Sembilan bulan kemudian, kehidupanku telah berubah. Aku sudah menikah dengan Frida dan hidup dengan tenang di kawasan Cinere. Keluarga kami belum dilengkapi kehadiran seorang anak. Namun, aku cukup puas, karena aku berhasil mencapai apa yang kuimpikan selama ini.
Buku karanganku, Wuri: Pengakuan Seorang Terpidana Mati, sangat laris di pasaran. Bahkan buku otobiografi itu mendapat tawaran untuk dibuat menjadi sebuah film. Aku mendapat banyak uang, namun itu tidak penting. Aku hanya ingin sebuah pengakuan dan aku telah mendapatkannya.
Pada suatu sore, Frida meminta izin untuk pulang terlambat. Dia harus menghadiri pertemuan penting dengan klien. Aku pun menggunakan waktu itu untuk membuka catatan-catatan lamaku. Persoalannya begini, aku membuat buku Wuri dalam dua versi, versi pertama yang kupublikasikan adalah sebuah buku otobiografi yang ditinjau dari sisi psikologi dan kriminologi. Sementara yang satunya lagi berisi mistik dan klenik.
Aku tidak pernah menunjukkan versi kedua pada siapa pun. Walau isinya adalah kebenaran, aku menganggap buku itu jelek dan picisan. Aku membuatnya hanya untuk mengeluarkan beban yang memenuhi dada dan kepalaku.
Intinya, alasan aku kembali membuka dokumen-dokumen lama itu adalah, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Aku merasa masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Sesuatu masih ada yang mengganjal.
Kemudian, aku merasakan angin berhembus di dalam kamarku yang tertutup. Aku menengok ke sekitar dan melihat Kinanti berdiri di dekat pintu. Penampilannya masih menakutkan dengan luka menganga dan darah kental yang sudah mengering.
Kenapa?
Kenapa aku masih bisa melihatnya?
Bukankah aku sudah ...?
Tunggu dulu!
Aku ingat sekarang! Kenapa aku melupakannya?
Aku menatap Kinanti dengan wajah penuh tanda tanya. Ia menganggukkan kepala. Memberitahu, bahwa apa yang kupikirkan ini benar.
Kemudian Kinanti membuka mulutnya, berkata dengan suara samar bagai tertiup angin, seolah terbawa dari tempat yang jauh.
“Kau tidak bisa mempercayai ucapannya, Nayaka. Apa kau lupa pada peringatanku? Dia tidak lahir dan dibesarkan sebagai manusia. Kenapa kau sampai jatuh pada tipu muslihatnya?”
Seketika itu juga fakta-fakta mulai berseliweran di dalam kepalaku.
Wuri berkata, “isi kutukan itu adalah, Siegfried Van Dallen dan anak keturunan akan terikat oleh dosa. Putri mereka akan diculik oleh setan. Kemudian diasuh di alam ghaib hingga dewasa dan dikembalikan ke alam manusia dalam kondisi hamil. Dia akan melahirkan seorang bayi perempuan dan mati dengan membunuh dirinya sendiri. Kemudian dia kembali bangkit sebagai wewe gombel yang akan menculik anaknya sendiri untuk diasuh. Kemudian siklus ini akan berulang-ulang tanpa henti. Dan dosa para setan ini, mengikat anak keturunan Karel Van Dallen sehingga tidak bisa memasuki gerbang surga.”
“Di kembalikan ke alam manusia dalam kondisi hamil?” Aku bergetar menahan amarah. “Siapa yang menghamili mereka. Kenapa aku begitu bodoh!? Itulah sosok hitam yang dilihat Rizky. Sosok itulah yang telah menyerang Marcia. Tidak! Sosok itu tidak menyerangnya. Sosok itu menyetubuhinya! Sial! Sial! Sial!”
Kemudian, aku teringat ucapan Wuri, di hari terakhir hidupnya.
“Aku hanya menunda takdir.” Ucap Wuri waktu itu. “Aku tidak sudi mati dan menduduki kasta terbawah dari hierarki para setan menjijikkan itu. Tapi sekarang sudah berbeda. Lagi pula aku percaya, dalam kematian aku akan terlahir kembali.”
“Maksudnya reinkarnasi?” Tanyaku waktu itu.
“Jadi itu penafsiranmu?” Wuri menyeringai.
Ya! Dia menyeringai! Dia tidak tersenyum! Keparat! Perempuan itu sudah menipuku sejak awal!