Hampir saja aku menjerit. Di luar kamar, terlihat dua belas anak perempuan berbaris menghadap masing-masing ke-12 pintu kamar. Satu anak satu pintu. Mereka tidak melakukan apa-apa, selain diam mematung. Tidak bereaksi dan seakan tidak menyadari atau memedulikan keberadaan kami di dalam kamar yang ketiga belas.
Yang mengerikan adalah, anak-anak itu kaku. Tanpa ekspresi. Mereka semua mengenakan daster putih kotor sepanjang lutut. Wajah dan tubuh mereka kotor dan menyebarkan bau yang tidak enak.
Aku pun bertanya-tanya, siapa anak-anak ini sebenarnya? Mereka berbeda dari anak-anak yang dulu diculik bersamaku. Apakah mereka ....
“Apa menurutmu mereka manusia?” Bisikan Marcia ketakutan membuyarkan lamunanku. “Kenapa kau diam saja? Jangan katakan kau sudah terbiasa melihat hal-hal semacam ini.”
Kata dan ucapan yang bodoh.
Aku hanya memandang Marcia tanpa mengatakan apa-apa. Jujur saja, aku bingung komentar apa.
“Lebih baik kita cepat keluar dari sini.” Tukasku sambil menggenggam tangan gadis bule itu. “Ayo.”
“Kemana?” Marcia membalas genggaman tanganku. Tidak peduli pada telapak tanganku yang berkeringat dingin.
“Tentu saja keluar dari rumah ini.” Tukasku tidak sabar.
“Tapi, bagaimana dengan mereka?” Marcia bertanya ketakutan.
“Sepertinya mereka tidak memedulikan keberadaan kita.” Aku menelan ludah. “Setidaknya saat ini.”
“Dari mana kau tahu?” Tukas Marcia tajam.
“Tidak percaya?” Aku menyorot senterku tepat ke wajah mereka dan menggoyang-goyangkan sorot cahayanya. “Lihat, mereka sama sekali tidak bereaksi.”
Marcia memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas.
“Kau yakin mereka tidak akan menyergap kita?” Tanyanya tidak yakin.
“Aku tidak tahu, tapi posisi kita saat ini terpojok.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan ucapanku. “Tapi aku tidak mau masih berada di sini saat anak-anak itu menyadari keberadaan kita atau yang lebih parah lagi, saat pintu-pintu kamar itu terbuka.”
Mendengar penjelasanku, wajah Marcia yang sudah pucat kian memutih. gadis itu mengangguk dan langsung memegang ranselku dengan erat. Seketika itu aku merasa ada beban berat di belakang tubuhku dan tercekik karenanya.
“Kau siap?” Tanyaku berbisik.
“Tidak tahu.”
Aku menelan ludah sebelum memimpin jalan. Setapak demi setapak. Sesekali berhenti melangkah untuk melihat reaksi anak-anak menakutkan yang kami lewati di sepanjang koridor sempit yang panjang ini.
Kemudian, saat kami tepat berada di tengah …, secara serempak, anak-anak itu mengangkat tangan dan mengetuk pintu dengan keras. Suara ketukannya bergema keras di sepanjang koridor yang sunyi. mencekam
Saat itu, jantungku terasa copot. Darahku seakan di kuras habis dari dalam tubuhku secara paksa.
Apa memang suara ketukan pintu semengerikan itu?
Sial! Sial! Sial!
Aku menengok ke arah Marcia. Gadis itu terlihat mengenaskan sehingga seperti mau pingsan.
Belum sempat kami pulih, anak-anak itu membuka mulut mereka dan berkata nyaris serempak.
“Bu, tolong buka pintu. Kami sudah pulang.”
Suara itu terdengar keras, namun juga lembut. Seakan tidak nyata. Seperti terbawa semilir angin kala malam mulai berganti dengan fajar.
Aku dan Marcia saling berpandangan. Menahan napas dan kembali berjalan. kami tidak mau sampai melihat sosok ibu apa yang ada di balik pintu itu.
Kami hampir sampai di ujung koridor. Hanya tinggal melewati sepasang anak lagi.Tapi energi dan mentalku sudah sampai dibatasnya. Kakiku tidak mapu bergerak lagi. Terpaku pada lantai. Aku harus keluar. Aku sudah tidak tahan. Aku…
Krekek ….
Kedua belas pintu itu terbuka. Aku dan Marcia semakin tidak berdaya. Hanya mampu berdiri. Diam. Mematung. Jantung kami berdebar keras. Memompa darah deras hingga menimbulkan suara bergemuruh di telinga.
Kemudian kami melihatnya ….
Dari dari dalam tiap kamar, secara serempak, keluar sebuah tangan kurus dengan jemari panjang dan melengkung bagai batang pohon mati. Jemari tangan itu mencengkeram bahu si anak dan menggiringnya agar masuk ke dalam kamar yang gelap.
Tidak ….
Kamar itu tidak sepenuhnya gelap. Terlihat sepasang mata yang berpendar kemerahan.