ia ragu akan keputusannya, di sisi lain ia juga ingin bersama Rey karena ia menyukai pria itu. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin bersama pria itu karena akan melukainya.
Tanpa memberi jawaban, gadis itu berbalik dan meninggalkan Rey. Biarlah pria itu terluka sekarang, karena jika mereka bersama Rey bisa jadi lebih terluka.
Rey menatap nanar Fita yang sudah masuk ke dalam rumahnya. Jujur, hatinya terasa sakit saat ini. Ia pikir meluluhkan hati Fita adalah hal yang mudah, ternyata ia salah.
Dengan langkah lemas, ia berjalan ke motornya. Bahunya merosot, wajahnya menjadi muram. Apakah ia harus menyerah saja?
Rey mengendarai motornya meninggalkan pekarangan rumah Fita. Sementara gadis itu masih memperhatikan Rey dari dalam rumah melalui jendela.
"Ini yang terbaik," Lirihnya.
Gadis itu memutuskan untuk membersihkan dirinya dulu sebelum beristirahat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.