Siang itu, pukul dua tepat, aku menunggu dengan gelisah di sebuah ruang khusus, tempatku mewawancarai Wuri. Kejadian semalam masih belum lepas dari ingatan. Belum pernah para mahluk itu bersikap seagresif itu padaku. Kinanti bahkan bisa menyentuh lenganku. Aku bisa merasakan darah kental yang melumuri tubuhnya yang penuh bekas luka mengerikan. Dengan kata lain, aku yakin para mahluk halus itu bisa menyakitiku. Mencekik, memukul atau bahkan membunuhku.
Kemarin malam, saat Frida dan Marcia masuk ke dalam kamarku, mereka terlihat syok. Kondisi kamarku sangat berantakan dan aku sendiri terlihat ketakutan. Akhirnya, malam itu mereka memaksaku untuk tidur di kamar mereka.
Aku sangat bersyukur karenanya.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar pintu dibuka. Dengan wajah hambar, Wuri masuk ditemani penjaga. Penjaga itu kembali memberiku sebuah bel yang kalau dibunyikan menjadi tanda kalau aku sudah selesai atau merasa dalam bahaya.
Wuri duduk di hadapanku. Di balik meja yang lebarnya nyaris satu setengah meter. Menatapku dengan posisi kepala dimiringkan. Begitu tajam hingga membuatku enggan untuk menatap balik. Bibirnya yang tipis selalu tersenyum. Seakan menertawakan sikapku yang takut padanya.
Aku menarik napas panjang dan menyalakan perekam digital. “Baiklah, mari kita ….”
“Apa kau sudah pergi ke rumah itu?" Wuri langsung memotong ucapanku.
“Tentu saja sudah.” Jawabku dongkol karena Wuri berusaha mengendalikan keadaan. Memaksakan dirinya menjadi lebih dominan. "Aku menyesal menuruti ucapanmu pergi ke sana."
“Apa yang kau temukan di dalam?” Wuri bertanya penuh minat. Dagunya di pangku di atas jemarinya yang terlipat. Ucapan selanjutnya bernada mengejek.“Kau berdiam diri di sana hingga gelap, 'kan? Apa ada yang menarik minatmu."
“Aku menemukan sesuatu yang tidak mau aku lihat.” Jawabku sambil menarik napas panjang.
“Berarti aku bisa menganggap kau sudah melihat para penghuni kamar-kamar itu?” Wuri tersenyum. “Kerja bagus, Nak. Ternyata kau mau menuruti ucapanku.”
“Ya dan aku menyesalinya. tapi aku tidak merasa rugi, karena aku melihatmu di dalam sana!” Aku menunjuk Wuri dengan penuh emosi. “Semuanya ada dua belas. Memiliki wajah yang serupa denganmu. Masing-masing dari dirimu itu menarik satu anak perempuan agar masuk ke dalam kamar mengerikan yang gelap itu. Kenapa begitu? Aku tidak mengerti. Siapa dirimu sebenarnya?”
“Aku hanyalah seorang perempuan yang menderita karena kesalahan moyangnya. Tidak lebih. Sebentar lagi aku pun tiada. Tapi sialnya, aku tidak akan hilang semudah itu dari dunia ini.” Wuri tertawa. “Apa hanya itu yang kau temukan di dalam rumah itu?”
“Aku juga menemukan diary ini?” Aku menunjukkan buku harian yang sejak tadi kusimpan di dalam ransel. “Apa ini memang milikmu?”
Wuri hanya melihatnya sekilas sebelum kembali menatapku dengan tajam. “Ya, buku itu memang milikku. Apa kau sudah membaca isinya?”