"APAA?" Teriakan penuh kejutan itu muncul saat indera penglihatan bereaksi pada sekumpulan barisan list yang agak panjang setelah disiarkan. Melesat begitu saja setelah dikehendaki oleh pengirim pesan. Sekumpulan barisan list itu berisikan setengah nama-nama peserta yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota organisasi yang namanya terkenal. Yakni MPK. Majelis Perwakilan Kelas. Tahun ini, pendaftar awal lumayan banyak. Ada sekitar dua puluh orang yang beragam dari kelas mana saja. Yang paling banyak dari kelas Keagamaan. Ada sekitar tujuh orang perempuan yang memperebutkan posisi perwakilan kelas dengan jumlah maksimal dua orang.
Sayangnya, teriakan itu tak benar-benar terlontarkan. Hanya menyeruak di dalam hati saat pandangan mata antusias membuka pengumuman seleksi penerimaan calon anggota organisasi pada jam yang telah ditentukan. Adalah Yashinta. Perempuan yang sekarang sedang menahan sembilu saat setengah mata sayu menyerang. Berdiam diri sambil terus melihat sekumpulan barisan list.
Diantara sekumpulan nama-nama itu, ada Araiya dan Distya—teman sekelas Yashinta yang belum terlalu akrab. Mereka berdua lolos menjadi perwakilan kelas Keagamaan. Padahal, tadi sewaktu tes wawancara, Distya tak terlalu lancar ketika ditanya oleh beberapa Kakak kelas. Ia terbata-bata. Untungnya ada Kakak kelas baik hati yang membantunya bicara, menyebutkan kata awalan, Distya tinggal berpikir ulang kemudian melanjutkan. Kalau Araiya jelas saja. Ia cukup lancar. Dipikir-pikir, Yashinta saja minder saat satu ruangan tes wawancara. Yashinta sendiri—kalau dibandingkan dengan Distya, Yashinta merasa unggul. Karena ia hanya lupa dua kali saat menyebutkan visi-misi.
Namun, inilah akhirnya. Keputusan tak bisa diubah ulang. Lagipula, siapa Yashinta? Bukan apa-apa, bukan anak pemilik sekolah ataupun anak seorang guru di sekolahnya. Anggota organisasi MPK yang lolos salah satunya terdapat anak seorang guru. Guru tersebut ternyata merupakan pembimbing organisasi OSIS dan MPK. Selain itu juga menjadi guru geografi dan menjadi Wakil Kepala Madrasah. Yashinta baru tahu saat apel pagi dimulai di sekolah dan Pak Ayub yang memberi pengumuman—kemudian Yashinta mendengar dari beberapa siswa mengenai Pak Ayub.
Sekolah yang Yashinta tekuni terkenal se-Kecamatan Rahardja. Bukan karena letak geografisnya yang berdekatan dengan alun-alun Rahardja, tetapi juga karena terdapat siswa yang merupakan cucu seorang wakil presiden RI. Namanya Faris, berasal dari kelas 12 IPA 3. Yashinta tahu, karena kabar itu tersebar luas dari telinga yang satu menuju telinga yang lain. Sejauh ini, selama satu bulan kurang bersekolah, itu yang Yashinta tahu.
Pesan melesat datang dari seseorang lagi. Jemari Yashinta berselancar; mengetik balasan. Itu Emili. Teman dekat Yashinta yang bertanya tentang pengumuman hari ini. Mereka berdua menjadi teman dekat setelah Yashinta menghampiri meja Emili dan bertanya ini-itu tentang kehidupannya. Emili memiliki banyak adik. Katanya, Ibunya tengah mengandung anak kelima. Calon adik keempat Emili. Bagi Yashinta, lima orang saudara sudah banyak, bahkan tiga adik—lebih dari tiga, sudah banyak.
Yashinta lebih suka dipanggil Yash. Ucapan yang bisa memanyunkan bibir seseorang ketika memanggil nama Yash. Mengikuti panggilan keren seorang tokoh dalam novel-novel yang nama panggilannya—terdiri lebih dari lima kata yang diambil dari sebagian nama awalan atau akhiran.
"Bagaimana hari ini, Yash?" Itu pertanyaan yang diajukan pada Yash di kolom chat Emili.
Yash menceritakan semuanya lewat balasan chat pada Emili. 12 Agustus, harus ditandai di kalendernya. Yash tau, masih banyak kesempatan yang dapat diambil, tetapi untuk kali ini, Yash sungguh ingin mencobanya, menaklukannya semampu yang ia bisa, dan menjadi orang keren selanjutnya.
Masa-masa sekolah sebelumnya, Yash belum terlalu aktif. Apalagi dengan keadaan yang tak memungkinkan. Yash dulu pengecut. Ia sendiri yang mengakui; menuliskan dalam buku jurnal dini hari. Lantas ingin berubah, tak mau menjadi takut lagi. Namun, nyalinya ciut. Perempuan itu berbohong lagi untuk kesekian kali.