“Loh?” Siswa-siswa lain di sekitar heboh bukan main, bolak-balik melihat denah sekolah untuk mencari kelas masing-masing. Sementara aku masih terdiam di depan papan pengumuman berisi daftar siswa. “Nama gue mana?”
“Semua segera ke lapangan! Kelas sepuluh, sebelas, dua belas!” Pak Ramu berteriak dari ambang pintu aula.
“Bapak!” Aku spontan berteriak melas, kemudian berlari ke arah beliau. “Kok nama saya gak ada di sana? Saya masih siswa SMA Jagadhita kan, Pak? Kemarin baru aja selesai PLS, masa tiba-tiba ditendang keluar gitu dari sekolah?”
Pak Ramu mendorong pelan pundakku agar keluar dari aula. “Cepat ke lapangan! Lima menit lagi upacara!”
“Bapak—” Aku hendak memekik lagi, tetapi beliau telah memasuki aula guna mengingatkan siswa-siswa lain. Menghela napas sambil menggaruk rambut tak gatal, akhirnya melangkah pergi sambil mencibir.
Sampai di ujung lorong, aku terhenti begitu saja. Pasalnya, hampir semua telah berbaris, sedangkan aku tak tahu harus ke mana.
“Ayo, cepat! Baris sesuai kelas!”
Suara Pak Hakim mengejutkanku, tiba-tiba saja keringat dingin. Beliau hadir di PLS beberapa kali tiap kali ada siswa baru yang membuat masalah. Image sebagai penegak disiplin melekat kuat.
Aku tak ingin berurusan panjang dengan Pak Hakim, bergegas menuju bagian belakang barisan. Kemudian berjalan pelan sambil menatap kanan-kiri tak tahu arah. “Lah kelas gue yang mana?”
“Yang bingung sendiri di belakang! Kenapa itu?” Pak Hakim berbicara melalui mikrofon tempat pembina upacara. Panggung tinggi membuat beliau bisa melihat seluruh lapangan.
Aku mendadak terdiam, posisi siap—terbawa suasana PLS. Jantung berdetak kencang, rasanya sudah ingin menangis saja. Terlebih semua langsung diam dan beberapa peserta upacara curi-curi pandang padaku.
“Maju!”
Aku terbelalak, menoleh kanan-kiri.
“Loh, kamu! Cepetan!”
Memaksa sedikit senyum, aku menunjuk diri sendiri.
“Iya! Cepet maju!”
Menahan malu bercampur takut, menuruti arahan Pak Hakim. Aku berbaris menghadap timur, sedangkan siswa lain menghadap utara. Sungguh tidak adil! Semua peserta upacara bila melihatku bila begini caranya!
“Mulai hari ini dan seterusnya, kalian baris di situ tiap upacara!”
Aku memejam, menahan diri untuk tak mengumpat. Berselang sebentar, agak terbelalak dan mengerutkan alis saat menyadari sesuatu. Kalian? Tanpa menggeser posisi kepala, berusaha melirik sedikit. Ada tiga pasang sepatu yang bisa kulihat.
Ternyata aku tak sendirian! Syukurlah, setidaknya lebih baik bila ada teman!
Upacara berlangsung. Langit sangat jahat karena membiarkan matahari menyerang wajahku secara langsung tanpa halangan awan barang sedetik pun. Masih mending aku mengenakan sunblock. Meski begitu, seragam ini nyaris basah oleh keringat bak kehujanan.
“Akhirnya tahun ajaran baru telah dimulai.”
Aku sedikit menggeser pandangan. Kepala sekolah, Pak Irawan Jagadhita, sebagai pembina upacara sedang menyampaikan amanat.
“Kalian semua tentu sudah tahu tentang Excellent, program unggulan kami. Semester kemarin, mereka telah sukses meraih banyak sekali prestasi. Saya bangga. Maka karena itu, tim SMA Jagadhita menyiapkan hal baru ….”
Aku menghela napas. Excellent. Sejak berada di kelas sembilan, tahun lalu, nama program tersebut selalu disebut bersamaan dengan SMA Jagadhita. Kupikir akan sangat bahagia bila diterima di sini, lebih-lebih bila bisa bergabung dengan program unggulan tersebut.
Nyatanya, di hari dan upacara pertama sekolah, aku malah berbaris di tempat yang mencolok. Sudah siswa kelas sepuluh, terkesan seperti membuat masalah lagi. Aku ingin berlari pulang, tidur, lalu mengenakan selimut sampai kepala.
“Semua diizinkan bubar …,” aku melirik sumber suara saat Pak Hakim menahan ucapan sejenak dan menatap ke arah kami, “kecuali kalian.”
Terdengar suara lelaki menggerutu di sebelah. Aku tak peduli, telah kalut oleh pikiran sendiri. Cobaan macam apa ini. Hilangnya namaku dari daftar siswa pasti karena kesalahan pengetikan, lantas mengapa harus berakhir seperti ini?
Sementara siswa-siswa di sampingku ini bisa saja memang terlambat atau tidak mengenakan atribut lengkap.
“Selamat pagi, anak-anak.” Kulihat Pak Hakim telah pergi entah ke mana. Ganti guru lain menghampiri kami, sosok yang agak mengabaikanku di ambang pintu aula. Setelah sapaannya dijawab kompak, beliau menatapku sambil tersenyum. “Kahiyang.”