“Jadi itu alasan utamamu memintaku untuk mewawancaraimu?” Nayaka menelan ludah dengan berat. Sulit rasanya menerima hal yang baru saja didengarnya. “Kau membutuhkanku, hanya untuk mengalahkan para setan itu?”
“Ya dan tidak.” Wuri berkata lembut. “Aku mengikutimu perkembanganmu, Nayaka. Aku tahu kau sulit mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Setelah berusaha setahun penuh, akhirnya kau berhasil. Namun kau tidak puas. Kau tidak mau bekerja di tabloid kriminal murahan. Aku tahu kau berhak mendapatkan yang lebih baik. Aku membaca semua artikelmu. Kau sangat berbakat. Itulah alasan utama, kenapa aku ingin kau wawancaraiku, Nayaka.”
Nayaka menarik napas panjang.
“Apa benar demikian?” Gumam Nayaka pada dirinya sendiri. "Apa benar Wuri tulus?"
“Sayangnya sekarang ada yang lebih mendesak. Kita tidak punya banyak waktu.” Terang Wuri. “Beberapa hari lagi, aku akan dihukum mati. Para wewe gombel itu pasti sudah menculik anak-anak untuk di mangsa. Apakah kau sudah melihat berita di TV atau koran? Apakah sudah ada anak-anak yang diculik?”
“Aku tidak tahu. Sudah lama aku tidak membaca atau menonton berita.” Nayaka menggelengkan kepalanya. “Aku mencurahkan perhatianku pada kasus ini, aku tidak sempat memikirkan yang lain.”
“Aku yakin anak-anak yang kau lihat itu adalah anak-anak yang diculik." Wuri mendengus.
"Maksudmyu mereka bukan hantu?" Aku langsung merasa tidak enak. Andaikan aku tahu, aku pasti akan menyelamatkan mereka dari ....
"Hei, apa kau dengar ucapanku?" Suara Wuri yang menggelegar membuyarkan lamunanku. "Kita sedang membahas hal serius, Nak."
"Maafkan aku." Aku berdehem untuk mengusir rasa kaget dan gugup. "Silakan lanjutkan."
"Aku yakin anak-anak yang diculik itu dikurung di masing-masing kamar.” Wuri melanjutkan ucapannya sambil mengetukkan jemarinya ke atas meja. “Formasinya selalu sama. Satu anak, satu ibu. Sekarang jawab pertanyaan, apa kau bersedia membantuku, Nayaka?”
“Aku bersedia dengan catatan kau harus menceritakan semuanya?”
“Aku sudah menceritakan semuanya.”
“Belum. Tapi ucapanmu selama setengah jam terakhir ini menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, kutukan apa yang sebenarnya menimpa keluargamu? Kenapa hanya ada dua belas wewe gombel? Kalau kutukan ini berakar dari sidang penyihir tahun 1600-an, bukankah seharusnya jumlah mereka jauh lebih banyak?”
“Kau memang teliti.” Wuri menyeringai. “Seorang penyihir tidak pernah mengutuk seseorang tanpa aturan-aturan tertentu. Isinya harus terperinci. Isi kutukan itu adalah, garis keturunan perempuan dari Siegfried van Dallen yang terikat oleh dosa, akan diculik oleh setan. Dia kemudian diasuh di alam ghaib hingga dewasa dan dikembalikan ke alam manusia dalam kondisi hamil. Dia akan melahirkan seorang bayi perempuan haram dan mati dengan membunuh dirinya sendiri. Kemudian dia kembali bangkit sebagai wewe gombel yang akan menculik anaknya sendiri untuk diasuh. Siklus ini akan terus berulang tanpa henti. Dosa para setan ini, mengikat anak keturunan Siegfried van Dallen yang terkena kutukan, sehingga mereka tidak bisa memasuki gerbang surga.”
“Apa yang membuatmu melawab kutukan itu? Kenapa kau tidak bunuh diri?”
“Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka.” Wuri menggigit bibir bawahnya yang kering. “Aku berbeda dari yang lain. Aku masih ingat peristiwa apa yang aku alami saat diasuh setan itu.”
Wuri tertawa walaupun sorot matanya bersedih.
“Bayangkan, aku memanggil ibuku sendiri setan? Anak macam apa aku ini?” Wuri kembali tertawa. Kali ini melengking tinggi. Namun air matanya mengalir deras. “Tapi itulah kenyataannya, Nayaka. Apakah aku berdosa telah mengucapkan kata-kata yang menghujat ibuku sendiri?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Tukasku tidak sabar.
“Sabar sebentar, Nak." Wuri langsung berhenti tertawa. "Penjelasanku nanti juga akan sampai ke sana. Sampai mana tadi? Oh, iya. Kembali ke cerita. Siegfried van Dallen amat takut pada kutukan itu. Begitu takutnya, hingga beliau membunuh anak perempuannya sendiri yang baru dilahirkan. Aksinya diketahui warga dan Siegfried van Dallen memilih bunuh diri daripada ditangkap. Membuatmu bertanya-tanya, iyakan? Sejatuh apa moral orang yang pernah menjunjung ajaran agama? Rasa takut begitu mengerikan hingga bisa mengubah seseorang. Tapi dia salah, anak perempuannya itu bukan pemicu kutukan.”
“Jadi pemicunya apa? Sejak kapan pula siklus kutukan itu dimulai?” Aku ingin meneruskan ocehanku. Namun Wuri mengangkat tangannya. Memintaku untuk diam.