“Frida, tunggu. Frida.” Aku pegang lengan Frida. Menahannya. “Kau kenapa, sih?”
“Kenapa kau masih bertanya!?” Frida menggebuk dadaku. Air matanya mengalir deras. “Kenapa kau selalu tidak peka!? Apa yang bule itu lakukan di dalam kamarmu?”
“Tolong dengarkan aku dulu.” Aku menahan tangan Frida. “Kami hanya berdiskusi.”
“Diskusi apa!? Kenapa harus di dalam kamar?”
“Maafkan aku.” Aku berusaha menjelaskan. “Hal itu terjadi begitu saja dan …, hei, bagaimana kalau kau ikut saja.”
“Ikut apa?” Frida tampak bingung.
“Diskusi dengan kami.” Dengan antuasias aku mengajaknya kembali ke kamar. “Kau tidak akan percaya data apa saja yang sudah berhasil kami kumpulkan.”
“Hei, kenapa kau setenang itu.” Frida melepaskan pegangan tanganku dengan paksa. “Aku sedang marah karena di belakangku, kau berduaan dengan perempuan lain di kamar hotel!”
“Kau tidak tahu siapa dia, Frida.” Ujarku seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Andaikan kau tahu dia siapa, maka kau akan yakin aku tidak akan mau membina hubungan dengannya.”
“Siapa dia?”
“Namanya Marcia van den Berg.” Jawabku sambil menatap Frida dalam-dalam. “Dia adalah putri kandung Wuri.”
Frida menatapku dengan pandangan tidak percaya. Bibirnya terbuka. Bergerak-gerak selama beberapa saat sebelum bersuara. “Apa kau yakin?”
“Wajahnya sangat mirip dengan Wuri. Tidak salah lagi, Marcia memang putri kandungnya.” Aku kembali memegang tangan Frida. “Apa aku sudah meyakinkanmu?”
Aku meremas tangannya. Menunggu jawaban.
Frida terdiam. Menatapku selama beberapa saat. Sebelum akhirnya mendesah dan menganggukkan kepala.
“Ya, aku percaya.” Ujarnya sambil tersenyum kecil.
“Yuk.” Aku mengajaknya kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Marcia yang sejak tadi sudah gelisah semakin canggung.
“Maaf,” Ujarnya menyesal. “Aku sama sekali tidak ….”
“Tidak apa-apa.” Potong Frida sambil tersenyum. “Aku yang salah karena sudah ambil kesimpulan sebelum bertanya.”
“Kau tidak salah. Malahan ….”
“Teman-teman,” panggilku. “Sudah tidak perlu di bahas lagi. Lebih baik kita lanjutkan diskusi.”
“Diskusi apa?” Keluh Marcia seraya menunjukkan isi buku harian. “Aku sudah mengatakan kalau aku pusing membacanya.”
“Kata siapa kita akan membahas isi buku harian itu malam ini.” Aku menggoyangkan paket yang di bawa Frida. “Kita akan periksa isi paket yang dikirim Ibu Siska Soenarko sebelum bunuh diri.”
Mendengar itu kedua perempuan yang berdiri di hadapanku langsung pucat pasi.
“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?” Tukas Frida.
“Apa kau yakin kita boleh menyimpannya?” Marcia tidak kalah gusar. “Bagaimana kalau kita terlibat masalah dengan polisi gara-gara paket itu?”
“Apa yang menyebabkannya bunuh diri?” Tambah Frida. “Kenapa kau bisa tahu sebab kematiannya? Apa dia mengaku padamu?”