Menjelang pukul dua belas aku mohon permisi pada Pak Suryanto dan istrinya untuk kembali bertugas.
“Jangan pergi dulu.” Cegah Pak Suryanto setengah memaksa. “Makan sianglah di sini. Sudah lama Bapak tidak menerima tamu.”
“Andaikan saya bisa.” Tolakku dengan sopan. “Sayang sekali saya ada janji dengan Ibu Siska jam satu di kantornya.”
“Ibu Siska?" Pak Suryanto berpikir sejenak. "Maksud Anda Ibu Siska Soenarko?”
“Ya, benar sekali.”
“Beliau psikiater yang dulu memeriksa kondisi kejiwaan Wuri, iyakan?”
“Benar, Pak.”
“Kalau begitu berhati-hatilah.” Ujar beliau. Ada nada cemas di balik ucapannya. “Pertimbangkanlah nasehat Bapak. Belum terlambat bagimu untuk pulang ke Jakarta dan melupakan semuanya.”
Ingin rasanya aku menjawab, ketidak jelasan soal karier dan hidup mapan lebih menakutkan dari setan mana pun. Tapi, aku memilih untuk diam dan mengangguk sopan. Keduanya pun mengantar kepergianku dengan hangat.
Kehangatan penduduknya. Ya. Itulah yang kusuka dari kota kelahiranku ini.
Semarang adalah kota besar. Bahkan menduduki lima besar kota metropolitan di Indonesia. Kota yang mendapat julukan Venetie van Java ini berpenduduk hampir 1,4 juta jiwa. Sedang luas kotanya 373,67 kilometer persegi. Banyaknya pembangunan adalah salah satu faktor yang membuat kota ini semakin macet saja.
Itulah sebabnya aku memilih motor matic sewaan sebagai transportasi. Biaya sewanya tidak mahal. Hanya 80 ribu sehari. Kalau menyewa lebih dari satu hari, maka biaya sewa di hari kedua dan seterusnya adalah 70 ribu perhari.
Aku pun mengarahkan motorku ke kantor sekaligus tempat praktek Ibu Siska Soenarko Sp.KJ, yang berada di Pekunden Semarang Tengah. Saat ini jalan macet walau pun tidak semacet Jakarta. Untung saja langit sedikit berawan. Aku tidak mau energiku langsung terkuras di jalan gara-gara macet dan cuaca panas yang tidak bersahabat.
Pukul setengah satu, aku sudah sampai di rumah sakit tempat Ibu Siska ngantor. Gedung itu terlihat masih baru dan setinggi dua belas lantai. Cukup mewah.
Kira-kira mereka menerima BPJS tidak ya, gurauku dalam hati.
Karena masih jam makan siang, aku memutuskan untuk mencari rumah makan. Tidak ada gunanya langsung ke kantornya kalau orang yang dicari tengah makan di luar. Iyakan?
Aku pun mampir ke sebuah Restoran Padang yang terletak di seberang Rumah sakit. Tanpa pikir panjang, aku langsung pesan nasi rames dengan rendang dan segelas es teh manis. Hidangan yang kusantap ini cukup enak walau pun porsinya terhitung sedikit untuk restoran padang.
Menjelang pukul satu siang, aku kembali ke rumah sakit dan langsung berjalan menuju front desk.
“Permisi, Mbak.” Ujarku pada seorang wanita muda yang berada di front desk. “Nama saya Nayaka dan saya ada janji dengan Ibu Siska Soenarko.”