Wuri: Kutukan Wewe Gombel

Roy Rolland
Chapter #17

Para Wewe Gombel Itu Menculik Marcia.

Aku memandang ngeri saat melihat kerumunan massa itu mendesak masuk. Wajah mereka beringas. Suara mereka yang serak meneriakkan kata-kata kasar, kotor bernada amarah.

Ya Allah ….

Aku pernah melihat amukan massa sebelumnya. Mereka bergerak seakan dikomando. Tidak ada lagi yang berpikir dan bertindak sebagai individual. Semua telah dikendalikan oleh emosi.

Semua emosi itu tertuju padaku ….

Aku begitu takut hingga tidak mampu bergerak. Aku bahkan tidak yakin, mampu melarikan diri dari mereka.

Apa yang harus aku lakukan?

Aku terkejut, saat Bripda Ferry menarik dan menempatkanku di belakang tubuhnya. Dengan panik, perwira polisi yang selalu bertindak tenang itu memanggil rekan-rekannya lewat HT.

Aku tahu Bripda Ferry sudah berusaha keras. Aku tahu dia benar-benar ingin melindungiku dari amukan warga. Namun, dia juga manusia yang memiliki keterbatasan. Seorang polisi tetap saja tidak akan berdaya menghadapi puluhan massa.

Tubuhku bergemuruh karena dorongan deras adrenalin yang beredar dengan perantara darah. Pandangan mataku tidak fokus. Aku tidak jelas melihat. Segalanya terlihat bernuansa kuning dan merah. Aku benar-benar telah terpojok. Tidak akan mungkin lari dari sergapan mereka.

Bripda Ferry berusaha meredakan amarah warga. Namun, tidak berhasil. Mereka lebih mendengarkan hasutan Ibu Sumiarsih. Bripda Ferry dengan mudahnya dilumpuhkan. Di tarik dan didorong hingga menabrak tembok.

Tidak ada lagi yang memisahkan aku dari mereka.

Tidak banyak yang kuingat. Aku bisa merasakan darah segar memenuhi mulutku. Aku memuntahkannya. Bertanya? Dari mana darah itu? Apa dari bibirku yang pecah? Mustahil! Kenapa aku tidak merasa sakit?

Belum sempat aku berpikir lebih jauh. Aku merasakan hantaman benda keras mendarat di belakang kepalaku. Kepalaku terasa sakit. Berat. Sulit rasanya untuk berpikir dan tetap tegak berdiri. Aku terkulai. Di seret keluar dan dilempar hingga terkapar di tengah jalan. Suara emosi massa itu lenyap dan tergantikan oleh suara dengung yang memekakkan telinga. Secara samar aku bisa mendengar jeritan Ibu Sumiarsih. Prempuan itu terus memberi komando agar warga terus memukulku, menendang dan bahkan membakarku. Aku pun menekuk tubuhku dan menggunakan tangan untuk melindungi tubuhku dan kaki untuk melindungi dada dan perut.

Sial!

Aku tidak ingin mati di sini!

Aku harus pergi!

Tapi apa yang bisa kulakukan, selain melindungi belakang kepalaku dengan tangan.

Para warga itu sudah begitu emosi. Mereka tidak akan mampu mencerna penjelasan. Tidak ada gunanya aku meneriakkan pembelaan atau ratapan mohon ampun.

“Hentikan! Dasar biadab!” Suara melengking tinggi Marcia seakan memberi kejutan listrik pada jantungku.

Aku melihatnya mengamuk. Mendorong orang yang menghalangi jalannya, bahkan memukul orang yang menyakitiku. Tanpa takut, ia memelukku yang bersimbah darah, tanah dan peluh.

Aneh…

Seorang perempuan yang konon terlahir karena kutukan setan malah melindungiku. Sebaliknya, para manusia yang dibesarkan dengan norma, budi dan ajaran agama, ingin menyakitiku.

Siapa yang lebih pantas disebut setan?

Melihat warga hanya berdiri diam, Ibu Sumiarsih tambah berang. Perempuan itu mengambil sebatang sapu bergagang aluminium. Menghambur ke arahku dan Marcia. Tangannya terangkat, siap memukul kami.

Tanpa gentar Marcia melindungi kepalaku. Mulutnya mengeluarkan kata-kata menenangkan dan menghibur. Kemudian ia memejamkan mata. Mengeraskan geraham. Siap untuk menerima hantaman.

“Sudah cukup! Sekarang bubar sebelum kami menangkap kalian karena membuat onar!”

Kepalaku terasa sakit dan belum bisa melihat dengan baik. Tapi aku bisa melihat Bripda Ferry dan beberapa orang petugas berusaha menggiring warga agar meninggalkan lokasi.

Ibu Sumiarsih masih belum mau kalah. Dengan jeritan bernada tinggi, ia berargumen dengan Bripda Ferry.

“Saya berikan peringatan pada Ibu sekali lagi,” Bripda Ferry sudah hilang kesabaran. “kalau Ibu masih menghasut dan memprovokasi warga, saya tidak segan-segan menangkap Ibu dengan tuduhan melanggar Pasal 160 KUHP. Mengerti!”

"Tapi setan itu masih hidup! Anda tidak bisa mernuntut saya."

"Anda salah, walau kondisi korban baik-baik saja, kami tetap bisa menahan dan membawa Ibu ke pengadilan. Sekarang MINGGIR! Jangan halangi petugas!"

Kemudian Bripda Ferry menghampiri kami dan bertumpu di lutut kirinya.

“Kau baik-baik saja?” Tanyanya seraya menyentuh sisi pelipisku. "Hei, Nayaka. Kau dengar tidak?"

“Aku tidak tahu.” Jawabku lemah. “Kepalaku sakit sekali.”

“Lebih baik kau ikut denganku.” Ujarnya seraya meminta rekannya untuk membantuku berdiri. “Ayo, Dod. Satu, dua…, tiga!”

“Ikut kemana? Kantor polisi? Tapi dia tidak bersalah, sejak tadi aku bersamanya.” Protes Marcia. "Aku sumpah."

Lihat selengkapnya