Wuri: Kutukan Wewe Gombel

Roy Rolland
Chapter #19

Dia adalah yang pertama, akar dari semuanya.

Krekeekkk ....

Mataku menyapu ke seisi ruangan dan melihat Marcia tergeletak di atas tempat tidur. Penampilannya acak-acakan dan baju yang dikenakannya berserakan di lantai.

Kenapa Marcia tidak berpakaian?

Apa yang terjadi?

Aku melihat ke sekelilingku dan menyadari begitu banyaknya lubang-lubang kecil di dinding. Aku memasukkan kelingkingku. Memastikan besarnya lubang seukuran dengan jemari perempuan yang ukurannya lebih kecil dari jemariku.

Lubang bekas apa ini sebenarnya?

Entahlah, aku tidak ada waktu untuk memikirkannya. Aku kembali memusatkan perhatianku pada Marcia yang masih tertidur di atas kasur tanpa sprei yang berdebu.

Aku mendekat dan menutup tubuhnya dengan selimut yang tergeletak di sisi tempat tidur. Kemudian mengguncang tubuhnya lembut. Berusaha membangunkannya.

“Marcia …, Marcia …!” Bisikku tajam. Tanganku menepuk pipinya. “Bangun Marcia!”

Sesaat kemudian Marcia mengerang. Membuka matanya dan memandangku dengan penuh tanda tanya.

“Aku di mana?” Tanyanya lemah.

“Kita berada di rumah itu.”

“Rumah berjendela lingkaran?”

Aku mengangguk.

Marcia bangun dari tidurnya dengan susah payah dan memandangku dengan pandangan menuduh saat menyadari dirinya tidak berpakaian.

“Bukan aku.” Tukasku cepat, sambil mengangkat kedua tanganku di depan dadaku. “Justru itu yang ingin kutanyakan padamu. Apa yang terjadi?’

“Aku tidak tahu ….” Marcia menutup wajah dengan kedua belah tangannya. “Aku tidak bisa mengingatnya.”

“Apa kau baik-baik saja?”

“Sepertinya begitu.”

“Bagus.” Aku memungut pakaiannya yang berserakan di lantai. “Ini. Cepat pakai.”

Aku membalikkan tubuh. Membelakangi Marcia yang tengah mengenakan pakaiannya. Walau hanya mendengar suara, mau tidak mau aku merasakan wajahku panas.

Konsentrasi Nayaka!

“Apa yang kau ingat?” Tanyaku untuk mengalihkan pikiran yang melantur.

“Aku hanya inga t…, aku dibawa oleh para wewe gombel itu ke sini dan … astaga!” Ekspresi wajah bingung Marcia langsung berubah menjadi ketakutam. “Wewe gombel itu! Kita harus secepatnya pergi dari sini, Nayaka!”

“Sssttt …, tidak apa-apa.” Tanpa pikir panjang aku membalikkan tubuhku. Menghadap Marcia yang sudah selesai berpakaian. “Aku sudah mengurung mereka di dalam kamar-kamar itu.”

“Apa?”

“Ya, para wewe gombel itu.” Aku menunjuk ke pintu. “Aku sudah menyelamatkan kedua belas anak perempuan itu dan mengurung para wewe gombel di…”

“Hanya itu?” Potong Marcia dengan nada ditekan. "Hanya dua belas?"

“Ya,” Aku menanggapinya bingung. “Memangnya kenapa? Kenapa kau terlihat semakin ketakutan?”

“Tidakkah kau ingat, Nayaka?” Marcia berusaha menenangkan dirinya. “Saat di motor kau menerangkan isi kutukan itu padaku. Bahwa Karel van Dallen berselingkuh dengan perempuan pribumi. Perempuan itu kemudian melahirkan anak perempuan. Putri haram mereka lalu diculik, dibawa alam ghaib. Kemudian si putri itu dikembalikan ke dunia saat dewasa dalam kondisi hamil dan ….”

“Aku ingat soal kutukan itu!” Tukasku tidak sabar. “Cepat katakan apa maksudmu!”

“Kita melupakan wewe gombel yang menculik putri Karel van Dallen.” Bisik Marcia. Matanya terlihat ketakutan hingga berurai air mata. “Kita melupakan dia, Nayaka. Putri Karel Van Dallen bukan wewe gombel yang pertama. Setan yang menculiknya adalah wewe gombel yang sesungguhnya dan dia ….”

Kreekeekkk ….

Saat mendengar suara jendela terbuka di belakangku, jantungku terasa berhenti. Mata Marcia membelalak dan menunjuk ke arah jendela. Gemetar. Ketakutan. Secara perlahan, takut-takut, aku menengok ke belakang dan…

“Ya, Allah …!” Refleks aku bangun dan berjalan mundur.

Melalui jendela yang terbuka, aku melihat sesosok perempuian tua. Tubuhnya yang sangat kurus, hanya terbalut kulit, tipis keriput berwarna kelabu. Rambut berubannya yang jarang dan panjang terlihat awut-awutan. Tubuhnya yang telanjang memperlihatkan payudaranya yang sebesar buah pepaya.

Dia menatapku dengan matanya yang bersinar keunguan. Tatapan tajam, bengis dan jahat. Jemarinya mencengkeram tembok hingga menimbulkan lubang-lubang seukuran dengan jemarinya. Hal ini membuatnya mampu merayap di dinding. Dengan cara dan gerak tubuh yang tidak wajar.

Jadi itu penyebab begitu banyaknya lubang di dinding.

“Nayaka …!” Panggilan Marcia menyadarkanku.

Segera aku mencengkeram tangannya dan menariknya keluar. Wewe gombel itu meraung dan menerkam ke arah Marcia. Kami lebih cepat. Wewe gombel itu meleset dan menabrak dinding. Aku menutup pintu dengan menyebut nama Allah. Sepersekian detik kemudian, pintu itu berguncang, seakan dihantam oleh sesuatu yang bertenaga besar di dalam. Suara gebrakan pada pintu itu mengejutkanku dan Marcia, sehingga kami jatuh terlempar ke belakang.

Pintu itu kembali di dobrak. Lagi dan lagi hingga berhenti sama sekali.

Apa kami sudah aman?

“Om,” Panggil anak-anak perempuan korban penculikan. Mereka membantuku dan Marcia berdiri. “Kapan kita pergi?”

Lihat selengkapnya