Ketika bangun keesokan harinya, Morrigan bisa saja meyakinkan diri sendiri bahwa perjalanan tengah malam ke Wunsoc adalah mimpi indah yang aneh sekaligus mimpi buruk belaka. Bisa saja—jika bukan karena tato keemasan.
“Itu bukan tato,” Jupiter bersikeras, menuang jus ke dua gelas sementara Morrigan secara sembarangan mengoleskan madu dan menaburkan kayu manis ke sepiring crumpet panggang (agak gosong karena dia sodorkan terlalu dekat ke api, tetapi masih bisa dimakan). Setelah kejadian semalam, mereka berdua bangun kesiangan sehingga tidak sempat mengikuti sarapan di ruang makan dan alhasil, Jupiter meminta agar nampan makanan diantarkan ke ruang kerjanya. Mereka berdua duduk berhadapan di meja Jupiter, beragam makanan terhampar di antara mereka, mulai dari hidangan yang pantas untuk sarapan (ikan trout asap dan telur orak-arik) hingga yang tidak (sup tomat dan artichoke—yang sedang Jupiter idamkan). “Apa kau pikir aku mau mengizinkan mereka menatomu?”
Morrigan menggigit crumpet besar-besar sehingga tidak perlu menjawab. Sejujurnya, dia tidak tahu Jupiter akan mengizinkan atau melarang apa.
Jupiter tidak luput menafsirkan sikap Morrigan yang diam seribu bahasa. Dia terperangah. “Mog! Jangan konyol. Ditato itu sakit. Apa rasanya sakit?”
Morrigan menelan makanan sambil menggeleng. “Tidak,” katanya, menjilat madu dari telunjuk kanan sambil sekalian mengamati tanda baru yang dibubuhkan ke sidik jarinya: W keemasan bergaya identik dengan pin Wunsoc tetapi berukuran lebih kecil, timbul sedikit di permukaan kulitnya dan samar-samar berdenyar jika diterpa cahaya. “Sama sekali tidak sakit. Rasanya cuma ... cuma ... menonjol.”
Morrigan tidak tahu bagaimana lagi cara mendeskripsikan tanda itu, yang dia jumpai secara misterius ketika terbangun pagi ini. Tanda itu tidak menimbulkan sensasi membakar atau perih atau gatal atau apa pun yang dapat dia jabarkan. Tanda tersebut tidak dibekaskan dari luar—bukan seperti parut atau bekas luka. Kesannya seolah tanda itu telah muncul dari dalam kulitnya ke luar. Sebelum dia melihat tanda itu dengan mata kepala sendiri, sebelum dia terjaga sepenuhnya, Morrigan semata-mata tahu bahwa telah terdapat cap di kulitnya. “Aneh, ya?”
Jupiter memeriksa telunjuknya sendiri dengan mimik agak kaget. Dia memberi tahu Morrigan bahwa sama seperti cap Morrigan, cap Jupiter sendiri muncul pada pagi setelah pelantikan sebagai anggota Wunsoc—bertahun-tahun silam. Kelihatannya sudah lama sekali Jupiter tidak merenungi keberadaan cap tersebut. “Hmm. Iya juga. Tapi bermanfaat.”
“Untuk apa?”
“Macam-macam.” Jupiter mengangkat bahu dan kembali mengalihkan perhatian kepada hidangan sarapan, dengan saksama memilih santapannya yang berikut.
“Misalkan?”
“Mengantar kita masuk ke segala tempat. Memungkinkan anggota lain Society untuk mengenali kita.”
“Tapi, untuk itu kita sudah punya pin W.”
“Bukan.” Jupiter akhirnya memilih roti panggang setengah gosong dan menggapai selai. “Itu lain.”
Morrigan menyipitkan mata. “Lain bagaimana?”
Pria itu sedang berlagak menyebalkan khas Jupiter, yakni menyalurkan informasi sepotong-sepotong seperti memberi siksaan spesial. Penyebabnya mungkin karena Jupiter sebetulnya tidak ingin memberi tahu Morrigan atau mungkin juga karena percakapan mereka saat ini adalah bagian paling tidak penting di antara belasan persoalan yang sedang berkelebat di benak pria itu. Menyangkut Jupiter, sulit untuk membedakannya.
