Aku tidak pernah bisa mengingat kejadian itu dengan jelas. Suatu peristiwa yang hampir merenggut nyawaku saat usiaku belum genap tujuh tahun. Saat itu, aku masih tinggal di rumah lamaku yang terletak di kota Semarang, Jawa Tengah.
Seperti biasa, seorang diri aku bermain di halaman belakang dengan lusinan boneka tentara plastik. Sesekali aku menengok ke rumah. Melalui jendela, aku melihat kedua orang tuaku berada di dalam. Ibuku masak makan malam, sementara ayahku mengerjakan sesuatu dengan komputer jinjingnya.
Kemudian aku menatap langit. Hari menjelang senja. Awan yang menggumpal membuat perpaduan warna ungu dan jingga. Warna merah kekuningan remang-remang, namun entah kenapa juga menyilaukan.
Hingga saat ini, belum pernah aku melihat warna senja yang sama dengan yang kulihat pada hari itu.
Apakah warna senja memang seperti itu? Ataukah ingatan kabur masa kecil telah mempengaruhi ingatanku?
Entahlah. Aku tidak tahu jawabannya.
Tidak selang berapa lama, ibuku memanggil dan mengingatkanku untuk masuk ke dalam rumah sebelum gelap. Seperti biasa, Ibuku mengatakan sesuatu tentang sosok wewe gombel yang mengerikan.
Wewe gombel adalah setan perempuan menyeramkan, memiliki payudara besar menggantung panjang hingga ke lutut. Hantu ini biasa menculik anak-anak yang masih berkeliaran di luar rumah kala malam menjelang.
Dikatakan mahluk halus ini bisa menyamar menjadi orang yang dikenal baik oleh si anak. Kemudian, si anak akan di bawa pergi ke rumahnya yang berada di pojokan rumah yang sepi atau di atas pohon-pohon besar.
Banyak anak-anak takut pada setan ini. Namun, aku bukan salah satunya. Dulu aku bukanlah anak manis dan penurut. Aku sering tidak mematuhi ibuku dan bahkan melawan ucapannya. Tanpa tahu bahaya, aku tetap main di halaman belakang.
Kemudian, dia datang.
Bukan wewe gombel yang kumaksud, melainkan seorang perempuan cantik dengan kulit pucat dan rambut pirang keputihan panjang tergerai hingga ke pinggang.
Perempuan cantik ini bukan hantu. Dia adalah manusia biasa. Tapi, bukan berarti dia adalah orang baik. Tidak berlebihan bila kukatakan dia perempuan jahat.
Hanya sampai di situ peristiwa yang masih jelas kuingat. Sisanya hanya bagaikan potongan gambar yang tidak jelas alurnya.
Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku saat remaja, wanita itu bernama Wuri. Hanya Wuri. Sebuah nama pendek yang menggegerkan Indonesia di awal abad ke-21.
Wuri adalah keturunan Belanda. Dia sering menculik anak-anak berusia di bawah tiga belas tahun untuk dijadikan tumbal ilmu ghaib yang dipelajarinya. Rambut pirang pucatnya sering disalah artikan sebagai uban. Itulah sebabnya beredar cerita bahwa yang melakukan penculikan adalah wewe gombel.
Mitos penculikan oleh wewe gombel itu terus menyebar, hingga aku berhasil melarikan diri. Seorang warga melihatku berkeliaran tidak tentu arah di kawasan Gombel. Saat ditanya, aku menangis dan menceritakan sebuah peristiwa mengerikan di dalam rumah besar berjendela bentuk lingkaran.
Berkat ceritaku, Wuri berhasil ditangkap dan saat ini tengah menunggu hukuman mati.
Semua itu bisa terjadi karena aku.
Aku bahkan dianggap sebagai pahlawan.
Namun, aku tetap resah. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang ikut mati bersama anak-anak lainnya di dalam rumah itu. Aku tidak bisa mengingat kejadian yang aku alami di sana. Walau berusaha keras, aku tetap tidak bisa mengingatnya.
Kenapa?