WRITE ME HIS STORY

Mizan Publishing
Chapter #3

3. Who is He?

“Wynter Mahardika!” Aduh! Tikus peyot! Gara-gara panggilannya, jempolku tertusuk obeng. Untungnya tumpul. Benda itu jatuh ke lantai. Aku memungutnya dan bangkit dari posisi berlutut di depan pintu BP yang tertutup. Langsung berbalik.

Tikus peyot kutuan! Dia lagi. Seminggu sudah berlalu, kah? “Kalau di film-film, bongkar kunci itu pakai jepit rambut biar enggak ngerusak pintu,” katanya santai sambil bersandar di dinding. “Aku punya. Mau pinjam?”

Alisku bertaut. Sudah berapa lama dia berdiri di situ menonton aksiku? Ringan sekali gerakannya, atau aku saja yang terlalu berkonsentrasi mengutak-atik lubang kunci. “Sudah hampir berhasil ....”

“Oh, ya?” Wynn tersenyum, “Kalau berhasil, mau apa? Mencuri sesuatu dari BP? Atau, mau melenyapkan barang bukti?”

“Bukan urusanmu,” sahutku. Entah kenapa, aku enggak merasa terancam. Kalau dia mau melaporkan aku, pasti sudah dilakukannya dari tadi. Kulirik arloji di tangan kananku. Pukul 17.00. Sekolah sudah sepi, kecuali ruang- ruang ekskul di lantai tiga. Setengah jam lagi, mereka bubar dan satpam akan berkeliling memeriksa, lalu menutup gedung. Waktuku enggak banyak lagi. Apa boleh buat. “Aku pinjam jepit rambutmu.”

Lagi-lagi, percakapan ganjil antarcowok dengan Wynn. Tapi, begitulah. Dia mengeluarkan jepit rambut dari saku kemeja. “Kamu yakin bisa? Enggak semudah di film, lho. Perlu kubantu?”

Wynn mendekat dengan benda kecil di telapak tangannya. Kepunyaan cewek. Kenapa ada di sakunya di waktu yang tepat saat dibutuhkan pula? Ah, masa bodoh. Aku mengulurkan tangan untuk meminta. Wynn malah menggenggam benda itu. “Aku yang bukain pintu. Dengan syarat, habis ini aku bicara dan kamu harus dengar.”

Aku mendecak. “Aku enggak harus terima tawaranmu, kan?”

“Enggak harus. Tapi, kamu pasti bakal terima.” Wynn tersenyum miring. Sok yakin. Dia memainkan jepit rambut di antara jemari. “Enggak tiap hari kamu dapat bantuan dalam pelanggaran semikriminal begini. Asal kamu tahu saja, kita bisa dikeluarkan dari sekolah kalau ketahuan. Deal?”

Saat itu, terdengar suara-suara di tangga ujung lorong. Ada ekskul yang bubar lebih awal. Enggak ada jalan lain.

“Deal. Bukain!”

Wynn menyeringai. Mendorongku minggir. Memasukkan jepit ke lubang kunci. “Awasi tangga!” suruh nya.

Aku pun beranjak ke persimpangan selasar agar bisa mengawasi semua arah. “Aman!” kataku, berjalan balik dan tercengang. Wynn sudah berdiri di ambang pintu BP yang terbuka, mempersilakan.

“Wow! Cepat sekali!” Aku bergegas masuk. “Kamu jaga di luar!”

“Dua menit saja!” katanya tegas.

Aku berkonsentrasi mencari-cari ponselku yang disita Miss Jansen tadi pagi. Katanya, aku boleh ambil lagi setelah pelajaran berakhir. Begitu bel pulang, aku lari ke BP, pintunya sudah terkunci. Aku menunggu 1 jam sampai Mr. Kresna lewat dan bilang, Miss Jansen pulang lebih awal. Keju bulukan! Perempuan, meskipun berprofesi guru dan berasal dari negara yang katanya adidaya beradab, tetap saja enggak bisa dipercaya!

Aku harus mendapatkan kembali ponselku hari ini juga karena Mum bakal meneleponku di jam makan siangnya, pukul 12.00 waktu London, yang berarti pukul 19.00 di sini.

“Wynter!” Wynn berseru di luar.

Aku menarik laci keempat. “Dapat!” Kuambil ponselku dan bergegas keluar, tapi di pintu aku balik lagi karena lupa menutup laci.

Wynn melongok ke dalam, wajahnya cemas. Aku meringis sambil mengacungkan ponselku. Setelah aku keluar, dia menutup pintu BP. Tepat saat anak-anak ekskul wushu lewat. Sebagian berhenti untuk bertanya alasanku bolos latihan kali ini.

“Lagi haid!” Wynn membuat teman-temanku tergelak. Aku membelalak. Anak itu cengar-cengir saja sampai mereka berlalu.

Aku pun segera kabur karena Master Zhang—pelatih wushu—pasti bakal lewat juga.

“Hei! Wynter, tunggu!”

Lihat selengkapnya