Wundersmith

Noura Publishing
Chapter #1

Malaikat Israfel Spring"s Eve, Musim Dingin Tahun Satu

Morrigan Crow melompat dari Brolly Rail de­ngan gigi bergemeletuk, sedangkan tangannya yang meme­­gang ujung payung perlak serasa beku. Angin telah melecut rambut­nya hingga acak-acakan. Dia berusaha sebisanya merapikan rambut selagi terburu-buru menyusul pengayomnya yang su­dah bermeter-meter di depan, memelesat di jalan raya distrik Bo­he­mian yang berisik dan ramai.

“Tunggu!” Morrigan memanggil pria itu sambil menem­bus sekelompok perempuan bergaun satin dan berjubah be­ledu elok. “Jupiter, pelan-pelan.”

Jupiter North menoleh ke belakang, tetapi tidak berhenti bergerak. “Tidak bisa, Mog. Pelan-pelan tidak ada dalam ka­musku. Cepatlah.”

Kemudian, sang Pengayom lagi-lagi menghilang, berlari ke sela-sela pejalan kaki dan gerobak serta kereta kuda dan kendaraan bermotor.

Morrigan bergegas mengejar Jupiter dan sontak menyong­song kepulan asap biru safir berbau harum menyengat, yang diembuskan ke wajahnya oleh seorang wanita yang memegang cerutu emas tipis dengan ujung-ujung jari bernoda biru.

“Ih. Bau!” Morrigan batuk-batuk dan melambai-lambai untuk mengusir asap. Sejenak, dia tidak bisa melihat Jupiter karena asap keruh, tetapi kemudian dia melihat puncak kepala pria itu yang berwarna merah tembaga cerah, terangguk-angguk di tengah-tengah khalayak ramai, jadi Morrigan sege­ra berlari untuk menyusul.

“Anak-anak!” Dia mendengar wanita berjari biru berseru di belakangnya. “Sayang, lihat—ada anak-anak, di Bohemia sini. Menakutkan sekali!”

“Itu bagian dari pertunjukan, Sayang.”

“Oh, begitu. Sangat inovatif!”

Morrigan berharap sempat berhenti dan menengok sana sini. Dia belum pernah melihat kawasan Nevermoor yang ini. Jika dia tidak khawatir ketinggalan jauh sampai-sampai tidak bisa melihat Jupiter di tengah kerumunan orang, Morrigan pasti antusias melihat teater dan gedung pertunjukan serta balai musik di kanan kiri jalan, juga lampu-lampu terang dan plang-plang neon berwarna-warni. Orang-orang berpakaian mewah tumpah ruah dari kendaraan di tiap pojok jalan dan digiring masuk melalui pintu teater agung. Para pengiklan ber­teriak dan bernyanyi, mengundang pelanggan ke pub-pub hiruk pikuk. Ada pula restoran-restoran yang, saking pe­nuhnya, mesti menempatkan meja-meja di trotoar.Se­mua kursi­nya diduduki, padahal suhu Spring’s Eve, yang me­ru­pakan malam terakhir musim dingin, benar-benar membekukan.

Morrigan akhirnya menjajari Jupiter, yang sudah berdiri menanti di luar gedung paling ramai—dan paling indah—di jalan tersebut. Menurut Morrigan, bangunan berdenyar dari marmer putih dan emas itu sedikit mirip katedral dan sedikit mirip kue tar perkawinan. Plang terang benderang di atas bertuliskan:

BALAI MUSIK DELPHIAN MEMPERSEMBAHKAN

GIGI GRAND

DAN

OUTTERDORN FIVE

“Apakah kita ... akan masuk?” Morrigan tersengal. Ru­suk­nya makin lama makin ngilu.

“Ke mana, ke sini?” Jupiter menengok New Delphian dengan ekspresi menghina. “Ya ampun, tidak. Jangan sampai aku tepergok masuk ke situ.”

Sambil melirik diam-diam ke balik bahu, Jupiter menggi­ring Morrigan menyusuri gang di belakang New Delphian, meninggalkan keramaian. Gang itu sangat sempit sehingga mereka harus berjalan satu-satu, sesekali melangkahi gunduk­an sampah entah apa dan bata yang telah copot dari tem­bok. Tidak ada lampu di sana. Bau bacin menguar semakin tajam saat mereka semakin jauh menyusuri gang. Seperti telur bu­suk atau bangkai binatang, atau mungkin dua-duanya.

