Aku menunggu hingga Rizky pergi, sebelum kembali masuk. Aku memeriksa rak yang menurut Rizky ada pintu menuju ruang bawah tanah di baliknya. Setelah periksa sebentar, aku berhasil menemukan sebuah tuas. Aku menariknya. Tidak lama rak itu mengeluarkan suara berdecit, bergeser ke kiri dan memperlihatkan sebuah pintu kayu dibaliknya.
Aku membuka pintu. Seketika itu juga hidungku mencium bau yang tidak enak. Amis darah.
Aku harus bergegas!
Aku menyalakan senter dan menyorotnya ke dalam ruangan yang gelap itu. Ada tangga turun ke bawah. Aku mempersiapkan mentalku dan mengganti senter kecilku dengan senter tactical defender kesayanganku.
Tactical defender adalah jenis senter yang biasa digunakan oleh polisi atau penjaga keamanan. Senter ini memiliki strike bezel, yaitu pelek yang terletak di kepala senter taktis, berguna untuk melindungi lensa dan alat untuk mempertahankan diri dari serangan. Jenis dan tipenya ada banyak, namun pada senterku, bentuknya menyerupai mahkota baja. Kalau kita menggunakannya untuk menyerang kepala, akan berakibat fatal pada targetnya.
Aku tidak tahu, apakah senter ini akan berguna untuk melawan wewe gombel, tapi ini lebih baik dari pada tidak bersenjata sama sekali.
Aku masuk dengan langkah perlahan. Turun tangga kayu itu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Seberapa dalam ruang bawah tanah ini sebenarnya? Rasanya aku sudah turun jauh ke bawah. Kemudian secara samar, aku bisa mendengar suara anak perempuan menangis pilu memanggil orang tuanya.
“Tessa!”
Tanpa pikir panjang, aku mempercepat langkahku. Di ujung tangga, aku melihat cahaya. Aku memperlambat langkahku dan mengintip. Ruangan itu sangat besar. Bahkan aku yakin lebih panjang dan lebar dari rumah yang berdiri di atasnya.
Lantainya tidak berubin. Masih terbuat dari tanah. Di tengah ruangan terdapat barang-barang aneh bernoda darah. Aku tidak tahu apakah benda-benda itu adalah alat penyiksaan atau penjagalan. Satu hal yang pasti, bau amis darah dan daging busuk tercium tajam. Aku mengalihkan pandanganku. Di sekeliling ruangan itu, terdapat ruang-ruang penjara berukuran kecil. Aku meneliti satu persatu dan nyaris melonjak gembira saat menemukan Tessa.
Dia dikurung di penjara paling ujung. Aku harus hati-hati. Dengan waspada aku memandang ke sekeliling. Mencari tahu, apa setan perempuan itu ada di dalam sana.
“Tidak ada!”
Aku bergerak cepat dan berlari menuju penjara tempat Tessa di kurung.
Terkunci!
Aku melihat ke sekeliling ruangan dan melihat sebuah anak kuci dengan motif aneh di kepalanya. Aku mengambil kunci itu dan menggunakannya untuk membuka pintu.
“Tessa!” Panggilku. Aku mengerutkan keningku saat melihat Tessa malah menjauh dariku. Menekuk tubuhnya. Wajahnya terlihat ketakutan. “Hei, kau kenapa? Ayo keluar dari sini sebelum setan itu kembali.”
Tessa menggelengkan kepalanya. “D-dia sejak tadi ada di sini.”
“Aku sudah memeriksa ke seluruh sudut ruangan. Dia tidak ada!” Tukasku tidak sabar. Aku mengulurkan tanganku. “Ayo!”
Tessa semakin ketakutan, hingga tubuhnya gemetar. Tangan anak itu terangkat dan menunjuk ke balik punggungku.
“Di atas sana. Sejak tadi dia di atas sana!” Jerit Tessa ketakutan sebelum menyembunyikan wajahnya di balik lutut yang terlipat di depan dada.
Aku menengok ke belakang …. Tidak ada …. Takut-takut, aku menengadahkan kepala …. Apa benar dia ada di atas sana? Aku menelan ludah dan terus mendongak ….
Aku melihatnya!
Bergantung dengan cengkeraman jari tangan dalam posisi terbalik. Dia melihatku dan kemudian membuka mulutnya. Mengeluarkan suara mengerikan yang memekakkan telinga. Jantungku berdebar keras. Entah disebabkan terkejut atau rasa takut yang sangat. Tubuhku merinding. Kemudian setan itu merayap mendekat dan menerkamku sambil mengeluarkan kuku-kuku tangannya yang panjang dan hitam.
Aku bergerak cepat, menutup pintu penjara, sehingga setan itu menabraknya dan jatuh. Namun tidak lama. Sepersekian detik kemudian, setan itu kembali bangkit dan berusaha menyerangku melalui jeruji. Aku menahan pintu itu dengan tubuhku. Berteriak kesakitan ketika kuku-kukunya mencakar dan melukai tubuhku.
Cakarannya terasa sangat perih dan membakar kulit.
Apa cakar setan ini mengandung racun?
Saat aku memperhatikan dari dekat, aku baru sadar …. Cakar setan itu tidak berwarna hitam. Warnanya merah tua kehitaman dan warna itu berasal dari darah para korban yang tidak pernah di bersihkan.
Ya Allah …, aku harus keluar dari tempat mengerikan ini secepatnya.
Aku menengok ke arah Tessa dan berkata dengan tenang, walau pun kenyataannya suaraku yang panik tercekik dan bergetar karena ketakutan, “Tessa, sebentar lagi Om akan membuka pintu dan menahan setan ini. Sementara itu, kau lari, oke.”
“Tidak, Om …. Di luar gelap dan banyak setan .... Tessa takut ….”
“Jangan takut Tessa ….” Aku berusaha untuk tenang. Namun kurang meyakinkan. “Percayalah pada, Om. Kau masih memegang senter itu, kan? Itu, yang ada di pergelangan tanganmu.”
Tessa mengangguk.
“Nyalakan senter kalau kau takut melewati tempat-tempat yang gelap.” Aku sudah kehabisan tenaga. Sepertinya akan lebih mudah jika aku membuka pintu dan melawannya. “Para setan itu takut cahaya. Kau akan baik-baik saja.”
“Om, janji? Om, tidak membohongi Tessa, ‘kan?”
Dalam hati, menurut pengalamanku aku tidak yakin ada hubungannya. Bahkan hantu Kinanti terkadang terlihat di bawah cahaya matahari. Namun, sekali ini saja, aku harus berbohong. Semua ini demi kebaikannya juga.
“Om tidak bohong. Om juga janji akan menahannya hingga kau lari ke tempat yang aman.”