Darmawangsa International High School.
Di luar ruang keputrian.
“Wynter Mahardika!”
Panggilan itu bikin aku kaget. Minuman bersoda tumpah dari kaleng yang kupegang ke dalam sebelah sepatu terdekat. “Belut ompong!” rutukku. Harusnya seisi kaleng bisa dibagi untuk lebih banyak sepatu perempuan yang berderet di depan pintu. Enggak adil kalau cuma satu cewek yang mendapati genangan sarsaparila di sepatunya. Hebohnya bakal kurang seru.
Kutenggak sisa minuman, lalu kulemparkan kaleng kosong ke tempat sampah di seberang gang. Meleset. Berkelontang dan menggelinding di lantai. Masa bodoh. Para cewek di dalam ruangan juga enggak bakal dengar. Terlalu asyik membahas ... cowok ganteng? Memang. Begitulah cewek kalau sudah berkumpul.
Cowok yang memanggilku bergeming. Wajahnya enggak kukenal. Tapi, dari celana biru dan vest toskanya, dia anak SMP.
“Wynter Mahardika. Kelas 10C,” katanya se tenang cicak mengincar nyamuk. Kepedean amat!
“Yup. The one and only!” Enggak aneh dia kenal aku.
Tapi, bukan berarti aku harus kenal dia. Aku melenggang pergi. Misi berbagi sarsaparila sudah selesai. Bel pulang sebentar lagi berbunyi, dan seluruh cewek kelas 10 paralel akan berhamburan keluar. Sayang sekali cuma satu kaki yang bakal mencicipi hadiahku.
“Aku Wynn Maharesi. Kelas 9D. Tunggu.” Cowok itu menjajari langkahku. Satu tahun lebih muda dari aku, lumayan jangkung, terlalu kurus. “Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, penting banget. Tapi tolong, buang sampahmu dulu ke tempatnya.”
Aku mendengkus dan terus berjalan. Tiba-tiba, lenganku ditahannya. Tanpa kata, dia menunjuk kaleng minuman di lantai. Berani betul anak ini sama kakak kelas!
“Gimana kalau aku masuk ke kelas keputrian dan kasih tahu mereka siapa yang jail menumpahkan sarsaparila ke dalam sepatu?” Wynn menatapku serius. “Jangan bilang, kamu enggak sengaja. Aku tahu, apa yang kamu lakukan tadi.”
Aku menarik lenganku lepas dari pegangannya. “Ngadu saja sana! Aku mau lihat,” tantangku sambil menatap matanya sesaat. Cokelat madu, penuh tekad. Aku mengerjap. Kubalikkan badan. Enggak berminat berurusan dengannya.
“Wynter! Kalau kamu enggak ambil kaleng itu, aku enggak mau bicara sama kamu.”
Eh? Aku enggak salah dengar, kan? Antara geli dan pengin mencekik, tawaku meledak lebih dulu. Anehnya, wajah di depanku tetap datar, seolah ancaman itu paling wajar sedunia. Belalang garing!
Anak itu mengejar untuk mengadangku. “Aku mau tawarkan sesuatu yang rugi banget kalau kamu tolak. Jadi, tolong masukkan sampah kaleng itu ke tempatnya. Please.”
Aku terus melangkah. Koridor di depan deretan kelas lebarnya 3 meteran, tapi aku sengaja menabrak bahunya. Tubuh kurusnya terhuyung minggir. Pesanku jelas: aku enggak tertarik.
“Wynter!”
Tepat saat itu bel berbunyi. Pintu-pintu nyaris serempak terbuka dan penghuninya tumpah ruah ke selasar. Sekeliling kami berseliweran siswa-siswi berseragam abu- abu dan vest maroon . Berisik bukan main.
Cowok SMP itu segera sadar seragamnya berbeda secara mencolok. Dengan kepala tertunduk, dia pergi meninggalkanku. Tapi, melawan arus. Kembali ke depan ruang keputrian untuk memungut kaleng dan memasukkannya ke tempat sampah. Aku tercengang, mengikutinya dengan mataku saat dia melewatiku lagi.
Tiba-tiba, jeritan melengking terdengar di belakang kami. Cewek. Entah siapa, aku tidak peduli. Pastinya, dia yang memasukkan kaki ke dalam sepatu berisi sarsaparila. Senyumku melebar. Skor lagi untukku: Wynter versus Cewek.
“Suatu saat, kamu pasti kena batunya,” kata cowok itu sambil geleng-geleng dan berlalu.
Kupikir, dia enggak bakal menggangguku lagi. Tapi esoknya, di taman ....
“Wynter Mahardika!”