Peribahasa yang berbunyi bahwa mulutmu, harimaumu memang benar adanya. Kita harus waspada terhadap setiap hal yang kita ucapkan, karena dampaknya akan cukup besar bagi hidup kita. Pada caturwulan berikutnya, Eve yang sekarang suka bermalas-malasan, turun ke peringkat tiga, persis seperti ucapannya tempo hari.
Juara satu dan dua kembali jatuh pada kedua teman Eve yang memang langganan juara, bahkan mereka menjadi juara umum kedua dan ketiga. Jelas sekali mereka terlihat sangat senang, karena bisa mengambil kembali posisi juara yang telah Eve rebut tanpa peringatan. Belakangan mereka berdua memang terlihat belajar semakin keras, kontras dengan Eve yang selalu bersantai. Memang penyesalan itu selalu datang di belakang, kalau di depan namanya resepsionis.
***
Siang itu setelah rapor dibagikan, Eve menunggu papanya yang sedang pergi ke toilet, di dalam sebuah mobil berwarna putih yang sedang diparkir di halaman sekolah. Mobil itu menjadi saksi bisu akan kenyataan pahit yang harus Eve terima, bahwa dirinya sedang menjadi buah bibir yang kurang baik di kalangan para orang tua murid.
”Memang yah, yang namanya juara baru apalagi langsung juara satu, biasanya ngga tahan lama.” kata mama teman sekelasnya.
“Iya. Kalo cuma sekali, biasanya cuma beruntung. Ujung-ujungnya juara tiga juga.” orang tua murid lain menimpali.
Tentu saja ucapan mereka tidak benar, itu semua hanya asumsi belaka. Mereka yang tidak melihat semua perjuangan Eve selama ini, hanya bisa berkomentar yang bukan-bukan. Hati Eve memberontak, namun ia tidak bisa membantah atau membalas ucapan mereka karena dirinya juga salah. Eve sangat sedih, hatinya merana. Namun ia hanya bisa bersabar, apalagi dirinya hanyalah seorang anak kecil.
Dada Eve masih terasa sangat panas, sepanas kulit kakinya saat melepuh tempo hari karena bersinggungan langsung dengan knalpot motor yang baru saja diparkir, bahkan lebih panas. Bagaimanapun, rasa perih di hatinya kini serasa lebih perih daripada luka bakar waktu itu, luka yang terjadi karena kebodohan dirinya.