Saat kaset di putar, terdengar bunyi mendesis dan statis. Lama tidak terdengar suara, hingga aku terpaksa menaikkan volume sampai maksimal dan mendekatkan player ke telinga.
“Ibu Wuri, sesi satu. Enam belas Mei 2004.”
Suara Ibu Siska yang tiba-tiba terdengar mengejutkanku. Refleks aku menjatuhkan pemutar kaset yang terus berputar itu. Aneh rasanya, mendengar suara orang yang sudah meninggal kala tengah malam. Aku meraba belakang leherku yang merinding.
“Bagaimana kabar, Ibu Wuri?” Suara Ibu Siska dalam rekaman bertanya. “Apa tidur Anda nyenyak?”
“Aku baik-baik saja.” Suara parau Wuri yang kali ini terdengar. Dia menjawab pertanyaan dengan suara datar. Aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin Wuri bisa berbicara lancar dengan suara kering seperti itu. Aku pasti sudah batuk-batuk. “Tidurku nyenyak. Semua atas obat yang Ibu berikan untuk saya.”
“Senang resep saya bisa membantu. Sekarang saya ….”
“Ibu, apa boleh saya bicara? Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.”
“Silakan.”
“Apa boleh, lampu kamar saya tetap menyala setelah jam sepuluh malam?”
“Tetap menyala? Memangnya ada apa?”
“Saya hanya ingin tidur dengan tenang.”
“Anda sulit tidur saat lampu dimatikan?”
“Benar sekali.”
“Apa Anda takut gelap?”
Suasana hening sesaat. Dengan jantung berdebar, aku tetap menunggu dan menunggu.
“Ibu Wuri?” Aku merasakan nada ketakutan pada suara Ibu Siska yang datar. “Kenapa Anda memandang saya seperti itu? Ibu Wuri? Ibu Wuri!?”
Yang terdengar selanjutnya membuatku merinding. Wuri tertawa. Suaranya melengking tinggi dan sulit kugambarkan. Suara tawa itu mengingatkanku pada ….
“Maaf ….” Ibu Wuri berusaha mengendalikan dirinya. Suaranya langsung kembali datar dan hambar seperti sebelumnya. “Komentar Ibu membuat saya ingin tertawa.”
“Kenapa?”
“Karena Anda mengira saya takut gelap.” Wuri seperti berusaha keras menahan diri agar tidak kembali tertawa.
“Jadi Anda tidak takut? Lalu kenapa Anda sulit tidur?”
"Karena lampunya dimatikan."
"Ibu Wuri tidak takut gelap, namun sulit tidur kala lampu dimatikan. Kenapa? Saya tidak mengerti? Tolong jelaskan."
“Untuk apa aaya takut pada sesuatu dimana aku telah menjadi bagian darinya. Ibu pasti tidak akan bisa membayangkan, tempat macam apa aku dibesarkan. Sebuah tempat kecil, kotor dan tidak wajar. Aku di besarkan oleh sesuatu yang bagi kalian adalah suatu kebohongan. Hanya cerita. Kalian mengira itu tidak ada, karena kalian tinggal dikenyamanan rumah kalian yang bagus dan terang benderang. Tapi Anda salah. Di mana ada terang dan di mana anda cahaya, pasti ada bayang-bayang. Bahkan di sebuah rumah megah seindah apa pun pasti ada sudut atau sisi yang tidak pernah dijamah. Tahun demi tahun sisi rumah itu terbengkalai. Tanpa kalian sadari, sisi rumah itu menjadi tempat tinggal oleh sesuatu yang lain. Dia hidup bersama kalian. Menemani kalian. Bahkan terkadang mengancam jiwa kalian. Tapi kalian tidak bisa melihatnya. Itu semua hanya sekedar cerita bagi kalian. Sungguh bodoh. Tidak seharusnya Anda membiarkannya bersemayam di sekitar rumah. Cepat atau lambat kalian akan mati, karena kalian tidak waspada.”
“Aku tidak mengerti satu pun dari isi ucapan Anda. Apa Anda mengancam saya?”
“Saya tidak mengancam. Saya memperingati kalian. Mengurungku di tempat ini adalah kesalahan. Memasukkanku ke dalam kamar tertutup dan mematikan lampunya adalah kebodohan. Mereka ada di sekitarku, Ibu psikiater. Berada di dekatku hanya akan membuat mereka semakin kuat. Cepat atau lambat mereka tidak hanya akan diam di dekatku. Mereka akan pergi dariku. Menjelajah keluar. Mencari orang yang menarik bagi mereka untuk diikuti dan saat kalian menyadarinya, itu sudah terlambat. Sungguh kalian manusia memang…”
Kemudian kembali hening.
“Ibu Wuri?” Ibu Siska bertanya. “Kenapa Anda diam? Apa ada yang ….”
“Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar.”