Di bawah langit tak berawan yang bertabur bintang, kesembilan anggota teranyar Wundrous Society berdiri bersisian di luar gerbang, dalam keadaan acak-acakan serta kedinginan.
Morrigan mungkin saja resah gara-gara terbangun pada tengah malam di jalanan dingin Nevermoor hanya dalam balutan piama, tetapi dua hal menyurutkan kecemasannya:
Pertama, karena gerbang Wunsoc telah bertransformasi menjadi tanda selamat datang mahabesar dari tumbuh-tumbuhan yang mekar di luar musimnya—permadani bunga berwarna-warni pelangi yang terdiri dari mawar, peony, aster, hydrangea, dan sulur-sulur hijau merambat bertuliskan kata-kata menggairahkan sebagai berikut:
SAUDARA-SAUDARI
Mari masuk dan bergabung bersama kami
Kedua, karena anak laki-laki yang berdiri di sebelah kanannya—bertungkai panjang kurus, berambut keriting, dan bermulut kotor bekas cokelat yang dimakan sebelum tidur—adalah sahabat karibnya sedunia. Hawthorne Swift mengucek-ngucek mata dan menyeringai kepada Morrigan dengan ekspresi mengantuk.
“Oh,” kata Hawthorne, sekalem biasanya. Dia menjulurkan leher untuk memandangi ketujuh anak lain yang berbaris di kanan kiri mereka. Mereka juga menggigil dan berpiama, serta kurang lebih kelihatan jengkel atau resah. “Kegiatan aneh Wunsoc, ya?”
“Pasti begitu.”
“Aku tadi mimpi seru,” kata Hawthorne serak. “Aku terbang naik naga di atas rimba dan aku jatuh berguling-guling ke sela-sela pepohonan ..., kemudian aku diadopsi oleh segeng monyet. Monyet-monyet itu menjadikanku raja mereka.”
Morrigan mendengus. “Kedengarannya cocok.”
Temanku di sini, pikirnya bahagia. Semua akan baik-baik saja.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak perempuan yang berdiri di kiri Morrigan. Kekar, berbahu bidang, bermuka merah muda, dan setidak-tidaknya setengah kepala lebih tinggi daripada Morrigan; anak perempuan itu berlogat Highland kental dan berambut merah kusut yang menjuntai ke punggung. Dia, Morrigan ingat, adalah Thaddea Macleod. Anak perempuan yang bertarung melawan troll dewasa dalam Ujian Unjuk Diri dan menang.
Morrigan tidak bisa menjawab pertanyaannya. Sebagian karena dia memang tidak tahu, tetapi terutama karena dia mengingat-ingat dalam benaknya momen ketika Thaddea menyambar kursi yang diduduki Tetua Wong dan menggunakannya untuk menghajar tempurung lutut si troll disertai bunyi krak memilukan. Menakutkan, pikir Morrigan—tetapi juga, sejujurnya, lumayan kreatif.
“Cuma tebakan,” ujar Hawthorne sambil menguap lebar, “tapi menurutku kita harus masuk dan bergabung dengan mereka.”
Saat Hawthorne berkata-kata, gerbang terbuka perlahan disertai krieeeeet nyaring. Di belakang bunga-bunga selamat datang dan tembok bata tinggi, pekarangan Wunsoc menanjak landai menuju Wisma Proudfoot, semua jendelanya terang benderang seperti lampu suar yang menyeru mereka agar maju terus.
Udara berubah saat kesembilan kandidat yang berhasil—terpilih dari ratusan anak yang bercita-cita menjadi cendekiawan baru Unit 919 Wundrous Society—melangkah ke dalam gerbang.
Baru kali ini fenomena aneh “cuaca Wunsoc” tidak mengejutkan Morrigan. Di jalanan Kota Tua di luar gerbang, udara malam dingin segar. Di dalam gelembung cuaca Wunsoc, yang segala-galanya terasa sedikit lebih daripada kenyataan, rumput diselimuti bunga es tebal. Udara menguarkan aroma salju—segar dan bersih serta dingin menggigit. Napas mereka berubah menjadi kepulan kabut begitu dikeluarkan. Morrigan bergidik, sama seperti yang lain, sambil menggosok-gosok lengan dan meloncat-loncat di tempat supaya hangat. Gerbang berderit hingga tertutup di belakang mereka, lalu suasana menjadi hening.
Mereka semua sudah melihat Wunsoc tahun lalu, tentu saja. Tantangan pertama mereka—Ujian Buku—berlangsung di dalam Wisma Proudfoot itu sendiri. Morrigan ingat sempat duduk bersama ratusan anak lain di ruangan mahabesar yang berisi berderet-deret meja. Buklet kecil kosong mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang harus dia jawab secara jujur karena jika tidak, buklet niscaya terbakar. Hampir separuh peserta yang seruangan dengan Morrigan mesti menyaksikan jawaban mereka terlalap api dan kontan terdiskualifikasi.
Wunsoc kini kelihatan berbeda dan bukan semata-mata karena sedang malam. Pelataran masih diapit pohon-pohon gundul berbatang hitam—fosil dari genus bunga api yang sudah punah. Namun, malam ini, di cabang pohon-pohon tersebut, bertenggerlah ratusan anggota Wundrous Society seperti burung kebesaran—muda, tua, lebih tua lagi, dan uzur—sambil memandangi para pendatang baru. Sama seperti saat Parade Hitam pada Hallowmas lalu, mereka mengenakan jubah hitam formal, sedangkan wajah mereka hanya diterangi oleh lilin yang mereka pegang.