Morrigan menutupi mulut dan hidungnya. Bau itu ter­amat memuakkan sampai-sampai dia harus berjuang supaya tidak muntah. Dia ingin berputar balik, tetapi Jupiter senan­tiasa berderap di belakangnya, menyikutnya agar terus maju.

“Berhenti,” kata Jupiter menjelang ujung gang. “Inikah ...? Bukan. Tunggu, inikah ...?”

Morrigan berputar dan melihat pengayomnya sedang me­me­riksa sepetak tembok yang persis seperti petak-petak lain. Jupiter menotol-notol mortar di antara bata, mencondong­kan tubuh untuk mengendus-endusnya, kemudian iseng-iseng men­ji­lat tembok.

Morrigan memandangi sang Pengayom dengan ngeri. “Ih, hentikan. Anda sedang apa?”

Jupiter awalnya diam saja. Dia menatap dinding bebe­rapa saat, mengerutkan kening, lantas menengadah ke selarik angkasa berbintang di antara gedung-gedung. “Hmm. Sudah kukira. Bisa kau rasakan?”

“Merasakan apa?”

Jupiter meraih tangan Morrigan dan menempelkannya ke tembok. “Pejamkan matamu.”

Morrigan menurut sekalipun merasa konyol. Terkadang, sulit membedakan apakah Jupiter berkelakar atau serius, se­dangkan kali ini, Morrigan curiga Jupiter tengah memperma­in­kannya. Biar bagaimanapun, hari ini adalah ulang tahunnya. Kendati Jupiter sudah berjanji tidak akan memberikan kejut­an, tidaklah mengherankan jika pria itu menggagas akal-akalan rumit nan memalukan yang ditutup alunan “Selamat Ulang Tahun” dari segerombolan orang di suatu ruangan. Morrigan hendak menyuarakan kecurigaannya, ketika—

“Oh!” Ujung jemarinya samar-samar tergelitik. Telinga­nya menangkap dengung lirih. “Oh.”

Masih memegangi pergelangannya, Jupiter mengebela­­kangkan tangan Morrigan, sedikit saja, dari dinding. Gadis itu merasakan perlawanan, seolah bata-bata mengan­dung mag­net dan tidak mau melepaskannya.

“Apa itu?” tanyanya.

“Trik kecil-kecilan,” gumam Jupiter. “Ikuti aku.” Sembari mundur, dia menumpukan satu kaki ke tembok kemudi­an kaki yang sebelah lagi, lantas—sambil dengan santai melawan hukum gravitasi—berjalan secara vertikal di dinding dengan tubuh membungkuk supaya kepalanya tidak terbentur tembok seberang.

Selama beberapa saat, Morrigan menatap Jupiter sambil bengong, kemudian dia buru-buru menyadarkan diri. Dia kini warga Nevermoor. Penghuni tetap Hotel Deucalion dan anggota Wundrous Society juga. Tidak sepantasnya Morrigan terkejut jika ada yang janggal.

Dia menarik napas dalam-dalam (dan hampir muntah gara-gara bau menusuk), kemudian menirukan tindak tanduk Jupiter secara persis sama. Begitu kedua kakinya menapak dinding, dunia jungkir balik sebelum akhirnya terasa normal kembali. Dalam sekejap, Morrigan merasa baik-baik saja. Bau memuakkan menghilang dan digantikan udara malam dingin nan segar. Sekonyong-konyong, berjalan di tembok gang sambil menghadap langit bertabur bintang terkesan lumrah-lumrah saja. Morrigan tertawa.

Ketika mereka keluar dari gang vertikal, dunia lagi-lagi jungkir balik.

