Aku melangkah masuk ke dalam rumah itu dan menyorot senter ke segala arah. Kondisi dalam rumah itu seakan tidak berubah. Perabotnya masih utuh dan tidak ada tanda-tanda kejahilan atau vandalisme di dalamnya.
Aneh ….
Rumah kosong biasanya memancing pengemis atau pencuri.
Jadi kenapa?
Kenapa tidak ada yang ingin mendekati rumah ini?
Kenapa tidak ada tunawisma yang datang berteduh atau berandalan mencuri perabotan untuk menjualnya ke tukang loak.
“Tentu saja mereka tidak mau mendekati rumah ini.” Gumamku seraya berjalan melewati ruang tamu yang berlapis karpet tebal yang berdebu. “Mereka percaya rumah ini dihuni oleh wewe gombel dan ….”
Tiba-tiba aku merasa hawa dingin meniup tengkukku.
Aku merinding.
Setengah ketakutan aku membalikkan tubuhku dan menyorotkan cahaya senter ke segala arah dengan liar.
Tidak ada siapa-siapa.
Apa hanya perasaanku saja?
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Diikuti suara tawa tertahan seorang anak perempuan.
Tidak ….
Ada lebih dari satu tawa. Bahkan lebih dari dua atau tiga.
Anak perempuan itu tidak sendirian.
Maka, aku berlari kecil menuju tangga yang berada di sisi kiri ruangan tempatku berada. Kalau memang ada sekumpulan anak-anak kecil yang bermain di dalam rumah mengerikan ini, aku harus menangkapnya. Aku harus mewawancarainya. Aku ingin tahu apa yang mereka rasakan atau mereka liha selama ada di rumah ini.
Aaah …, omong kosong.
Aku tidak peduli pada wawancara. Aku ingin menemukan mereka, karena aku tidak ingin sendirian di dalam rumah ini. Akan berbeda rasanya, kalau ada yang menemaniku di tempat mengerikan ini. Tetapi ….
Saat menapakkan kakiku di lantai dua, aku ragu untuk melangkah maju.
Lantai dua hanya ada lorong yang dihuni oleh banyak pintu. Desainnya sama sekali tidak menyerupai rumah tinggal. Lebih seperti hotel atau asrama.
Mungkin memang dulu rumah ini berfungsi sebagai asrama. Tapi asrama apa? Aku harus mencari tahu. Nanti di tengah kota. Saat aku sudah jauh dari rumah ini.
Sejak aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam, aku merasa ada sesuatu. Aku takut. Bahkan bulu tanganku sampai berdiri.
Sementara itu, suara tawa kembali terdengar dari dalam koridor. Suara itu bergema dan terdengar jauh. Mereka seakan berada di sudut lorong yang tidak terpapar cahaya.
Apa aku benar-benar mendengarnya?
Kalau pun aku mendengarnya, apakah pembuat suara itu manusia. Jangan-jangan...
Aku tidak sempat berpikir. Suara tawa geli kembali terdengar. Terkesan mereka tengah bercanda atau melakukan permainan yang sangat mengasyikkan.
Manusia atau hantu, mereka bisa menjadi bahan tulisan yang menarik. Aku menelan ludah dan kembali berjalan maju. Koridor yang kulewati cukup sempit. Ukurannya hanya sekitar semeter. Tidak ada yang bisa kulihat atau kukomentari, selain pintu demi pintu. Aku mencoba membuka beberapa, namun, semuanya terkunci.
Semoga saja kuncinya bisa kutemukan nanti, aku berharap dalam hati.
Aku beralih dari pintu dan kembali melangkah maju. Berharap menemukan sesuatu di ujung koridor sana. Namun, langkahku terhenti oleh sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Secara samar aku bisa mendengar suara tawa tertahan, seperti mulut yang ditutup oleh dua buah tangan kecil yang takut ketahuan.
Kena sekarang …!
Aku tertawa sendiri dan memutuskan untuk mengejutkan mereka. Dengan sengaja aku membuat suara berisik dan membentangkan pintu lebar-lebar.
Dan ….
Aku melihat sebuah kamar tidur. Ukurannya sekitar empat kali tiga meter. Cukup luas. Sayang hanya diisi oleh sebuah tempat tidur mungil, meja belajar dan kursi.
Hanya itu yang kulihat.
Kalau begitu…
“Suara tawa siapa yang sejak tadi kudengar…”
Kemudian pandangan tertuju pada jendela besar tanpa tirai yang kotor. Jendela itu berbentuk lingkaran, yang mengingatkanku pada sebuah mata dan mata itu seakan menatapku tajam. Menusuk, hingga ke sanubari terdalam.
Kemudian telingaku berdengung, seiring dengan rasa sakit dan nyeri yang tak tertahankan di kepala. Aku ingat. Aku pernah dikurung di kamar ini. Tidak ada apa-apa di sini selain sebuah kotak plastik berisi pasir sebagai wadah untuk buang hajat.
Sial!
Buang hajat di kotak pasir!? Apa dikiranya aku ini kucing!?
Ya, aku mulai ingat. Dulu di kamar ini, aku nyaris tidak pernah tidur di malam hari. Aku memilih tidur saat siang. Malam hari begitu menyeramkan. Aku bisa mendengar sesuatu di balik pintu yang terkunci dari luar. Aku bisa mendengar jeritan anak anak dan bahkan suara itu. Suara yang menyerupai goresan kuku tajam dan ketukan dari luar pintu. Terkadang aku bisa melihat si pembuat suara dan ….
Aaaahhh …!
Aku sudah tidak tahan. Syarafku tidak kuat lagi.Saat ini, aku benar-benar ketakutan.
Tanpa pikir dua kali, aku membalikkan tubuhku dan berlari keluar. Tersandung oleh sesuatu dan menabrak entah apa yang menghalangi lariku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Setelah meloncati tiga-empat anak tangga sekaligus, aku tersenyum lega. Aku melihat pintu masuk yang terbuka. Di luar sana, matahari sore masih bersinar.
Sedikit lagi ….
Sedikit lagi aku akan aman ….
Dan ....
“Aaadduuhhh …!”
Aku menabrak seseorang hingga jatuh telentang di lantai yang kotor dan berdebu. Kepalaku terasa nyeri. Sakit karena membentur lantai keramik. Sementara itu, aku juga mendengar suara perempuan yang mengerang kesakitan.
Rupanya kami saling bertabrakan, pikirku.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain tetap terbaring di tempatku. Berdoa, agar rasa sakit di kepalaku ini menghilang atau setidaknya membaik.
“Hei, kau tidak apa-apa …?”
Terlihat siluet wajah yang hitam di pandanganku yang samar. Dari bentuk wajahnya yang halus dan oval, dia terlihat seperti perempuan muda dan cantik. Rambutnya yang lurus terurai sepanjang bahu.
Perempuan itu menepuk pipiku.
“Hai, jawab aku ….” Suara perempuan itu kembali terdengar.
Suara itu terdengar cemas dan juga lembut. Berdasarkan nada suaranya, aku mendapat kesan, perempuan ini adalah orang yang baik.
Tapi…, aksennya terdengar aneh.
Apa dia bukan orang Indonesia?