Matahari baru saja terbenam. Aku memandang ke arah horison, duduk di atas trotoar. Beristirahat sejenak dari kepenatan. Hari ini adalah hari yang melelahkan bagiku. Begitu banyak terjadi. Namun begitu sedikit yang kudapat.
Astaga ….
Apa yang kupikirkan? Seseorang baru saja tewas di hadapanku dan aku malah mengeluh soal wawancara yang gagal.
Apa aku telah berubah menjadi orang yang egois dan jahat?
Aku menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiranku yang melantur.
Sambil mengambil kamera digital dari dalam ransel, aku berlari kecil ke seberang jalan dan mengarahkan lensa kamera ke Tugu Muda yang terlihat bersinar diterpa matahari senja.
Tugu Muda adalah sebuah monumen untuk mengenang keberanian para pahlawan yang gugur dalam pertempuran lima hari melawan tentara Jepang di Semarang. Bentuknya yang seperti lilin melambangkan semangat para pahlawan yang tidak akan padam.
Banyak foto yang kuambil. Namun, tidak ada satu pun yang memuaskan batinku. Dengan kata lain, semua foto yang kuambil kualitasnya jelek. Aku memang bukan fotografer. Aku pun tidak pernah sungguh-sungguh belajar untuk menguasainya.
Aku pun kembali menyimpan kameraku ke dalam ransel dan mengambil ponsel untuk menelepon Frida. Frida langsung mengangkatnya pada dering pertama.
“Naya,” suara Frida yang lembut terdengar. “bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja.” Ujarku tidak sabar. “Apa bisa aku minta tolong?”
“Tentu saja.”
“Apa bisa malam ini kau ke apartemenku?”
“Bisa. Tapi kenapa?”
“Ada yang mengirim paket ke sana. Seharusnya tiba sore ini.” Aku menjelaskan. “Setelah kau mendapatkannya, apa bisa kau mengirimnya dengan kilat khusus ke alamat hotel tempatku menginap?”
“Oke, di mana alamatnya.”
“Aku akan menulis alamatnya di pesan singkat. Sampai nanti dan ….”
“Tunggu ...!” Frida mencegahku memutuskan telepon. “Aku ingin ngobrol sebentar.”
“Nanti saja, perasaanku sedang tidak enak. Aku tidak ingin sampai terbawa saat bicara denganmu.”
“Apa yang terjadi?”
“Tadi …,” aku ragu menceritakan hal semengerikan itu pada Frida. “bukan apa-apa. Hanya saja, besok aku sudah mulai mewawancarai perempuan itu.”
“Maksudmu Wuri?”
“Begitulah.”
“Apa kau ingin aku menemanimu? Aku bisa berangkat malam ini.”
“Terima kasih,” terkadang aku bertanya-tanya, apa yang membuat Frida begitu menyayangiku. “tapi aku terpaksa menolaknya. Aku tidak mau perhatianku sampai terbagi.”
“Maksudmu?”
“Aku datang ke Semarang untuk menulis buku dan artikel tentang Wuri. Tapi bagaimana aku bisa menjalankan tugasku dengan baik kalau aku lebih suka memikirkan kamu dari pada dia.”
“Kau hanya menggodaku.”
Aku tertawa sendiri, saat membayangkan wajah Frida merona merah karena malu.
“Aku tidak menggodamu.” Ujarku sambil menahan tawa yang berontak ingin keluar.
“Jangan konyol, aku yakin saat ini kau sedang menahan tawa.”
Seketika itu juga tawaku pecah. Entah kenapa aku tertawa segeli itu. Mungkin karena aku membutuhkannya untuk merenggangkan otot dan urat syarafku yang menegang.
“Sudah mendingan, Naya?” Tanya Frida dengan prihatin. “Saat ini perasaanmu sedang tidak enak, ‘kan?”
Hm,” aku mengiyakan. “Terima kasih.”
“Belum terlambat bagimu untuk ….”