Aku menunggu dengan gelisah di dalam sebuah ruangan sempit. Tidak ada apa-apa di dalam ruangan ini, selain sebuah meja dan dua kursi. Aku tengah menunggu kedatangan seseorang yang istimewa.
Orang itu adalah Wuri. Perempuan yang menculik 13 orang di kota Semarang dan membunuh dua belas di antaranya. Aku adalah satu-satunya korban selamat. Sekarang, tujuh belas tahun kemudian, atas alasan karier dan uang, aku memutuskan untuk mewawancarainya.
Hanya beberapa menit yang lalu, Ibu Suryani, penjaga lapas memperingatkanku agar tidak memancing amarah Wuri. Beliau juga memintaku untuk berteriak minta tolong kalau merasa terancam olehnya. Wuri adalah perempuan yang mengerikan. Dia bahkan sering menyerang dan menyederai penjaga lapas atau narapidana lainnya.
Selama ini pula, Wuri hampir tidak pernah bicara dan tidak ada satu orang pun yang ingin berbicara atau menegurnya. Mereka semua takut pada perempuan itu. Bahkan, selama ini Wuri mendiami ruangan khusus yang terkunci rapat. Tidak ada yang tahan berbagi sel dengannya. Semua narapidana yang pernah berbagi sel selalu mengatakan, Wuri tidak pernah sendirian. Selalu ada sesuatu yang bersamanya. Sesuatu itu memiliki rupa yang mengerikan dan ….
“Mas Nayaka.”
Panggilan Ibu Suryani menyadarkanku dari lamunan.
Napasku tertahan. Terasa sesak. Mataku terarah pada seseorang yang datang bersama Ibu Suryani. Dia adalah Wuri. Wajahnya masih terlihat seperti dulu. Cantik, namun juga menakutkan. Garis-garis penuaan telah menghiasi wajahnya yang berkulit pucat. Rambut panjang lurusnya yang semula pirang pucat, kini telah memutih seluruhnya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Usia Wuri sekitar akhir tiga puluhan. Bukankah ia terlalu muda untuk beruban? Apa mungkin tinggal di dalam penjara memang berpengaruh padanya.
Saat sadar dari pikiranku sendiri, aku terhenyak. Mata Wuri yang nyalang menatapku dengan liar. Seketika itu juga aku merasa kecil. Aku sadar. Aku tidak akan tahan berada di ruangan ini bersamanya. Aku telah salah. Ternyata aku belum siap mewawancarainya. Aku menyesal memutuskan untuk bertemu dengannya. Aku merasakan perasaan tidak enak bergolak di dalam dadaku yang terasa kian penuh dan sesak.
Kenapa?
Aku bahkan tidak mampu mengingat apa yang terjadi di dalam rumah berjendela lingkaran itu. Tapi, kenapa aku merasa takut dengannya. Seakan ….
“Mas Nayaka,” Suara Ibu Suryani kembali menyadarkanku. “Bila sudah selesai atau ada sebab lain, tolong bunyikan lonceng ini. Maka, saya dan rekan-rekan saya akan langsung masuk ke dalam.”
Ibu Suryani meletakkan sebuah lonceng kecil di atas meja, tepat di hadapanku. Lonceng itu terlihat masih baru. Warna emasnya terlihat berkilauan di terpa cahaya matahari yang masuk melalui jendela tanpa tirai.
Menyilaukan mata.
“Ibu Wuri, tolong jaga sikap Anda.” Ibu Suryani mengingatkan. “Kalau sampai Anda menyakiti Mas Nayaka, maka kami tidak akan segan untuk ….”
Ibu Suryani tidak sempat menyelesaikan ucapannya. Wuri tertawa. Melengking tinggi. Tidak wajar. Seperti tawa hantu atau setan yang sering kita dengar di film Indonesia tahun tujuh puluhan.
“Aku? Menyakiti Nayaka?” Suara Wuri terdengar parau dan serak. Aneh rasanya mendengar suara berat dan sekasar itu keluar dari mulut manis dan mungil perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dan menarik. “Kalau aku ingin menyakitinya, aku sudah membunuhnya sejak tujuh belas yang lalu.”
“Apa itu ancaman?” Ibu Suryani berkata dengan nada tegas dan di tekan. “Anda sadar konsekuensi dari ucapan Anda, ‘kan?”
“Terserah Anda mau berpikir apa.” Wuri mengalihkan pandangannya. Menatapku tajam sambil menyeringai. “Apa pun yang terjadi, usiaku tinggal sebentar lagi. Aku bersikap baik dengannya atau membunuhnya, tidak akan mengubah keadaan. Iyakan?”
Mendengar itu, Ibu Suryani menatap mataku. Seakan memberi peringatan agar berhati-hati. Aku mengangguk dan menunggu Ibu Suryani dari keluar ruangan mungil ini.
Setelah pintu tertutup. Aku sadar, aku telah sendirian.
Sambil membasahi bibirku yang kering, aku menyalakan perekam digital dan mengeluarkan buku catatan dan sebuah bolpen. Kemudian aku menatap Wuri yang ternyata tengah menatapku dengan penuh minat.
Aku mengalihkan pandangan ke arah buku catatanku yang berantakan. Memejamkan mata. Berusaha mengendalikan detak jantung. Kemudian aku membuka mulut untuk mulai wawancara.
“S-selamat s-s-siang ….” Suaraku yang tercekik terdengar gemetaran. “A-aku …, hm.…, eh ….”
“Nayaka ….” Wuri memanggilku dengan suara mendesis yang lembut. “Tenang saja, Nak. Aku tidak akan menyakitimu. Malah, aku membutuhkanmu untuk menulis kisahku.”
“Kenapa?”
“Tidak bisakah kau menduganya? Aku ingin diingat. Tidak terlupakan oleh zaman.”
“Tapi kenapa?”
“Karena dengan diingat, aku akan jadi abadi. Bila bukumu terbit, Aku akan hidup di dalam ingatan banyak orang yang membacanya. Bukankah alasanku itu terdengar manusiawi.”
Manusiawi? Aneh ... Peletakkan kata itu sangat aneh di dalam kalimatnya. Kenapa aku merasa ucapannya tidak terdengar tulus.
“Jadi itukah alasannya?” Tanyaku.