Berbeda dengan dugaan Morrigan, mereka tidak berada di atas atap, melainkan di gang lain. Gang ini ramai dan ber­simbah cahaya hijau angker. Morrigan dan Jupiter berbaris di ekor antrean panjang nan antusias yang dipagari dengan tali beledu. Kegairahan ternyata menyebar dan, dalam waktu singkat, Morrigan sudah merasa berdebar-debar penuh ha­rap. Dia berjinjit untuk melihat mereka sedang mengantre untuk apa. Di depan, di sebuah pintu biru muda yang sudah kusam, terpampanglah pengumuman yang ditulis tangan:

BALAI MUSIK OLD DELPHIAN

PINTU BELAKANG

MALAM INI : MALAIKAT ISRAFEL

“Siapa itu Malaikat Israfel?” tanya Morrigan.

Jupiter tidak menjawab. Dia mengedikkan kepala untuk memberi Morrigan isyarat agar mengikutinya, lalu langsung melenggang ke depan antrean yang dijaga seorang wanita bertampang bosan. Wanita itu berpakaian serbahitam, mulai dari sepatu botnya yang berat hingga penutup kuping berbulu yang dikalungkan ke leher. (Morrigan angkat jempol untuk busananya.)

“Antrean di belakang sana,” kata wanita tersebut tanpa mendongak, sibuk mengecek daftar nama yang dia pegang. “Tidak boleh mengambil foto. Dan dia tidak mau menanda­tangani apa-apa sampai pertunjukan usai.”

“Saya khawatir tidak bisa menunggu selama itu,” kata Jupiter. “Boleh saya masuk sekarang?”

Wanita itu mendesah dan melirik Jupiter sambil lalu, tan­pa ekspresi. “Nama?” tanyanya sambil mengunyah permen karet dengan mulut setengah terbuka.

“Jupiter North.”

“Kau tidak terdaftar.”

“Tidak. Maksud saya, ya. Saya tahu. Saya harap Anda bersedia memberi pemakluman,” kata Jupiter, menyung­gingkan senyum di balik janggut merah cerah. Dia menepuk pin W kecil keemasan di kerah mantel sekenanya.

Morrigan berjengit. Dia tahu anggota Wundrous Society nan elite dikagumi di Nevermoor dan sering kali memperoleh perlakuan khusus yang hanya dapat diimpikan oleh warga biasa, tetapi Morrigan tidak pernah melihat Jupiter coba-coba memanfaatkan “pin privilese” semencolok itu sebelumnya. Apa Ju­piter sering melakukannya? Morrigan bertanya-tanya.

Wanita itu tidak terkesan—reaksi yang menurut Morrigan memang wajar. Dia memandangi W kecil keemasan sambil merengut, kemudian memelototi wajah Jupiter yang penuh harap dengan mata berhiaskan riasan kelap-kelip. “Tapi kau tidak terdaftar.”

“Dia pasti ingin bertemu saya,” ujar Jupiter.

Wanita itu mencemooh sehingga tampaklah gigi-giginya yang bertabur berlian. “Buktikan.”

Jupiter memiringkan kepala dan mengangkat alis, sedang­kan wanita tersebut malah menirukan gerakannya dengan mimik tak sabar. Akhirnya, sambil mendesah, Jupiter me­ro­goh ke dalam mantel panjangnya dan mengeluarkan sehelai bulu hitam bebercak-bercak emas, yang kemudian dia putar-putar—sekali, dua kali—di sela-sela jemarinya.

Mata si wanita membelalak sedikit. Mulutnya menganga sampai-sampai Morrigan bisa melihat permen karet biru cerah yang menyangkut di sela-sela giginya. Sambil melirik waswas ke arah antrean yang makin memanjang di belakang Jupiter, dia membuka pintu biru kusam dan mengedikkan kepala untuk mempersilakan mereka berdua masuk. “Cepat, kalau begitu. Pertunjukan dimulai lima menit lagi.”

_____

Bagian belakang panggung Old Delphian ternyata gelap. Sua­sana tenang tetapi tegang, sementara asisten-asisten berpakai­an hitam bergerak ke sana kemari secara efisien tanpa ribut-ribut.

“Itu tadi bulu apa?” tanya Morrigan sambil berbisik.

“Lebih persuasif daripada pin, rupanya,” gumam Jupiter, kedengarannya agak kecewa. Dia menyerahkan satu dari dua pasang penutup telinga yang dia comot dari kotak bertanda KRU. “Ini, pakailah. Dia akan bernyanyi.”

Lihat selengkapnya