Busana hitam dan lilin semestinya berefek menyeramkan, tetapi entah mengapa Morrigan tidak takut. Bagaimanapun juga, dia sudah masuk Society. Bagian yang sukar telah usai.
Kehadiran orang-orang asing berjubah hitam yang menatapnya dari pohon-pohon malah terkesan hampir-hampir menenangkan. Mereka bukannya tidak ramah, hanya ... bergeming.
Selagi Unit 919 spontan menyusuri pelataran menanjak untuk menuju bangunan bata merah menjulang Wisma Proudfoot, para anggota Society berjubah hitam mengalunkan senandung pelan yang Morrigan kenali. Kata-kata tersebut telah diantarkan kepada Morrigan di Hotel Deucalion berhari-hari lalu, tertera dalam tulisan tangan kecil rapi dan disegel dalam amplop putih gading beserta instruksi untuk menghafal kemudian membakar kata-kata tersebut:
SAUDARA-SAUDARI, SETIA SEHIDUP SEMATI
BERGANDENGAN SELALU, SIAP BAHU-MEMBAHU
SEMBILAN YANG UTAMA, SEMBILAN MELEBIHI IKATAN DARAH,
BERSATU PADU SELAMANYA, MELAWAN RINTANGAN DUNIA.
SAUDARA-SAUDARI, SETIA MENDAMPINGI,
BERSAMA SENANTIASA, SEGELINTIR YANG ISTIMEWA.
Itu adalah sumpah. Janji yang disampaikan masing-masing anggota baru Society kepada unit mereka—kedelapan saudara-saudari baru mereka. Morrigan tahu bahwa dengan menjadi anggota Society, dia bukan saja memperoleh pendidikan elite dan dunia sarat kemungkinan, melainkan juga hal yang dia damba-dambakan di atas segalanya: keluarga sejati.
Senandung mengikuti perjalanan Unit 919 di pelataran panjang, begitu pula rekan-rekan mereka sesama anggota Society. Para senior melompat turun dari pohon dan berkerumun di belakang para rekrut baru, seperti pengawal kehormatan, sembari mengucapkan sumpah Wunsoc berulang-ulang.
Sambutan bertambah keras dan meriah sementara Unit 919 kian jauh menyusuri pelataran. Sekelompok musisi bergegas turun dari sebatang pohon di kanan mereka dan memainkan melodi penuh kemenangan. Sepasang remaja di kanan kiri jalan setapak memunculkan pelangi yang memayungi Unit 919 seperti gapura tembus pandang sehalus kabut. Ketika mereka akhirnya tiba di Wisma Proudfoot, seekor gajah besar di kaki undakan yang ber-toet toet seperti peniup trompet mengumumkan kedatangan mereka.
Di undakan marmer lebar, berdirilah sembilan perempuan dan laki-laki—salah seorang berambut merah terang—yang menanti dan menyaksikan kedatangan kandidat mereka dengan bangga dan gembira.
Morrigan menaiki undakan untuk menyongsong Jupiter, yang berwajah seterang matahari saking berbinar-binarnya. Sang Pengayom membuka mulut untuk bicara, tetapi malah berakhir bungkam, mata birunya berkaca-kaca. Morrigan kaget, alih-alih tersentuh, akan luapan emosi Jupiter yang tak disangka-sangka itu. Dia menunjukkan apresiasi dengan mengulurkan tangan untuk menonjok lengan Jupiter.
“Payah,” bisik Morrigan. Jupiter tertawa sambil mengusap matanya.
Di samping Jupiter, berdirilah pengayom Hawthorne, Nancy Dawson nan belia, lesung pipinya merekah saat menyeringai kepada kandidatnya. “Semua beres, Biang Onar?”
“Semua beres, Nan,” jawab Hawthorne sambil menyeringai.
Seorang pengayom berusia lebih tua yang berdiri di samping Nan ber-sst sst untuk menyuruh mereka diam, cemberut karena tidak senang.
“Oh, tutup mulutmu sendiri, Hester,” kata Nan ramah, memasang mimik kocak sambil menoleh kepada Hawthorne dan Morrigan.
Di barisan pengayom, Morrigan melihat seorang pria yang tidak ingin dia temui lagi: Baz Charlton. Tahun lalu, Baz bersiasat supaya Morrigan gagal dalam ujian dan didepak dari Nevermoor, sambil sekalian membantu kandidatnya sendiri untuk berbuat curang.
Kandidat Baz, Cadence Blackburn sang mesmeris, berdiri sambil bersedekap. Dia mengedikkan kepala untuk menyibakkan rambut hitam panjangnya yang dikepang ke balik bahu, kelihatan santai sekali di tengah-tengah situasi janggal ini sehingga nyaris terkesan bosan. Entah mengapa, Morrigan merasa takjub sekaligus jengkel karenanya.
Jupiter mencondongkan tubuh untuk berbisik ke telinga Morrigan. “Lihat ke sekelilingmu, Mog. Ini hasil kerja kerasmu. Nikmatilah.”
Di belakang mereka, para anggota Wunsoc berdiri berdempet-dempetan. Mereka sudah berhenti bersenandung dan kini mengobrol sendiri dengan riang, memandangi para anggota teranyar Society sambil menyeringai dan menikmati perayaan.
Jeritan ganjil tiba-tiba membelah udara dan semua orang menengadah. Sepasang naga beserta penunggang mereka terbang di atas Wisma Proudfoot, mengeja kesembilan nama dengan api dan asap di langit:
ARCHAN