Saat aku sampai di rumah Pak Suryanto, jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Beliau menempati sebuah rumah tua yang mungil di daerah Bendo, Banyumanik. Walau begitu, halaman Pak Suryanto terhitung sangat luas. Sayang, aku tidak mahir dalam memperkirakan luas tanah dan bangunan dari sekedar memandangnya saja.
Sambil menekan bel, aku memperhatikan halaman rumah Pak Suryanto secara lebih rinci. Sebuah mobil SUV hijau tua yang pernah populer dua puluh tahun yang lalu, terparkir di ubin batu sisi kiri halaman. Mobil tua itu terlihat sudah lama tidak dicuci dan digunakan. Sementara di kanannya, penuh oleh tanaman cabai dan tomat yang hampir ranum.
Tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk menunggu pintu di buka oleh penghuninya.
“Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk diwawancara.” Aku berkata saat berhadapan dengan Bapak Suryanto.
Tahun 2003 silam, beliau adalah orang yang memimpin penyelidikan dan penyidikan kasus Wuri. Tidak berlebihan bila kukatakan, beliau adalah yang paling paham atas kasus ini.
Pak Suryanto menyalamiku dengan sopan dan mengajakku mengobrol di halaman belakang dengan memutari halaman rumahnya yang luas. Sungguh mengejutkan, karena halaman belakang Pak Suryanto setidaknya dua kali lebih luas dari halaman depan.
Sayang rasanya halaman seluas itu dibiarkan begitu saja tanpa ditanami sesuatu. Rerumputan dan ilalang terlihat cukup tinggi untuk dicabut. Dekat pagar tanaman, ada tunggul pohon besar. Akar tunggul pohon itu menyembul dari tanah dan terkesan…
“Silahkan diminum kopinya, nak.” Suara istri Pak Suryanto yang membawakan secangkir kopi membuyarkan lamunanku. “Maaf hanya sekedarnya.”
“Terima kasih.” Aku menganggukkan kepala. Tersenyum pada wanita berumur lima puluh tahunan itu sebelum beliau berlalu.
Namun beliau tidak bergeming dari tempatnya. Seakan menunggu sesuatu yang aku belum tahu.
“Oh.” Aku mengangkat gelas kopi dan menyeruputnya sedikit.
“Bagaimana?’ Istri Pak Suryanto kembali bertanya. “Apa perlu tambah kopi atau gula.”
“Kopi ini sesuai selera saya.”
Mendengar itu, ekspresi senang terlihat pada wajah keriput istri Pak Suryanto. Nama beliau adalah Rahmi yang berarti penyayang.
“Sudah lama rasanya sejak terakhir kali Bapak di wawancara.” Tiba-tiba Pak Suryanto tertawa. Memamerkan sederet gigi agak kekuningan akibat kebanyakan kopi dan rokok. “Anda ini Nayaka, ‘kan?”
Aku mengalihkan pandanganku pada Pak Suryanto. Penampilan beliau sangat berbeda dari yang kuingat dulu. Dulu, Pak Suryanto adalah perwira polisi cekatan bertubuh tegap dan tampan. Rambutnya yang pendek terpotong rapih dan kulitnya kecokelatan terbakar sinar matahari. Kini beliau terlihat jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Perutnya yang buncit, pun terlihat tidak proporsional dengan bagian tubuhnya yang lain.
Mungkin faktor usia, pikirku dalam hati.
“Anda masih mengingat saya?”
“Tentu saja saya mengingat Anda.” Pak Suryanto mendesah. “Sulit bagi saya untuk melupakan kasus itu dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.”
“Itukah sebabnya anda langsung mengundurkan diri dari kepolisian.”
“Itu benar.”
“Tapi kenapa?”
“Penyebabnya?” Pak Suryanto terkekeh. “Andaikan Anda orang lain, saya pasti tidak akan mengatakannya. Penyebabnya sangat gila. Bila orang lain mengetahuinya ..., Huh, mereka pasti bilang saya tidak waras.”
“Apa Bapak bersedia memberitahu saya?”
“Anda menanyakan itu padaku?” Terheran Pak Suryanto memandangku. “Anda diculik. Dikurung oleh Ibu Wuri di dalam rumah berjendela lingkaran itu selama dua minggu dan Anda masih bertanya apa sebabnya pada Bapak?”
“Maaf. Sesungguhnya, saya tidak bisa mengingat kejadian itu.” Aku mengembuskan napas panjang. "Saya berharap, dengan yang saya kerjakan ini saya bisa kembali mengingatnya."
“Begitu …? Tapi ... apa ada guna mengingatnya?” Pak Suryanto menggelengkan kepala. “Ya, aku ingat sekarang. Kau pingsan dan mengalami amnesia saat menjadi saksi di pengadilan. Pengadilan itu dibuat tertutup untuk melindungi Anda.”
Aku tidak bisa berkomentar. Tanpa bicara aku menundukkan kepala dan memandang alat perekam digital yang ada di atas meja.
“Sebelum kita bicara lebih lanjut, apa boleh Bapak bertanya?” Pak Suryanto membuka toples berisi kacang kulit. Mengambilnya segenggam dan menawarkannya padaku.
Aku mengangguk sambil mengambil sebutir kacang, membuka dan memakan isinya.
“Apa Anda yakin bahwa yang Anda kerjakan ini adalah baik?” Pak Suryanto bertanya.
“Maksud Bapak?”
“Nak, Anda akan menemui dan mewawancarai pelaku penculikan dan pembunuhan di mana Anda nyaris menjadi korbannya.” Pak Suryanto mendesah. “Semua orang pasti menganggap hal yang akan anda lakukan ini gila. Katakan pada Bapak, apa pekerjaanmu hingga saat ini lancar?”
Aku hanya bisa diam.
“Nak, Bapak hanya orang tua yang sudah tidak bekerja.” Pak Suryanto kembali berkata. “Bicaralah pada Bapak seperti saat kau kecil dulu. Bapak tidak akan mengatakannya pada siapa pun.”
Suara beratnya yang kebapakan, membuatku merasa tenang dan terlindung. Mungkin inilah yang sudah lama hilang dalam hidupku. Figur seorang bapak.
“Jujur saja tidak.”Aku mengambil cangkir kopi dan meminumnya. “Dari sekian banyak keluarga para korban hanya satu yang bersedia kuwawancara. Saat aku menemuinya, beliau juga tidak ….”
Entah kenapa, aku tidak bisa menyelesaikan kalimat itu.
“Apa beliau menyalahkanmu?” Pak Suryanto kembali bertanya. “Pasti karena kau satu-satunya korban selamat. Iyakan.”
Aku mengangguk.
“Apa beliau adalah Bu Sumiarsih, ibu dari Kinanti?” Tanpa ragu Pak Suryanto berkata.
“Dari mana Bapak tahu?” Aku berkata setelah mengangkat kepala.
“Sejak dulu Bu Sumiarsih sudah menyalahkanmu. Beliau bahkan berteriak-teriak dan menerormu dengan mengatakan dan bertanya, apa yang membuatmu berbeda dari anak-anak yang lain.”
Tidak ada reaksi yang bisa kuungkapkan. Maka, aku hanya diam..
“Sesungguhnya, berat hati Bapak mengatakannya. Tapi Anda sudah dewasa dan mungkin saja hal ini membantu pekerjaan Anda. Jadi saya akan menceritakannya.” Pak Suryanto membersihkan tenggorokan sebelum melanjutkan ucapannya. “Menurut pengakuan Ibu Wuri, Anda tidak melarikan diri. Anda memang sengaja dilepaskan.”