Napasku terasa sesak saat aku terbangun di dalam ruangan yang gelap. Tidak ada yang kulihat dan tiada yang bisa kurasakan. Ruangan ini sangat dingin dan berbau amis. Mengingatkanku pada aroma pasar jagal yang kukunjungi bersama ibuku saat kecil dulu.
Inikah bau darah dan daging mentah?
Tidak tepat ….
Ini lebih seperti bau darah dan daging mentah yang sudah lama membusuk.
Daging apa?
Baunya berbeda dengan daging sapi atau ayam.
Entah kenapa baunya mengingatkanku pada bau yang kucium saat aku mimisan.
Mungkinkah ini bau darah ….
Rasa ngeri dan takut membuatku menjerit minta tolong.
Satu kali.
Dua kali.
Saat ketiga kali ....
“Ssst ..., diam!” Bisik suara seorang anak perempuan yang terdengar samar. “Jika berisik, dia akan mengambil dan membawamu.”
“Siapa? Siapa yang akan membawaku?”
“Wewe gombel.”
“Wewe gombel itu tidak ada!” Suaraku terdengar kering dan serak saat menjawab. “Itu hanya kebohongan yang diucapkan ibuku agar tidak aku tidak nakal.”
“Kau salah, Naya.” Anak perempuan itu kembali berkata. “Wewe gombel itu nyata.”
“Wewe gombel itu tidak nyata!”
“Kalau begitu …, apa yang ada dibelakangmu?”
“Mana!?” Aku membalikkan tubuhku dan menggapai-gapai udara dengan liar. “Aku tidak bisa melihat apa-apa.”
“Tentu saja kau tidak bisa melihatnya, Naya.” Anak perempuan itu kembali berkata. “Kau telah kehilangan penglihatanmu.”
“Apa!?”
“Kedua bola matamu telah diambil, Naya. Wewe gombel itu mengambilnya agar kau tidak bisa melarikan diri.”
Dengan gerak perlahan aku menyentuh mataku atau lebih tepatnya, tempat di mana bola mataku berada sebelumnya.
“Mataku!” Aku menjerit sambil menangis. “Bola mataku sudah tidak ada! Siapa yang mengambilnya!?”
“Aku yang melakukannya ....” Ujar suara serak dengan nada rendah dari arah belakangku. "Aku mengambilnya agar kita selalu bersama ... Selamanya ....”
Kemudian dia tertawa. Melengking tinggi dan panjang. Terdengar sangat tidak wajar hingga tidak menyerupai suara tawa manusia.