“Pin itu untuk Unwun.”
“Unwun?”
“He-eh.” Jupiter mengunyah dan menelan roti panggang sambil mengebuti remah-remah dari depan bajunya. “Orang-orang lain. Tahulah, yang bukan anggota Society. Berkat pin itulah orang-orang luar Wunsoc tahu siapa kita. Cap ini lain.” Jupiter mengacungkan jari dan menggoyang-goyangkannya, sedangkan tanda W di telunjuknya memantulkan sinar perapian sehingga hampir-hampir terkesan berpendar. “Cap ini untuk kita.”
Sesuatu terbetik di benak Morrigan dan dia mendadak dongkol. “Kenapa Anda tidak pernah menunjukkan tanda itu sebelumnya?”
“Percuma, Mog. Kau tidak bisa melihat cap milik orang lain kecuali kau sendiri mempunyai cap. Seperti yang kukatakan, cap tersebut untuk kita. Dengan cara itulah kita mengenali satu sama lain. Ibaratnya seperti ... lambang keluarga. Kau akan melihat cap tersebut di mana-mana, mulai saat ini. Lihat saja nanti.”
Lambang keluarga. Kata-kata itu membelai lembut hati Morrigan. Dia mengutamakan pin W keemasan di atas semua barang lain miliknya (kecuali payungnya, barangkali), tetapi pin tersebut hanya itu ... sebuah barang. Benda yang bisa saja rusak atau hilang dengan mudah. Cap ini terasa lain; cap ini adalah bagian dari dirinya. Cap itu sekaligus membuktikan bahwa Morrigan adalah bagian dari sesuatu yang penting, sesuatu yang lebih besar daripada dirinya seorang. Sebuah keluarga.
Saudara-saudari, setia sehidup semati.
Namun, itukah yang dia miliki? Morrigan mengira demikian hingga sebuah kata terucap—Wundersmith—dan hancurlah ilusi itu berkeping-keping.
“Hei.” Jupiter mengetukkan pisau ke piring mentega untuk menarik perhatian Morrigan. Gadis itu mendongak. “Kau berhak masuk Society sama seperti mereka, Mog,” kata Jupiter, seolah membaca pikiran Morrigan. Sang Pengayom mencondongkan tubuh, kemudian memelankan suaranya hingga berbisik. “Lebih, malah. Jangan lupakan siapa yang menyelesaikan Ujian Unjuk Diri dengan nilai tertinggi di papan skor.” Jupiter terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Kaulah orangnya. Kalau-kalau kau lupa.”
Morrigan belum lupa. Namun, apa pentingnya posisi mereka di papan skor dulu? Apa pentingnya kejadian tahun lalu jika unitnya tidak memercayainya? Jika mereka takut kepadanya?
“Beri mereka waktu.” Lagi-lagi, Jupiter tampaknya tahu persis apa yang Morrigan pikirkan. Itulah keunggulan yang tidak adil bagi seorang Saksi—dia bisa melihat dunia dari sudut pandang yang tidak mungkin Morrigan pahami. Perasaan yang Morrigan sembunyikan dan kebenaran yang dia rahasiakan bisa Jupiter ketahui, sejelas air mukanya yang cemberut. Entah bagaimana, kemampuan Jupiter terasa menghibur sekaligus sangat mengesalkan. “Mereka nantinya pasti maklum. Mereka hanya perlu waktu untuk mengenalmu, cuma itu. Kemudian, mereka akan melihat Morrigan Crow yang menawan, seperti yang kukenal.”
Morrigan hendak menanyakan siapa si Morrigan Crow menawan itu dan apakah dia sudi bertukar tempat, ketika terdengar ketukan di pintu. Kedgeree Burns Tua yang lincah menyembulkan kepalanya yang berambut seputih salju ke dalam ruang kerja. “Pesan balasan untuk Anda, Pak. Dari Kelom—”
“Terima kasih, Kedge,” potong Jupiter, melompat berdiri untuk mengambil pesan tersebut. Kedgeree sang pramutamu mengedipkan mata kepada Morrigan, kemudian mengetukkan sol sepatu dengan penuh gaya dan meninggalkan ruangan sambil menutup pintu di belakangnya.